Budaya Pop

‘Love For Sale’: Dari Lelaki Untuk Lelaki

Nadia Vetta Hamid — Asumsi.co

featured image

(Warning: Mild spoiler ahead)

Ketika pertama kali mendengar tentang film Love For Sale, dengan teaser karakter Richard Ahmad (Gading Marten) sedang galer, saya merasa senang. Mengapa? Akhirnya ada juga film Indonesia yang punya karakter utama berpenampilan realistis! Ketimbang berbadan atletis atau tinggi, rasanya Richard terasa seperti everyman, orang yang biasa kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Penampilannya terkesan acuh: cuma pakai kutang dan celana dalam sobek-sobek di rumah, garuk sana-sini, makan mie instan, dan galer setiap lima menit sekali. Ia biasanya hanya keluar rumah setiap nobar dengan bros-nya. Dari rumahnya di Jakarta Pusat, ke Kemang yang di Jakarta Selatan saja nyasar. Begitu kuper (kurang pergaulan) dan kesepiannya kehidupan Richard, hingga ia ditantang teman-teman nobarnya untuk membawa pasangan ke pernikahan salah satu dari mereka.

Sampai suatu hari, Richard menemukan brosur dari sebuah perusahaan dating startup, Love Inc., yang dicetak di percetakan miliknya. Sejak itulah hidupnya berubah dengan kehadiran Arini (Della Dartyan), perempuan yang dipesannya dari Love Inc.

Berbeda dengan Richard dan segala kegalerannya, Arini ini perempuan yang sempurna, baik fisik maupun perangainya. Ketika Arini pertama kali muncul di layar, saya sampai menyikut teman nonton saya, “Wah gile, cakep banget Arini!” Begitu mempesonanya Arini (atau Della) hingga perempuan heteroseksual pun juga terkagum-kagum melihatnya.

Cerita terus berjalan. Penonton semakin mengenal Arini dan juga progress hubungannya dengan Richard. Namun, ada yang mengganjal untuk saya. Arini ini kelewat perfect. Kalau saya sering mendapat tanggapan, “Wah jarang-jarang cewek suka Bayern Muenchen!”, Arini ini lebih anti-mainstream lagi klub favoritnya: Newcastle United. Alasannya, karena dulu bapaknya selalu mengajak Arini nonton setiap Newcastle tanding.

Ada lagi yang bikin saya meringis, di malam pertama Arini menginap di rumah Richard, ia fangirling teknik permainan seorang pemain Barcelona. “Wah… gocekannya cakep banget!” dengan suara manjha. Mungkin ini disengaja oleh penulis Andibachtiar Yusuf (yang juga menyutradarai Love For Sale) dan M. Irfan Ramli agar tidak jatuh ke stereotip seksis cewek penggemar bola yang kata para football bros cuma nonton karena pemainnya yang ganteng. Ganteng apaan, orang komuknya enggak keliatan!

Selain pilihan klub bolanya yang menarik, Arini yoga setiap hari dan jago masak masakan eksotis, seperti dari Madagaskar. Seketika saya langsung merasa gembrot setiap melihat Arini dengan sports bra dan baju-baju yang relatif memperlihatkan tubuhnya. (“Wah apalah aku ini hanya minyak sambal ayam geprek belaka,” kata saya kepada teman ketika makan ayam geprek usai nonton Love For Sale)

Hingga film berakhir, ada satu pertanyaan di benak saya: Apakah Arini itu Manic Pixie Dream Girl?

Memperbaiki Hidup Si ‘Loser’

Salah satu adegan dalam ‘Love for Sale’. Foto: Visinema

Manic Pixie Dream Girl (MPDG) adalah trope (stereotip karakter) yang pertama kali dikenalkan pada 2007 oleh kritikus Nathan Rabin, di ulasannya untuk film Elizabethtown.

Dalam artikel tersebut, Rabin mendeskripsikan MPDG sebagai karakter yang hadir sebagai imajinasi penulis/sutradara untuk mengajarkan karakter laki-laki (yang biasanya digambarkan sebagai loser) untuk memperbaiki hidupnya.

