Isu Terkini

Cerita Zulfikar, Pria Indonesia yang Mencari Suaka ke Kanada

Abdul Qowi Bastian — Asumsi.co

featured image

“Apa tujuan kedatangan Anda?” tanya seorang petugas imigrasi bandara di Toronto Pearson International Airport kepada Zulfikar Fahd.

“Saya meminta perlindungan suaka,” kata Zulfikar, pria 30 tahun asal Jakarta itu.

“Atas negara apa?” tanya petugas itu lagi. Matanya menatap tajam ke dalam mata Zulfikar.

“Republik Indonesia,” jawabnya.

“Atas dasar apa?”

“Orientasi seksual.”

“Selamat datang di Kanada, Tuan Fahd,” sambut petugas itu ramah.

Zulfikar adalah seorang warga negara Indonesia yang mencari suaka ke negeri pimpinan Justin Trudeau itu. Ia melihat masyarakat Indonesia pada umumnya, beserta pemerintah dan lembaga penegak hukum, mulai bergerak ke arah homofobik “ke level yang membahayakan”.

“Gue melihat pemerintah Indonesia udah secara publik mengecam gaya hidup LGBT,” kata Zulfikar kepada Asumsi pada pertengahan Februari ini.

Pembahasan mengenai revisi Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) yang tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu kekhawatiran Zulfikar. Revisi KUHP tersebut akan memperluas pasal yang mengatur tentang perzinaan dan kriminalisasi kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

Namun Zulfikar mengaku, ia baru mengetahui pemberitaan seputar revisi KUHP melalui media pada awal tahun 2018. Sedangkan ia sudah berencana mencari suaka ke Kanada sejak pertengahan 2017 lalu.

“Walaupun sebenernya enggak ada peraturan mengenai LGBT di revisi KUHP ini, kehidupan komunitas LGBT di Indonesia menurut gue udah sangat terancam. Gue enggak terlalu peduli ada atau enggak peraturan ini, gue tetap akan pergi,” kata Zulfikar.

Ia menyebut, beberapa tahun sebelum revisi KUHP ini dibahas di DPR, sudah terjadi berbagai macam bentuk persekusi terhadap kelompok LGBT di Indonesia.

Pada Januari 2016, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi M. Nasir mengatakan, kelompok LGBT tidak boleh masuk kampus.

“LGBT ini tidak sesuai dengan tataran nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Saya melarang,” katanya kepada media. Pernyataan Nasir menanggapi keberadaan Support Group an Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia (UI) yang memberikan konseling kepada mahasiswa/i UI tanpa membedakan orientasi seksual.

Sebulan kemudian, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menilai maraknya isu seputar LGBT adalah bagian dari “proxy war”, atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer.

“[LGBT] bahaya dong. Kita tak bisa melihat [lawan], tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya,” kata Ryamizard kepada media pada Februari 2016.

Setelah itu, rangkaian penggerebekan dan penangkapan anggota kelompok LGBT terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Yang terbaru adalah penangkapan 12 waria di Aceh oleh pihak Kepolisian Aceh Utara dan Polisi Syariah Wilayatul Hisbah pada akhir Januari 2018.

Mereka ditangkap di sebuah salon yang mempekerjakan mereka setelah polisi mendapat laporan “keresahan warga”. Polisi kemudian memotong habis rambut para waria, serta melepaskan pakaian perempuan yang mereka kenakan untuk diganti dengan pakaian pria. Alasannya, “untuk diberikan pembinaan” dan “mampu berprilaku baik seperti laki-laki normal,” kata Kapolres Aceh Utara AKBP Untung Sangaji kepada media.

Sebelumnya, pada Mei 2017, Polres Kelapa Gading, Jakarta Utara, melakukan penangkapan terbesar di Indonesia terhadap anggota kelompok LGBT. Polisi menangkap 141 orang di sebuah tempat sauna. Foto ratusan orang tanpa busana yang sedang berbaris untuk diperiksa menjadi viral di media sosial.

Rentetan moral panic yang tercipta ini membuat Zulfikar resah sehingga ia berpikir keras untuk angkat kaki dari tanah kelahirannya. Ditambah adanya spanduk yang terpampang di depan gang rumahnya di kawasan Radio Dalam, Jakarta Utara. Spanduk itu berbunyi, “Kawasan ini antikomunis, narkoba, judi, alkohol, radikalisme, dan LGBT”.

Spanduk anti-LGBT yang terpasang di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan. Foto oleh Zulfikar Fahd

“Misalnya, lo punya tetangga yang curigain lo gay, mereka bisa memata-matai dan akhirnya melapor ke polisi. Gue merasa enggak punya privacy di Indonesia,” kata Zulfikar.

