Belakangan, kasus remaja yang tewas akibat meminum minuman keras (miras) oplosan ramai dibicarakan di media. Puluhan orang meninggal dunia setelah menenggak miras oplosan di sejumlah daerah berbeda dalam waktu yang berdekatan.
Miras oplosan biasanya tertuju pada alkohol ilegal yang diproduksi dan tidak diatur dalam regulasi. Alkohol ini biasanya diproduksi sendiri oleh pedagang dengan berbagai macam campuran atau oplosan.
Pada beberapa kasus, miras oplosan disebut memiliki kandungan alkohol dengan kadar 90 persen yang dicampur dengan aseton, anggur, atau ginseng. Nah, bahan aseton ini sering digunakan untuk membuat plastik dan obat pelarut pewarna kuku. Itulah yang membuat minuman ini berbahaya buat yang mengonsumsinya.
Menurut laporan para peneliti di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), penjual alkohol ilegal bertambah hingga 76,49% di lima daerah yang menerapkan pelarangan alkohol. Selain itu, kurangnya akses terhadap minuman beralkohol yang legal (recorded alcohol) justru menguatkan keinginan konsumen di Indonesia untuk mendapatkan minuman keras yang lebih kuat dan racikan.
Hal tersebut yang kemudian mungkin menjadi masalah kenapa alkohol oplosan ini laku di pasaran. Harganya pun sangat terjangkau. Satu botol ginseng dihargai hanya sekitar Rp15.000, sedangkan satu liter tuak dihargai sekitar Rp10.000. Di pasaran, dengan campuran tersebut, miras oplosan bisa dijual sekitar Rp20 ribuan.
Dengan harga yang terjangkau tersebut, semakin banyak yang mengonsumsinya sebagai alternatif minuman keras yang sudah terlebih dulu terdaftar secara resmi yang sudah diatur oleh regulasi.
“Kita tidak pernah tahu yang diminum itu pakainya alkohol apa. Karena yang biasa diminum kan etil alkohol [etanol]. Tapi kadang-kadang kalau yang ngoplos gini cari yang murah. Aku enggak tau apa mereka pakai yang methanol [jenis alkohol buat industri dan pembersih] yang mungkin lebih murah dalam jumlah besar,” ujar dokter Alfarina Herdianti kepada Asumsi.
“Kadang, campurannya dengan alkohol berinteraksi dan berefek bisa depresi nafas, alkohol melewati dosis maksimal bisa membuat depresi nafas,” ujarnya lagi.
Anak muda yang mengonsumsi minuman ini biasanya dari kalangan tertentu. Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), Daisy Indira, menilai, jatuhnya banyak korban akibat menenggak miras oplosan adalah akibat adanya kesenjangan kesejahteraan.
Ia bilang, warga yang tidak mampu membeli minuman beralkohol yang dijual secara legal beralih ke miras oplosan.
Jika dirunut, fenomena ini sebenarnya semakin berakar dan rumit. Urusannya bukan hanya sebatas urusan regulasi, namun akhirnya merembet ke banyak persoalan, mulai dari masih banyaknya pedagang miras oplosan di luaran, pergaulan anak muda zaman modern, peran hukum dan peran pemerintah, hingga ke tingkat kesejahteraan masyarakat sendiri.
Melebarnya membicarakan masalah bagaimana fenomena ini bisa terjadi, melebar pula solusi yang tepat untuk membereskannya. Dr Alfarina Herdianti memberikan juga opininya untuk hal ini.
“Untuk urusan sosialisasi ini, mesti dimulai dari pendidikan. Pendidikan itu dengan membicarakan, kecenderungannya kalau orang udah enggak ngebolehin, berarti diomongin juga enggak. Ini harus diomongin, jenis-jenis alkohol yang bisa dikonsumsi dan yang enggak boleh dikonsumsi. Ada sisi lain alkohol, ada di produk pembersih, di obat batuk untuk pelarut, untuk industri, dll.”
Fenomena ini bukan hanya fenomena yang melibatkan aparat terkait saja, tapi juga melibatkan kita semua sebagai manusia yang paham dan mengerti akan lingkungan sekitarnya masing-masing.