Isu Terkini

Setya Novanto Resmi Dihukum 15 Tahun Penjara dan Hak Politiknya Dicabut, Begini Penjelasannya

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Akhirnya ya guys, setelah beberapa drama dan isu ‘bakpao’ yang melegenda, kini cerita tentang dugaan korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Mantan Ketua DPR Setya Novanto sudah menemukan ujungnya. Setya Novanto yang sering disebut dengan nama Setnov ini terbukti mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar itupun divonis hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.

“Menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi,” ujar ketua majelis hakim Yanto membacakan amar putusannya dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Selasa, 24 April.

Hakim memutuskan bahwa pria kelahiran Bandung, 12 November 1955 ini udah ngelanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Setya Novanto berupa pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Yanto.

Dalam sidang pembacaan putusan itu, hakim juga menerangkan bahwa Setnov terbukti menyalahgunakan jabatan dan kedudukannya sebagai anggota DPR serta ketua Fraksi Golkar. Dari situ, bisa kita ketahui, bahwa pria yang dulu mulai terkenal akibat kasus Papa Minta Saham inilah yang mempertemukan pengusaha Andi Agustinus (Andi Narogong) ke beberapa pihak di DPR.

“Karena sebelumnya Irman [pejabat Kemendagri saat proyek e-KTP] merasa sulit menggolkan anggaran e-KTP, akan tetapi setelah meminta bantuan terdakwa Setya Novanto, maka tahun 2011 anggaran e-KTP Rp 2,6 triliun benar-benar dapat disetujui. Padahal tahun sebelumnya permintaan anggaran selalu sulit meskipun tidak sebesar itu,” papar hakim anggota Frangki Tambuwun.

Atas jasanya yang jadi jembatan penganggaran e-KTP itu, Setnov dapat jatah uang dari Irvanto Hendra Pambudi Cahyo sebesar USD 3,5 juta dan dari perusahaan Made Oka Masagung sebesar USD 3,8 juta, sehingga totalnya sebanyak USD 7,3 juta. Setnov juga menerima 1 jam tangan merek Richard Mille seharga USD 135 ribu.

“Bahwa terdakwa Setya Novanto telah terjadi pemberian fee yang ditujukan pada yang bersangkutan yang berasal dari Anang Sugiana Sudihardjo, yang dikirim Biomorf Mauritius melalui Johannes Marliem ke Made Oka Masagung,” kata hakim.

Selain hukuman penjara dan uang pengganti, hakim juga ngasih hukuman pada Setnov berupa pencabutan hak politik Novanto. Menurut hakim, Novanto merupakan pejabat yang enggak seharusnya melakukan korupsi.

“Menimbang bahwa dari uraian di atas, semestinya pejabat lembaga tinggi, memberikan contoh yang teladan. Menimbang bahwa untuk itu majelis hakim berpendapat terdakwa Setya Novanto harus dicabut hak politiknya,” ujar hakim.

Berbeda dengan Tuntutan yang Diminta Jaksa

Meskipun hakim udah menetapkan 15 tahun kurungan penjara, sebenarnya jumlah hukuman itu berbeda dengan yang diminta oleh jaksa penuntut umum. Pada persidangan yang digelar pada Kamis, 29 Maret lalu, Jaksa menganggap kalau Novanto punya peran penting di kasus korupsi e-KTP itu.

Maka dari itu, jaksa menuntut agar Setnov dijatuhi hukuman kurungan selama 16 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar, yang apabila enggak dibayar maka diganti kurungan selama 6 bulan. Bahkan, jaksa juga minta majelis hakim untuk menuntut Setnov untuk ganti uang sebesar USD 7,3 juta yang dikurangi oleh uang yang sudah dikembalikan terdakwa sebesar Rp 5 miliar rupiah.

Sayangnya, hakim berkata lain, Setnov diberi hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta saja. Sedangkan, pencabutan hak politik selama lima tahun yang diminta jaksa diterima oleh hakim.

Pencabutan Hak Politik

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto pernah bilang kalau pencabutan hak politik seorang terpidana kasus korupsi emang perlu dilakukan. Hal itu dilakukan agar mereka enggak lagi punya akses mejabat sebagai pejabat publik.

“Sanksi hukum bertemu dengan sanksi sosial politik diharapkan bisa membuat efek deterent yang lebih kuat dan tegas. Sehingga tidak hanya harus dihukum atas perbuatannya tapi dibuat tidak memiliki akses lagi untuk menduduki jabatan publik,” kata Bambang ditulis Kpk.go.id, 22 Agustus 2013 lalu.

Ada beberapa pejabat publik yang hak politiknya dicabut, yaitu mantan Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Pol Djoko Susilo yang terbukti melakukan korupsi dalam proyek Simulator SIM. Selain hukuman penjara dan denda, Djoko Susilo juga dijatuhi hukuman pencabutan hak politik, yakni enggak boleh menggunakan hak memilih atau dipilih.

Selain itu ada juga mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dijatuhi hukuman penjara, pengembalian harta hasil korupsi kepada negara, dan pencabutan hak politik.

Pencabutan hak politik ini sebenarnya sempat dikritik karena dianggap ngelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Tapi, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahdud MD, setiap hukuman itu pada dasarnya adalah pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran itu diperbolehkan berdasarkan undang-undang (UU).

“Mengurung orang di jeruji penjara atau merampas harta bendanya juga merupakan pelanggaran HAM, tetapi dengan alasan tertentu yang diatur dengan dan di dalam UU maka HAM setiap orang itu bisa dirampas atau dikurangi,” tulis Mahfud MD di kolom media Koran Sindo pada 29 November 2014 lalu.

Share: Setya Novanto Resmi Dihukum 15 Tahun Penjara dan Hak Politiknya Dicabut, Begini Penjelasannya