Sejarah

Harta, Tahta, Kasta: Pembagian Kelas Masyarakat yang Masih Kental di Bali

Desika — Asumsi.co

featured image
Photo: Unsplash/Hakan Nural

Dahulu, masyarakat Indonesia terbagi berdasarkan kelas atau kasta, khususnya saat zaman kerajaan Nusantara. Anggota keluarga kerajaan atau darah biru, kstaria, hingga rakyat jelata. Sejak merdeka, sistem kasta ini mulai luntur. Namun ada beberapa daerah yang masih tetap menjunjung tinggi. Salah satunya, Bali.

Masyarakat Bali adalah masyarakat yang berpegang teguh pada nilai dan norma budaya Bali dan hinduisme. Salah satunya kasta yang mengatur tingkatan lapisan masyarakat Bali mulai dari brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Setiap kasta memiliki aturan dalam berinteraksi baik sesama kasta maupun beda kasta pada konteks sosial, adat, dan agama.
Sistem kasta sangat diidentikkan dengan suku Bali, dikarenakan suku Bali yang paling menyolok menggunakan sistem kasta ini baik dari nama maupun kedudukan status sosialnya. Melansir dari Kemendikbud, sistem kasta merupakan suatu sistem pembagian atau pelapisan golongan masyarakat secara vertikal yang bersifat turun temurun.
Sistem kasta yang ada di dalam masyarakat Bali sangat kompleks dari nama, perkawinan, fungsi dalam masyarakat, upacara adat dan keagamaan serta tata etika dalam bermasyarakat antara beda kasta.
Sejarah Kasta di Bali
Dari laporan Studi Etnografi-Eksploratif Terhadap Eksistensi, Maknawi, dan Ekses Sosial Kasta Terhadap Keutuhan Desa Adat di Provinsi Bali, berdasarkan catatan sejarah Bali, sistem kasta mulai diterapkan pada waktu kedatangan Danghyang Nirartha (1550), ketika Kerajaan Gelgel diperintah oleh Raja Dalem Batur Enggong. Ketika itu (dan sesudahnya), rakyat menghormati Brahmana, Raja, dan para Arya karena mereka memang memiliki kedudukan dan jabatan yang nyata di masyarakat.
Danghyang Nirartha disebut Brahmana, karena memang dia memegang profesi kebrahmanaan. Dalem Batur Enggong dihormati sebagai Ksatrya, karena guna (bakat) dan karmanya (perbuatannya) memang sebagai raja. Demikian pula para Arya yang lainnya. Jadi sesungguhnya mereka dihormati sesuai dengan sistem warna. Hal demikian berlangsung sampai runtuhnya Kerajaan Bali terakhir lewat perang Puputan Kelungkung. 
Bahkan sampai saat keturunan raja-raja dan para Arya itu tidak lagi memegang pemerintahan secara nyata (absolut), karena Belanda mulai menguasai Bali. Namun, toh bekas raja-raja dan para Arya itu dihormati masyarakat, entah karena jabatannya sebagai regent, zelfbestuurder, punggawa dan perbekel. Jadi tetap sesuai dengan sistem warna. 
Tetapi, karena dalam kurun waktu tersebut sistem wangsa telah mengarah pula ke sistem kasta (yang diperkuat dengan sistem adat), maka setelah segala kedudukan resmi itu hilang, terjadilah masalah. Lebih-lebih setelah banyak anggota masyarakat yang semula dianggap berkasta rendah, menduduki jabatan-jabatan yang sama, bahkan lebih tinggi dan para Wangsa tersebut.
Sistem Kasta di Bali
Dalam penelitian PERSEPSI MASYARAKAT BALI TERHADAP SISTEM KASTA DI DESA BUYUT BARU TAHUN 2015 dijelaskan, sistem Kasta Bali adalah suatu sistem organisasi sosial yang mirip dengan sistem kasta india. Kemiripan ini bisa terjadi karena kedua sistem ini berasal dari akar yang sama, yaitu kekeliruan dalam penerapan sistem warna yang bersumber dari Veda.
Akan tetapi, sistem kasta India jauh lebih rumit daripada Bali, dan hanya ada empat kasta dalam sistem kasta Bali yaitu: brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Terdapat beberapa jenis sistem kasta yang ada didalam masyarakat Bali, yaitu:
a. Caturwangsa
