Sore itu, usai mengikuti diskusi buku terbaru penulis Leila S. Chudori yang berjudul Laut Bercerita, saya memberanikan diri berkunjung ke rumah orangtua salah satu aktivis Reformasi yang saat ini masih dinyatakan hilang, Petrus Bima Anugrah.
Laut Bercerita, novel kedua Leila, bercerita tentang carut-marut tragedi 1998—pemberontakan mahasiswa yang diikuti tragedi penculikan dan penghilangan paksa puluhan aktivis mahasiswa, 13 dari mereka masih hilang hingga hari ini. Bimo, sapaan akrab Petrus Bima Anugrah, merupakan salah satu korban yang masih hilang.
Leila, yang merupakan wartawan Majalah Tempo, mengambil kisah Bimo sebagai tokoh Biru Laut yang tak gentar melawan kekejian Orde Baru.
Di ruang diskusi buku itu di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, saya pertama kali bertemu dengan kedua orangtua Bimo, Dionysius Utomo Rahardjo dan Genoveva Misiati. Saya bertanya kepada mereka, “Apa boleh sowan ke rumah Bengawan Solo?” yang merujuk kepada tempat tinggal orang tua Bimo.
Mereka menyilakan saya dengan hangat. Dari sini lah saya mulai mengenal lebih dekat siapa Bimo dan keluarganya yang tetap setia menanti di Rumah Bengawan Solo selama 20 tahun.
Bimo lahir di Malang, 24 September 1973. Ia adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, angkatan 1993.
Sebagai aktivis mahasiswa, Bimo bersama puluhan orang lainnya berjasa membuat Indonesia terbebas dari cengkeraman pemerintah otoriter. Berkat gerakan ini, masyarakat Indonesia kini bisa bebas menyampaikan pendapat tanpa harus was-was menerima perlakukan tidak adil dan kekerasan.
Kisah kekejaman aparat Orde Baru ini diceritakan dengan cukup detil oleh Nezar Patria, aktivis mahasiswa yang sekarang menjadi wartawan. Nezar menulis pengalamannya ketika berada dalam kamp penyiksaan untuk Majalah Tempo. Artikelnya diberi judul Di Kuil Penyiksaan Orde Baru.
Menurut artikel tersebut, yang juga menjadi rujukan Leila menulis novelnya, Bimo bersama ketiga orang temannya; Aan Rusdiyanto, Mugiyanto, dan Nezar Patria, pindah dari Yogyakarta ke Rumah Susun Klender di Jakarta Timur pada 1998 silam.
Mereka adalah anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Di organisasi itu, Bimo menjabat sebagai Koordinator Divisi Pendidikan, Agitasi, dan Propaganda.
Rumah itu terletak di pojok yang terjepit gang sempit. Begitulah deskripsi Rumah Susun Klender sebagaimana digambarkan oleh Leila dalam novelnya.
“Rumah ini tak bergaya dan tak berteriak. Begitu saja seperti rumah-rumah yang dibangun tahun 1970-an dengan perawatan seadanya karena toh hanya untuk dikontrakkan. Tak heran jika tembok yang resminya berwarna putih itu kini lebih tepat disebut warna cokelat kusam, jorok, dengan ubin yang penuh jejak banjir hingga kami perlu memberi alas tikar agar terasa berada di dalam peradaban,” kenang Laut, karakter yang terinspirasi dari tokoh Bimo.
Di Rumah Susun Klender inilah Bimo dan kawan-kawannya diciduk secara terpisah oleh komplotan orang tak dikenal. Hari itu, 13 Maret 1998, terdengar suara ketukan pada pintu kamar Bimo.
Setelah diangkut oleh anggota Tim Mawar yang berada di bawah naungan Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Bimo dibawa masuk ke dalam mobil dan kepalanya ditutupi.
Dalam novel Laut Bercerita dikisahkan dengan mendalam bagaimana mereka berempat diculik untuk disiksa; dipukuli, dipaksa berbaring di balok es, serta disetrum, sambil diinterogasi.
Sekali lagi kepalaku disiram air dan batu es.
“Bangun lu, anjing!”
…
Aku masih mencoba berdamai dengan setumpuk darah kering pada bibir, wajah bengkak, dan tulang hidung yang patah, yang membuatku sulit bernapas. Aku hanya bisa berharap kepala dan sebagian badanku yang basah oleh siraman es ini akan kering dengan sendirinya karena kedua tanganku masih diikat ke pojok vellbed.
Ada juga penyiksaan lainnya yang diterima oleh karakter Laut:
… dan tiba-tiba saja sebuah tongkat yang mengeluarkan lecutan listrik menghajar kepalaku. Aku menjerit ke ujung langit. Seluruh tulangku terasa rontok.
Aku berteriak-teriak menyebut nama Tuhan. Tapi suaraku sulit keluar. Setrum listrik itu seperti menahan segalanya di tenggorokanku.
Begitu aku mencoba membuka mulut lagi, sebuah sepatu bergerigi menginjak mulutku.
Rumah Bengawan Solo berada di pojokan gang kecil. Rumah mungil itu ditandai dengan papan nama bertuliskan “D. Utomo, nomor 20”. Saya disambut hangat dengan suguhan air putih yang menyegarkan tenggorokan ketika tercekat menyimak kesaksian demi kesaksian orangtua Bimo. Paduan kehangatan dan kesegaran yang bermakna.
Dalam novel Laut Bercerita, karakter Biru Laut digambarkan sebagai seorang pemuda yang sayang keluarga, memiliki kedekatan yang sangat erat dengan adik perempuannya. Ia selalu merindukan masakan ibunya, terutama gulai tengkleng yang aromanya tercium dari luar jendela rumah. Bahkan dalam pelarian pun, aroma masakan ibu masih sering tercium.
Hingga kini, ayah Bimo masih berharap menanti kepulangan anaknya. Ia selalu menyiapkan satu piring kosong di meja makan, jikalau anak sulungnya muncul di depan pintu. Tapi yang dinanti tak kunjung datang.
Pak Tomo, ayah Bimo, membeberkan surat-surat anaknya beserta karikatur dan potret terakhir yang tersimpan rapi di Rumah Bengawan Solo ketika saya sowan ke kediamannya. Hal yang terasa paling ironis yaitu saat menyimak selembar surat terakhir Bimo yang ia kirim kepada keluarganya.
Dalam surat itu ia menulis, ia akan pulang pada hari Paskah, April 1998. Nahasnya, 20 tahun kemudian, Bimo tak pernah pulang. Keluarganya pun tak pernah lagi merayakan Paskah dengan lengkap.
Pak Tomo dengan rendah hati menyatakan banyak terima kasih khususnya kepada Leila yang telah mengangkat cerita anaknya dan melahirkan kisah pergolakan bangsa Indonesia pada 1998. Ia pun berharap kepada pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, sesuai dengan janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika berkampanye sebelum pemilihan presiden 2014 lalu.
“Simpelnya, orang hilang ya dicari, tapi enggak tahu bakal ditemukan atau tidak,” kata Pak Tomo pasrah.
Ia selalu memiliki pertanyaan yang sama tanpa titik-terang. Menjelang masa akhir jabatan Jokowi ini pun, para keluarga korban belum mendapat kepastian atas janji empat tahun lalu.
Ibunda Bimo, Genoveva, berpesan pada saya sebelum pamit, “Yang kami butuhkan selama ini hanya satu, kepastian. Kalau memang masih ada sekarang ada di mana? Kalau memang sudah tidak ada, mbok yo dikasih tahu kapan dan kena apa, biar kita bisa mendoakan.”