Sejak itu, trope MPDG identik dengan karakter Kirsten Dunst di Elizabethtown dan Natalie Portman di Garden State. Stereotip ini jugalah yang menempel di karier aktris Zooey Deschanel (ya, termasuk di film favorit kalian, 500 Days of Summer). Para karakter perempuan yang digambarkan sangat cantik, menginspirasi, dan memiliki perspektif yang unik tentang kehidupan—namun semua aspek itu diterapkan “hanya” untuk menolong karakter laki-laki.

Namun, pada 2014, Rabin menyatakan penyesalannya telah menciptakan istilah MPDG. Dalam artikelnya untuk situs Salon tersebut, Rabin mengatakan trope tersebut “sangat seksis, karena membuat perempuan terlihat tidak memiliki pendirian dan kehidupan sendiri karena hanya berfungsi sebagai penolong para laki-laki kulit putih yang hidupnya menyedihkan.”

Semua kualitas yang dimiliki Arini—baik fisik, sifat, dan juga kesukaannya—memang berujung untuk menolong si karakter lelaki, Richard, agar ia merasakan cinta dan tidak lagi kesepian. Memang, Arini diciptakan begitu sempurna karena ia harus memenuhi ekspektasi Richard sebagai kliennya. Namun tidak menolong kalau toh memang trope ini yang ada di Arini.

MPDG bisa jadi bukan hanya fantasi di layar semata. Trope ini berpotensi menjadi pola untuk perempuan muda di kehidupan nyata. Menurut tulisan dari penulis New Statesman, Laurie Penny, perempuan “bersikap seperti yang mereka temukan di cerita-cerita yang ditulis oleh laki-laki.” Tentunya ini menjadi masalah, karena perempuan juga “berhak untuk bisa menulis cerita mereka sendiri ketimbang hadir sebagai karakter pendukung di kisah-kisah untuk laki-laki.”

Realistis

Tapi ternyata enggak hanya perempuan yang menjadi “korban” trope MPDG. Merasa enggak sih begitu banyak film yang selama ini kita tonton, kalau karakter utama laki-lakinya baru bisa berubah kalau udah ketemu cewek? Itu juga bisa menjadi pesan untuk para cowok kalau mereka baru bisa menjadi orang yang lebih baik kalau mereka jatuh cinta dengan seorang cewek.

Yah, meskipun demikian, saya juga setuju kalau film ini menggambarkan perempuan slightly better dari film-film Indonesia kebanyakan. Contoh kecil, di adegan seks pertama mereka, Arini menginisiasi duluan dan bahkan berada di atas Richard. Untuk adegan intim di film ini, Andibachtiar Yusuf menggarapnya dengan apik. Pertama, karena realistis. Kedua, adegan seks tersebut enggak lantas mengeksploitasi tubuh Arini.

Saya juga mengapresiasi skenario Love For Sale. Saya suka cara Andibachtiar dan Irfan mengenalkan karakter-karakternya, dialog-dialognya yang dekat dengan kehidupan kita, dan jokes yang cerdas. Untuk saya yang juga (aspiring) penulis skenario, saya belajar banyak dari Love For Sale, walaupun belum bisa menghindari adanya adegan seksis, sih. Masa orang-orang kelas menengah suit-suitin cewek? Tapi saya harap adegan seperti itu ada untuk menyindir sesama cowok, ya.

Mungkin, kesuksesan Love For Sale bisa membuka jalan untuk semakin banyak lagi adult drama di kancah perfilman Indonesia. I really like the direction that we’re heading.

Tentunya, saya juga menanti film-film Indonesia yang menampilkan karakter utama perempuan dengan penampilan dan sifat yang jauh dari sempurna (atau bisa dibilang, “realistis”).

Nadia Vetta Hamid baru memulai kariernya sebagai penulis skenario, makanya nggak bisa nulis yang aneh-aneh. Suka minum cappuccino dan bela-belain begadang demi Bayern Muenchen. Ia dapat disapa di Twitter @nadiavetta

Share: ‘Love For Sale’: Dari Lelaki Untuk Lelaki