Indonesia tengah berduka seiring kepergian salah satu intelektual andalnya, Dawam Rahardjo. Sosok cendekiawan muslim itu meninggal dunia di usia 76 tahun pada Rabu, 30 Mei kemarin, sekitar Pukul 21.35 WIB di RS Yarsi Jakarta Pusat.
Jenazah mantan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata seusai salat zuhur.
Presiden RI Joko Widodo yang ikut melayat mendiang Dawam merasa sangat kehilangan. Jokowi mengenang Dawam sebagai sosok yang kritis, terlebih tulisan dan gagasannya yang selalu lugas.
“Seorang cendekiawan muslim yang gagasan dan tulisannya yang sangat tajam menyikapi peristiwa yang ada di negara kita,” kata Jokowi di rumah duka, Jalan Kelapa Kuning III, Duren Sawit, Jakarta Timur, Kamis, 31 Mei.
“Beliau dikenal karena sikapnya yang sangat konsisten terhadap diskriminasi dan kita sangat kehilangan beliau,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Sementara itu Ketua ICMI Jimly Asshiddiqie juga merasa sangat kehilangan sosok Dawam yang dinilai sebagai tokoh panutan di dunia intelektual. Menurut Jimly, Dawam adalah sosok pemikir sosial dan ekonomi yang selalu mengikuti perkembangan.
“Kita kehilangan satu lagi tokoh panutan di dunia intelektual dan aktivis yang andal untuk kemajuan bangsa,” katap Jimly, Kamis, 31 Mei.
Dawam lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 April 1942 silam. Ia meraih gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekitar tahun 1969 silam.
Setelah lulus dari UGM, Dawam aktif berkarier di dunia pendidikan. Ia bahkan sempat menjadi Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), lalu menjabat rektor Universitas Islam 45 Bekasi, hingga Ketua Tim Penasihat Presiden BJ Habibie pada 1999.
Tak berhenti sampai di situ saja, Dawam juga sempat menjabat sebagai Ketua ICMI pada 1995 hingga 2000 lalu. Di penghujung usianya, Dawam masih menjabat sebagai anggota Dewan Kehormatan ICMI periode 2015-2020.
Dawam juga aktif tergabung dalam Aliansi Masyarakat Madani untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang dibesut oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Semasa hidupnya Dawam dikenal sebagai sosok yang kritis dan mendukung nilai-nilai pluralisme. Bahkan, Dawam pernah mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien pada 2013 lalu.
Seperti diketahui, Yap Thiam Hien sendiri diberikan oleh Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada tokoh-tokoh yang berjasa besar dalam upaya penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Sebagai tokoh yang memperjuangkan pluralisme, Dawam pernah membela jemaat Ahmadiyah dan pengikut Lia Eden.
Pada 2010 lalu, Dawam yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (YLSAF), menilai Ahmadiyah dan Lia Eden bukanlah ajaran sesat, sebab keduanya jelas mengatakan bukan bagian dari agama Islam.
“Jadi itu tidak salah,” kata Dawam dalam diskusi “Perlukah Pasal Penodaan Agama Dipertahankan?” di Kantor Komnas HAM, Jl Latuharhary, Jakarta Pusat, seperti dikutip dari detikcom, Kamis 18 Februari 2019.
Dawam mengatakan bahwa selama tidak mengganggu ketertiban umum, negara tidak boleh mengintervensi keberadaan mereka. Apalagi, seharusnya negara harus jadi fasilitator bagi tumbuh kembangnya kehidupan yang subur dan baik.
“Tugas utama Negara adalah melindungi HAM dan kebebasan beragama individu, bukan melindungi suatu aqidah (keyakinan),” ujar Dawam.
“Aliran sesat itu menurut saya adalah aliran yang mempunyai atau melakukan ritual tertentu dalam keyakinan yang dianutnya,” ucapnya
Tak hanya itu saja, Dawam juga ikut memprotes penyerangan Kampus Mubarak Jemaat Ahmadiyah, yang merupakan sekretariat Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Parung, Bogor, pada 2005 silam.
Dawam bahkan meminta agar Menteri Agama kala itu, Maftuh Basyuni diganti sebab menyatakan ajaran Ahmadiyah sesat.
“Ahmadiyah di Parung telah berdiri sekitar 80 tahun, kok baru sekarang dipersoalkan. Penjelasan saya dari analisis sosial dan politik bahwa sekarang ini memang telah terjadi proses radikalisme gerakan Islam,” kata Dawam kepada wartawan di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jl Diponegoro, Jakarta, Senin 18 Juli 2005 silam.
Bahkan, Dawam juga pernah mengancam akan mengirimkan somasi terhadap Presiden SBY jika Lia Aminuddin, pemimpin komunitas itu, dijebloskan ke penjara.
“Dan kalau itu tidak bisa diatasi, kita akan mengajukan somasi langsung ke presiden, bahwa presiden telah melanggar konstitusi. Ini tidak main-main, ini serius,” kata Dawam sebelum persidangan Lia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta, Rabu 19 April 2006.
– Alumni Fak. Ekonomi UGM (1969)
– Pemimpin Jurnal Ilmiah Prisma (1980-1986)
– Direktur LP3ES (1980-1986)
– Ketua Yayasan LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan) Solo
– Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang (1993)
– Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Pusat (ICMI) (1995-2000)
– Dekan Universitas As Syafi’yah
– Direktur Pelaksana Yayasan Wakaf Paramadina (1988-1990)
– Direktur Pusat Pengembangan Agribisnis (1992)
– Ketua Tim Penasihat Presiden BJ. Habibie (1999)
– Rektor Universitas Islam 45 Bekasi (1994 – 2004)
– Rektor UP45 Yogyakarta (2013-2017)