Sebagai seorang manusia yang memiliki free will, ia berharap suatu hari nanti ia bisa mendapatkan suami, membangun keluarga, dan memiliki anak, namun ia tak melihat masa depan itu di Indonesia.

“Jangankan punya suami, punya pacar aja gue takut kalau di Indonesia. Jangankan punya pacar, cuma hookup aja itu pun gue enggak berani. Karena gue takut kalau misalnya nanti tetangga gue melapor ke polisi dan gue digerebek,” akunya.

Kanada, Negeri Ramah LGBT

Di bandara Toronto, setelah melewati proses imigrasi, Zulfikar menuju sebuah ruangan untuk menjalani wawancara. Di ruangan itu sudah ada beberapa pencari suaka lainnya.

Beberapa pertanyaan yang diajukan meliputi, “Seperti apa kondisi di Indonesia sekarang?”, “Jika kamu kembali ke Indonesia, apa yang akan terjadi padamu?” “Apakah kamu bisa meminta perlindungan kepada polisi?” dan semacamnya.

Itu baru tahap pertama wawancara, masih ada rangkaian proses lainnya sebelum Zulfikar diizinkan menerima suaka atau tidak di Kanada. Ia harus kembali lagi ke bandara keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi, untuk kembali melalui pemeriksaan dengan staf imigrasi yang berbeda.

Setelah melewati tiga kali wawancara oleh tiga petugas yang berbeda, ia diberitahu bahwa ia akan mempresentasikan kasusnya di hadapan dewan imigrasi Kanada pada 31 Mei mendatang.

Kanada merupakan salah satu negara di dunia yang telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Hingga akhir 2017, setidaknya ada 25 negara yang telah mengizinkan warganya menikah sesama jenis, beberapa di antaranya meliputi Belanda, Jerman, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, hingga Argentina dan Uruguay.

Lantas apa yang membuat Zulfikar memilih Kanada? Pria yang pernah tinggal di Australia ini mengaku ia tidak akan kerasan jika harus menetap selamanya di Negeri Kanguru itu. Sedangkan Selandia Baru terlalu jauh di pelosok, menurutnya.

“Terus terang gue enggak percaya diri dengan pemerintahan Trump-Pence yang sangat homofobik. Gue enggak yakin kesempatan gue untuk diterima di sana akan besar,” katanya.

Untuk menghindari kendala bahasa yang kemungkinan bisa mengganjal peluangnya di negara-negara Eropa dan Amerika Latin, maka pilihan Zulfikar jatuh kepada Kanada, salah satu negara yang paling bersahabat terhadap komunitas LGBT.

Setiap tahunnya Kanada menerima sekitar 250 ribu hingga 300 ribu imigran dari berbagai latar belakang dan beragam negara. Toronto sendiri dinobatkan sebagai kota layak huni (most liveable city) nomor 4 di dunia dalam The Global Liveability Report 2017.

https://commons.wikimedia.org/w/index.php?curid=45198328
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau saat mengikuti parade kelompok LGBT di Vancouver pada 2015. Foto dari Wikimedia

“Orang-orang di sini sangat friendly, bahkan sejak pertama kali gue tiba di bandara,” kata Zulfikar.

“Sekarang gue lagi ikut semacam program cultural exchange, tinggal di sebuah rumah keluarga Kanada dengan gratis. Mereka sangat ramah dan membantu gue dalam setiap hal di sini.”

Sembari menunggu keputusan pada Mei nanti, Zulfikar diberi kebebasan untuk melakukan apa saja di Kanada. Tapi ada satu hal yang tidak boleh ia lakukan: bekerja.

Lelaki yang sebelumnya bekerja sebagai communication consultant di sebuah agensi di Jakarta ini mengaku yakin, jika statusnya resmi diterima sebagai pencari suaka, ia akan mendapatkan pekerjaan yang layak di Toronto.

Harapannya, ia diterima sebagai pencari suaka sehingga statusnya akan dinaikkan menjadi permanent resident sebelum ia bisa mendaftarkan diri sebagai warga negara Kanada.

Namun jika pemerintah Kanada tidak mengabulkan permintaannya, ia harus meninggalkan negara tersebut secara sukarela sebelum dideportasi. Akankah Zulfikar kembali pulang ke Tanah Air?

“Gue enggak akan pulang ke Indonesia,” katanya.

Share: Cerita Zulfikar, Pria Indonesia yang Mencari Suaka ke Kanada