Budaya Pop

Selfie di Museum: Bentuk Apresiasi Seni atau Narsisisme Pengunjung?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Museum seni memang jadi tempat yang punya daya tarik besar bagi orang-orang untuk menggali banyak hal terutama soal sejarah, nilai estetika, dan menuangkan apresiasi terhadap karya seni, bahkan banyak yang mengabadikannya dalam foto.

Tak hanya sampai di situ saja, kebiasaan memotret karya seni di museum bahkan kini sudah bergeser ke tren selfie atau swafoto.

Hal itu seolah menunjukkan bahwa museum sudah bukan sekadar jadi tempat untuk melihat dan menikmati seni saja, tapi juga sebagai tempat untuk pamer bahwa seseorang sedang menikmati karya seni.

Ya, sebagian orang-orang yang berkunjung ke museum seni saat ini dipastikan tak hanya akan menikmati suasana sakral dalam koleksi seni yang dipajang. Mereka merasa lebih senang menyertakan wajahnya dengan latar lukisan, artwork, dan benda-benda seni di dalam fotonya.

Bahkan soal pergeseran fokus dari kunjungan ke museum untuk menikmati karya seni, menjadi tren selfie tersebut, Art Institute of Chicago melakukan penelitian dengan hasil yang cukup mengejutkan.

Salah satu sudut ruangan di Museum MACAN di Jakarta. Foto: Twitter/@MuseumMACAN.

Seperti dikutip dari Pacific Standard pada 3 Maret 2016, penelitian tersebut pada awalnya memang dilakukan untuk melihat durasi atau jumlah waktu yang biasa dihabiskan oleh seseorang atau pengunjung dalam menikmati sebuah karya seni di museum.

Menariknya, ternyata ada temuan lain yang cukup mengejutkan dari penelitian tersebut. Dalam penjelasannya, jumlah waktu yang dihabiskan seseorang atau pengunjung dalam menikmati sebuah karya seni cukup stabil dalam 15 tahun terakhir.

Namun, perbedaan yang muncul dibanding 15 tahun lalu adalah kecenderungan dari sebagian pengunjung untuk mengambil foto selfie bersama karya seni yang dipajang di museum. Bahkan, jumlahnya juga cukup besar mencapai sekitar sepertiga dari pengunjung melakukan hal tersebut.

Seperti penjelasan Lisa Smith dari University of Otago, munculnya fenomena tersebut digambarkan sebagai keinginan dari seseorang untuk cepat-cepat menikmati karya seni tanpa harus terlibat dan memahami terlalu dalam tentang karya seni itu sendiri.

Salah satu acara live drawing di Museum MACAN, Jakarta, yang berlangsung pada 16 Maret 2018. Foto: Twitter/@MuseumMACAN

Tak hanya itu saja, cara tersebut, dengan ber-selfie di museum seni, juga dapat menjadi pembuktian bahwa orang tersebut dapat menikmati seni secara langsung dan pernah berada di depan karya seni tersebut.

Selain itu, peneliti menyebutkan bahwa cara ini mungkin sama dengan membeli katalog, hanya saja tidak perlu mengeluarkan biaya serta menampilkan keterlibatan diri sendiri dengan karya yang dipasang.

Berkembang pesatnya jagat media sosial jadi salah satu hal yang menyebabkan munculnya pergeseran sikap yang dilakukan seseorang atau pengunjung dalam museum seni. Tak sedikit cibiran dilayangkan bagi mereka yang sering selfie di museum.

Namun, menariknya Putu Wijaya, seorang sastrawan sekaligus sosok yang dikenal kerap menulis cerpen, puisi, hingga melukis, punya pandangan unik soal tren selfie di museum, terutama di Indonesia. Menurut Putu, orang-orang selfie jangan dilarang dan justru harus didukung.

“Tidak apa-apa. Biarkan saja [orang berselfie di museum]. Malah manfaatkan,” kata Putu kepada Asumsi, pada Sabtu, 12 Mei.

Ia mengatakan bahwa orang-orang atau pengunjung yang sering melakukan selfie di hadapan karya seni di museum merupakan hal biasa. Sosok kelahiran Puri Anom Tabanan, Bali, pada 11 April 1944 silam itu menyebut bahwa selfie di museum juga jadi bentuk apresiasi terhadap karya seni.

Aksi Putu Wijaya saat membacakan puisi di sebuah acara. Foto: Istimewa

Selfie di depan karya-karya seni itu adalah bagian dari pembelajaran apresiasi secara tak langsung. Menurut saya seni jangan disakral-sakralkan, justru didekatkan ke masyarakat,” ujar penulis novel bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya itu.

“Karya bagus dipajang di WC pun tetap akan bagus, sebaliknya karya buruk dalam frame emas pun tetap jelek,” ucapnya.

Selain itu, Putu juga ikut menanggapi keberadaan Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) sebagai alternatif lain bagi masyarakat untuk berkunjung ke museum. Putu menyambut baik berdirinya museum tersebut di Jakarta.

“Saya belum pernah masuk langsung, hanya melihat di TV. Bagi saya usaha idealis yang berani yg nampaknya akan banyak tantangan atau beresiko tinggi, mengingat minat mengunjungi museum apalagi seni kontemporer masih tipis,” kata Putu.

Meski peminat museum seni masih sedikit, Putu menegaskan bahwa anak-anak muda diyakini bakal mendukung penuh keberadaan Museum MACAN. Secara pribadi, Putu pun mendukung keberadaan museum seni, bahkan kalau bisa bikin sensasi yang bisa menggemparkan publik.

“Tapi kalau gigih dan pantang mundur serta sabar, tekun, banyak akal dan setia pada idealisamenya, kawula muda akan mendukung. Saya pribadi sangat mendukung, topanglah dengan berbagai kegiatan seni lain yg terkait, jangan sampai kendor. Kalau perlu bikin ‘sensasi’,” ucap sosok yang saat ini sering melukis itu.

Putu mengatakan saat ini memang peminat museum seni memang masih sedikit, namun hal itu diyakininya akan terus meningkat. Menurut Putu, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih senang berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan.

“Secara umum belum banyak pemintanya. Masyarakat kita baru mulai tergoda pusat perbelanjaan dan kuliner. Kalau tidak dimulai menyeret mereka ke museum, mereka akan berkutat terus di situ dijerat oleh gairah konsumerisme,” ujar sosok berusia 74 tahun itu.

Share: Selfie di Museum: Bentuk Apresiasi Seni atau Narsisisme Pengunjung?