“Saya merasa mereka udah beli filmnya. Saya enggak jelas, apakah sudah termasuk ini-itu segala macam, termasuk judul. Itu saya pikir, udah salah mereka,” kata Syamsul Fuad, penulis naskah asli film Benyamin Biang Kerok yang dirilis pada 1972.
“Hak cipta tetap mesti ke saya, bukan masalah karakter almarhum Benyamin [Sueb], tapi masalah judul Benyamin Biang Kerok itu adalah ciptaan saya,” ujarnya lagi.
Asumsi menemui Syamsul di kantor Pos Kota di bilangan Gajah Mada, Jakarta Barat, beberapa waktu lalu. Pria berusia 83 tahun itu sehari-hari bekerja di Harian Pos Kota. Melalui media cetak itu pula lah, ia pertama kali membaca kabar bahwa filmnya difilmkan kembali oleh rumah produksi Max Pictures dan Falcon Pictures.
“Saya kagetnya justru setelah dimuat di Pos Kota bahwa cerita saya, [Benyamin] Biang Kerok, difilmkan sama mereka, dan sudah selesai [produksi],” katanya.
Akhirnya ia memberikan pernyataan melalui sebuah tulisan di Pos Kota. Baru kemudian pihak Max Pictures atas utusan Falcon menghubunginya.
Ialah Ody Mulya, produser film Benyamin Biang Kerok versi remake yang menghubungi Syamsul.
Syamsul pun membawa masalah ini ke ranah hukum. Ia menagih haknya sebagai pembuat naskah dan judul awal yang ia ciptakan pada 1972 silam. Ia pun menuntut ganti rugi kepada Falcon Pictures dan Max Pictures sebesar Rp11 miliar dan royalti Rp1.000 per tiket bioskop.
Hal itu dilakukan Syamsul karena dua rumah produksi itu lebih memilih untuk bayar royalti ke pada keluarga almarhum Benyamin Sueb, sang pemeran film asli Benyamin Biang Kerok, dibanding membayar royalti pada dirinya yang merupakan pembuat judul berserta naskah.
Syamsul memulai kariernya sebagai seorang wartawan media cetak sebelum terjun ke dunia film. Di industri film, ia mulanya berperan sebagai figuran di film Menjusuri Djedjak Berdarah pada 1966 dan mendapat penghargaan Pendatang Baru Terbaik pada Pekan Apresiasi Film Indonesia 1967.
Ia kemudian beralih peran menjadi asisten sutradara dan penulis naskah. Selain menjadi penulis skrip Benyamin Biang Kerok (1972), ia juga menulis naskah Biang Kerok Beruntung yang dirilis setahun kemudian—yang rencananya juga akan dibuat versi remakenya tahun 2019 nanti.
‘Film Terjelek Tahun Ini’?
Jika sudah menonton filmnya, jalan cerita yang disuguhi dalam film Benyamin Biang Kerok versi 2018 sebenarnya sangat berbeda dengan versi 1972. Meskipun punya nama tokoh utama yang sama yaitu Pengki, namun penggambaran kedua karakternya sangat berbeda.
Pengki di tahun 1972 adalah seorang sopir pribadi yang digambarkan sebagai pembuat onar. Sedangkan Pengki versi 2018 adalah anak orang kaya yang sibuk mengejar pujaan hatinya.
Meski demikian, film ini menerima sambutan yang buruk di kalangan penikmat film Indonesia. Film garapan sutradara Hanung Bramantyo ini mendapat ulasan negatif dari kritikus di situs-situs review film maupun netizen di media sosial.
“Benyamin Biang Kerok (2018) adalah mimpi buruk untuk ditonton. Alih-alih menjadi tribute untuk Benyamin Sueb, ia malah memakai nama besar komedian legendaris itu untuk menjual komedi absurd,” demikian tulis seorang reviewer, Fachrul Razi, di situs duniaku.net.
Seorang penikmat film yang Asumsi wawancarai, Mark Oh, menyebut film ini sebagai “salah satu film paling jelek yang saya lihat tahun ini.”
Ia membandingkan versi 2018 dengan versi 1972. Mark mengatakan, jika film lawas itu ditayangkan kembali di TV saat ini, orang pasti akan masih dibuat tertawa, berbeda dengan film versi membumi.
