Menjalani puasa di bumi dengan melewatkan siang hari yang panas dan terik saja masih banyak yang mengeluh, bagaimana kalau berpuasa dan menjalankan ibadah salat di luar angkasa yang jauh dari bumi, sanggup?
Sebagai seorang muslim, wajib hukumnya menjalankan ibadah salat dan puasa di bulan Ramadhan. Begitu pula bagi seorang astronaut yang berada di luar angkasa, yang harus berpuasa dengan suasana yang sama sekali jauh berbeda.
Sejauh ini, sudah ada dua astronaut muslim yang pernah berangkat ke antariksa. Ada Sultan Salman Al Saud dari Arab Saudi, sebagai muslim pertama di dunia yang menjadi astronaut dan terbang dalam misi STS 51-G pada 17 Juni 1985 silam.
Kemudian, muslim kedua yang mengikuti jejak Sultan berangkat keluar angkasa adalah astronaut asal Malaysia, Sheikh Muszaphar Sukhor, yang terbang dalam misi Soyuz TMA-11 pada 10 Oktober 2007.
Baca Juga: Kenapa Sih Orang Indonesia Suka Buka Puasa Bersama?
Sultan sendiri merupakan pangeran dari Kerajaan Arab Saudi yang hidup jauh dari kemewahan dan lebih mementingkan pendidikan. Sultan kelahiran 27 Juni 1956 itu adalah anak dari Pangeran Salman bin Abdul Aziz, Gubernur Riyadh, ibukota Arab Saudi, dan sang ayah adalah adik dari Raja Fahd.
Misi STS-51-G menuju luar angkasa yang diikuti Sultan itu sendiri membawa dan mengangkasakan 3 satelit komunikasi: Arabsat-1B milik Arab Saudi, Morelos 1 milik Meksiko, dan Telstar 3D milik perusahaan AT&T.
Dalam misi ke luar angkasa itu, Sultan ditemani sejumlah astronaut lain asal Amerika Serikat seperti Daniel C. Brandenstein, John O. Creighton, John M. Fabian, Steven R. Nagel, dan Shannon W. Lucid merupakan astronot NASA. Sementara satu orang lain, Patrick Baudry berkewarganegaraan Perancis.
Sultan dan rekan-rekannya tercatat berada di luar angkasa selama 7 hari, 1 jam, 38 menit, dan 52 detik. Misi STS-51-G yang membawa Sultan dan yang lainnya itu menjelajah orbit bumi sejauh 4,67 juta kilometer.
Sultan memang tercatat sebagai Muslim pertama yang berhasil berangkat ke luar angkasa dan menjalankan ibadah puasa di antariksa. Namun tak hanya itu saja, Sultan juga sanggup satu kali mengkhatamkan Alquran hanya dalam waktu enam hari.
Baca Juga: Penjelasan Soal Rukyat Hilal dan Hisab, Mengapa Muhammadiyah Dengan NU Punya Metode Berbeda
Awalnya, Sultan dan rekan-rekan yang lain berencana untuk berangkat ke luar angkasa pada 24 Ramadhan. Namun, rencana itu ditunda hingga akhirnya mereka berangkat pada 29 Ramadhan dengan menumpang pesawat Discovery AS dan merayakan Idul Fitri 1405 (1985) di luar angkasa.
“Selama bulan suci Ramadhan yang jatuh di musim panas tahun itu, saya menjalani pelatihan khusus untuk melakukan perjalanan di Space Center di Houston,” kata Sultan seperti dikutip dari Arab News, 12 Oktober 2007.
“Saya mengalami panas yang hebat dan haus selama hari-hari saat pelatihan di sana ketika malam tidak melebihi enam jam. Perjalanan ini awalnya dijadwalkan akan dimulai pada 24 Ramadhan tetapi ditunda sampai 29 Ramadhan, ” ujarnya.
Pada 2006 lalu, Badan Antariksa Malaysia (ANGKASA) bekerja sama dengan Department of Islamic Development Malaysia, menggelar seminar bertajuk “Seminar on Islam and Living in Space” bersama 150 ilmuwan dan ulama untuk mencari solusi dalam melaksanakan kewajiban seorang muslim jika berada di luar angkasa.
Seminar itu digelar sejak keberangkatan Sheikh Muszaphar Sukhor, astronaut pertama Malaysia, yang terbang dalam misi Soyuz TMA-11 pada 10 Oktober 2007. Saat itu, isu tentang beribadah di antariksa menjadi sorotan.
Seminar tersebut menghasilkan sebuah panduan bagi Muslim untuk menjalankan ibadah di antariksa. Panduan tersebut berjudul A Guideline of Performing Ibadah (worship) at the International Space Station (ISS).
Salah satu poin yang dimuat di buku panduan itu adalah bahwa seorang Muslim tetap bisa menjalankan ibadah puasa dan salat meski berada di luar angkasa. Hanya saja, perlu beberapa penyesuaian terkait kondisi antariksa yang berbeda dengan bumi.
Menurut buku petunjuk itu, seorang astronaut muslim memiliki dua pilihan dalam konteks ibadah puasa Ramadhan. Yang pertama, puasa bisa dilakukan di International Space Station (ISS) atau yang kedua, meng-qada ibadah puasanya saat tiba di bumi.
Baca Juga: Kalau Lagi Puasa, Netizen Indonesia Biasanya Nonton Video Apa Sih di Youtube?
Lalu, jika sang astronaut memilih untuk melaksanakan ibadah puasa di luar angkasa, maka ia harus menggunakan waktu di mana astronaut tersebut diterbangkan ke luar angkasa.
Untuk salat lima waktu, astronaut Muslim juga bisa menjalankan salat lima waktu dan tetap berhak untuk melakukan jamak (menggabungkan) atau qasar (menyingkat) bila punya halangan tertentu. waktu pelaksanaan salat wajib sendiri mengikuti waktu salat tempat peluncuran misi antariksa.
Waktu sahur, imsak, puasa, dan berbuka puasa juga mengikuti waktu yang sama dengan tempat peluncuran.
Seorang Muslim di antariksa diperbolehkan melakukan salat dengan posisi duduk atau tidur telentang. Hal itu lantaran kondisi antariksa dengan gravitasi rendah kadang mempersulit seorang Muslim untuk berdiri tegak, rukuk, dan bersujud seperti di Bumi.
Jika wudhu sulit dilakukan, maka Muslim di antariksa bisa menggantinya dengan tayamum, mengingat kondisi air yang minim di sana. Astronaut Muslim bisa menggosokkan telapak tangannya pada permukaan yang bersih atau cermin, lalu mengusapkannya pada bagian tubuh tertentu yang harus dibersihkan.
Bagaimana dengan kiblat? Nah, seorang Muslim di antariksa juga harus menghadap ke kiblat jika memang mengetahui betul arah kiblat. Namun, jika tidak tahu, astronaut muslim bisa salat dengan menghadap ke Bumi.
Bila tak mengerti juga atau sulit menentukan arah Bumi, Muslim diperbolehkan dan bisa salat menghadap ke mana saja.
Kemudian soal makanan, jika ada keraguan apakah makanan yang dihidangkan halal atau haram, maka sang astronaut yang berpuasa tersebut diperbolehkan memakan makanan itu agar tidak mengalami kelaparan.