Pembagian kasta yang mengikuti sistem kasta di India yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Selain itu masyarakat Bali juga mengenal istilah jaba atau orang yang berada diluar keempat kasta tersebut.
b. Triwangsa
Pembagian kasta dengan hanya mengambil tiga kelas teratas dari sistem catur wangsa, yaitu brahmana, ksatria, waisya. Berdasarkan triwangsa, semua gelar diperoleh secara askriptif atau turun-temurun dan ditentukan berdasarkan garis keturunan. 
c. Pembagian berdasarkan golongan
1) Wong majapahit yaitu orang-orang Bali yang masih keturunan Kerajaan Majapahit.
2) Bali Aga yaitu orang Bali asli yang sudah berada di Bali sebelum ekspansi Kerajaan Majapahit. Umumnya, masyarakat Bali asli ini tidak membaur dan terdesak hingga ke daerah terpencil (pegunungan) dan memiliki konotasi sebagai masyarakat terbelakang. Logat masyarakat ini juga berbeda dari masyarakat Bali yang lain. 
Perbedaan pemahaman sistem kasta dengan catur warna dalam agama hindu, istilah kasta tidak dikenal dalam veda, tetapi yang ada adalah warna. Akar kata warna berasal dari bahasa sansakerta.
Dalam catur warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga sudra ataupun waisya, apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status brahmana (rohaniawan). Berbeda dengan sistem kasta yang status seseorang didapatkan semenjak lahir, jika seseorang lahir didalam keluarga brahmana maka ia menyandang status brahmana. Jadi, berdasarkan catur warna, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam bidang tertentu.
Sistem warna yang merupakan pengelompokan orang berdasarkan tugas dan kewajiban yang dijalankan di dalam kehidupan bermasyarakat berubah menjadi tingkatan-tingkatan yang membedakan derajat seseorang berdasarkan keturunan. Tingkatan-tingkatan kelas inilah yang kemudian disebut dengan kasta.
Dampak Positif dan Negatif Kasta di Masyarakat
Dampak positif dari sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat Bali adalah mempermudah dalam hal pembagian kerja yang jelas. Setiap golongan dalam masyarakat Bali memiliki peran yang berbeda-beda, contohnya golongan brahmana memiliki peran untuk membimbing dan mengajarkan masyarakat dalam bidang kerohanian, golongan ksatria memiliki peran untuk melaksanakan jalannya pemerintahan, golongan waisya memiliki peran untuk menjalankan perekonomian, dan golongan sudra berperan untuk membantu dan melayani ketiga golongan lainnya.
Dampak negatif dari sistem kasta yang ada dalam masyarakat Bali adalah adanya pendiskriminasian terhadap seseorang, contohnya dalam perkawinan beda kasta. Masih banyak masyarakat Bali yang memiliki kasta tinggi tidak mau menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang memiliki kasta lebih rendah, karena kasta si perempuan akan turun mengikuti kasta laki-laki.
Pemahaman mengenai kasta sudah diajarkan turun temurun melalui keluarga, sehingga setiap anggota keluarga tidak dapat menghindar dari kasta tertentu yang melekat pada keluarganya terutama anak laki-laki. Masyarakat Bali menggunakan sistem garis keturunan laki-laki (Patrilineal), maka anak laki-laki sangat diutamakan dalam masyarakat Bali.
Dahulu apabila terjadi perkawinan campuran antara beda kasta maka anak perempuan akan dinyatakan keluar dari keluarganya dan secara fisik pasangan suami-istri akan dihukum buang untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Namun, di jaman sekarang hukum semacam itu sudah jarang digunakan karena akan membawa malu kepada keluarga serta akan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari perempuan. 

Share: Harta, Tahta, Kasta: Pembagian Kelas Masyarakat yang Masih Kental di Bali