“Karena itu kan memang sebuah film komedi klasik. Jokes-nya meskipun itu dibuat puluhan tahun yang lalu, tapi itu masih bisa relate ke orang-orang,” kata Mark.
“Sejujurnya waktu nonton film Benyamin Biang Kerok versi terbaru, saya enggak ketawa sekali pun. Karena jokes-nya enggak pada tempatnya.”
Sementara itu, salah satu produser film Benyamin Biang Kerok (2018), Ody Mulia mengaku bahwa pihaknya sudah membeli lisensi dari judul yang dipermasalahkan oleh Syamsul tersebut.
“Jual beli right? Apakah kalau misalnya saya jual ke TV, judulnya enggak bisa dipakai? Kan right-nya udah putus semua. Nah ini harus tahu dulu kondisi jual beli right di perfilman. Ketika Anda menjual suatu film, maka semua yang ada dalam film itu jadi hak dari pembeli. Jangan dipisah. Masa saya beli isinya judulnya enggak boleh?”
Kerumitan bertambah pelik ketika rumah produksi yang dinaungi oleh Ody menggugat balik Syamsul Fuad, karena dianggap sebagai penyebab film yang dirilis pada 1 Maret 2018 itu tidak mencapai target penjualan.
Syamsul dituding sebagai penyebab film ini tidak mencapai target 6 juta penonton. Ia dituntut mengganti kerugian materil Rp35 miliar dan immateril Rp15miliar, dengan total tuntutan mencapai Rp50 miliar.
“Bahwa mereka menyalahkan saya karena filmnya tidak sukses, itulah suatu yang dicari-cari,” kata Syamsul kepada Asumsi.
“Film tidak laku itu karena dia sudah menyalahi prinsip film komedi. Sebab film komedi hukumnya sudah jelas, harus menggugah, bisa menggelitik, dan harus dibuat lucu.”
Menurut Syamsul, ketika ia menulis naskah film Benyamin Biang Kerok, targetnya adalah masyarakat menengah ke bawah.
“Kalau film komedi udah enggak lucu, gagal total,” ujarnya.
Sementara, Ody mengatakan pihaknya menuntut Syamsul balik karena menurutnya tuntutan awalnya tidak logis.
“Masa [kami dituntut] per film Rp10 miliar? Gila. Itu film kita aja enggak sampai segitu,” katanya.
“Masa sekadar judul Biang Kerok harganya puluhan miliar rupiah? Kalau pun salah, saya akan bayar harga penulis. Penulis berapa, sih, Rp60-100 juta? Kan itu yang logis.”
“Pemanfaatan HKI milik orang lain secara tanpa hak merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram (keputusan Fatwa MUI No:1/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual),” demikian tulisan di laman awal situs resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian dan Hak Asasi Manusia.
Kasus hak cipta yang termasuk ke dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memang agak rumit permasalahannya. Pelanggaran hak cipta bisa terjadi jika seluruh atau sebagian yang substansial dari sebuah karya diperbanyak tanpa kesepakatan sang penciptanya.
Lalu, siapakah yang benar? Jika melihat pada ketentuan mengenai ciptaan apa saja yang dilindungi di dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC), memang tidak secara gamblang menyatakan bahwa sebuah judul bisa dilindungi.
Kalau dilihat dari Pasal 44 ayat (1) UUHC, pengambilan suatu ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial, itu tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta, jika sumbernya disebutkan secara lengkap, dan hanya untuk keperluan pendidikan, keamanan, ceramah, dan pertunjukan yang tidak dipungut biaya.
Di pasal tersebut menjelaskan juga, bahwa jika ciptaan diambil hanya sebagian dan sifatnya substansial, maka dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. Jika merujuk pada permasalahan judul film Benyamin Biang Kerok, apakah termasuk pelanggaran hak cipta juga meskipun inti ceritanya berbeda?
Menurut buku Asian Copyright Handbook (Indonesian Version) karangan Tamotsu Hozumi, pada bagian tanya jawab (hal. 46), menjelaskan bahwa dalam beberapa situasi, memang rumit untuk memutuskan pelanggaran hak cipta, seperti judul buku, iklan, jenis huruf, rancangan tata letak (perwajahan), layout, dan desain.
Sehingga, hanya di meja hijau saja permasalahan itu bisa terjawab.
Syamsul sendiri berjanji akan terus memperjuangkan haknya di meja hijau. “Akan saya cecar terus sampai hak saya terwujud,” ujarnya.