Olahraga

Pasal 39 Aturan PBESI Dinilai Bisa Ancam Gim Kecil dan Tumpang Tindih

Irfan — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi: Sean Do/ Unsplash

Sejumlah pihak menyatakan peraturan Pengurus Besar Esport Indonesia kebablasan. Beberapa pasal dalam peraturan itu dinilai melangkahi kewenangan lembaga lain.

Tumpang tindih kewenangan

Dalam diskusi daring yang digelar oleh para pegiat dan pehobi Esport, Kamis (19/8/2021), para pembicara yang terdiri dari Rizki Salminen, seorang Virtual Fest Programmer yang juga pegiat gim dan Javier Fernando dari Komunitas Gamer Indonesia yang juga content creator Gamebrott.com ini menilai ada sejumlah hal yang tidak konsisten dalam aturan PBESI.

Salah satu aturan yang dinilai menjadi persoalan adalah perlunya izin PBESI untuk gim di Indonesia. Pada ayat 9 Pasal 39, PBESI bahkan bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menghapus dan menghentikan akses dari suatu gim dan gim Esport yang tidak diakui oleh PBESI.

Padahal, kewenangan itu berada di tangan Indonesia Game Rating System (IGRS) yang bekerja bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika. Bagian yang ada di Pasal 39 ini pun jadi rancu karena di bagian awal, PBESI menyebutkan perbedaan antara gim dan Esport.

“Mereka bilang gim yang diregulasi hanya gim yang terdaftar di mereka. Tapi di aturannya tertulis mereka mengatur gim, enggak dibedain mana gim mana Esport, padahal di atas dijelasin mana gim mana Esport. Allgames,” kata Rizki.

Menurutnya, IGRS dan Kemenkominfo telah menjadi pihak yang paling berwenang untuk memberi izin sebuah gim bisa beroperasi atau tidak di Indonesia. Sehingga, masuknya PBESI melangkahi peraturan yang sudah lebih dulu ada yang mestinya dilakukan oleh IGRS dan Kemenkominfo.

“Kalau game gak boleh beroperasi karena aturan PBESI, that’s just bullshit. Enggak bisa kayak gitu,” ucap dia.

Ancam gim kecil

Rizki pun menilai aturan yang membuat sebuah gim layak disebut Esport oleh PBESI pun rancu. Misalnya, salah satu kriterianya harus diterima luas oleh masyarakat Indonesia. Ini sulit mengukurnya. Sementara itu, gim yang dimainkan di PC juga tidak masuk kriteria karena berdasarkan info yang komunitas terima, gim ini tidak bisa diakses oleh banyak orang Indonesia.

“Kalau katanya gim PC tidak bisa dimainkan karena tidak semua punya PC ya berarti gim PC tidak akan pernah masuk. Walaupun enggak kita pungkiri memang enggak sepopuler gim mobile,” ucap dia.

Dengan kriteria gim harus kompetitif, ini juga dikhawatirkan mereduksi gim lain yang saat ini, meski tidak besar, punya ekosistemnya sendiri. Menurut Rizki, tidak semua gim yang ada mode kompetitifnya adalah Esport, begitu juga sebaliknya.

“Lagian semua gim secara teknikal punya mode kompetitifnya. Kayak Speed Running. Speed Running kan player versus player rebutan siapa yang bisa ngumpulin paling cepat kan? Walaupun gimnya, secara teknis dan definisi tidak punya mode kompetitif, inside the game itself enggak punya. Tapi di luar situ ada ekosistem komunitas. Ini bisa jadi masalah. Kalau begitu, semua gim bisa kena,” kata Rizki.

Baca Juga: Aturan Esport PBESI Jadi Kontroversi, Potensi Monopoli Hingga Gim Populer di Luar RI Tak Diakui | Asumsi

Aturan ini tentu berlebihan, soalnya, mandat PBESI hanyalah mengatur gim yang telah terdaftar di mereka saja. Sedangkan gim yang tidak terdaftar, tidak berhak diputus aksesnya karena itu sudah bukan kewenangan PBESI. “Ini mengancam gim skala komunitasnya enggak gede,” ucap dia.

Diskriminasi

Rizki pun menanyakan kenapa yang bisa mengajukan turnamen resmi hanya publisher. Padahal, komunitas juga mestinya diberikan hak yang sama untuk menggelar turnamen serius. Ia pun menyarankan mestinya PBESI bertindak reproaktif dengan melihat turnamen yang sudah ada di komunitas Esport Indonesia. Dengan begitu, PBESI hanya cukup mengelola yang sudah ada.

“Valorant nih misalnya sudah mulai gede di Indonesia, nah itu dibina. Pastiin turnamen Valorant ke depan mengikuti regulasi yang ada, lebih enak gitu kan? Karena yang menumbuhkan Esport itu bukan publisher, bukan PBESI, tapi komunitas. Hidup matinya Esport itu di tangan komunitas,” ucap dia.

“Kalau main larang-larang, komunitasnya ya jadi ikutan mati. Enggak bisa ngadain event. Harusnya biarin aja dulu. Kalau sudah gede banget baru ditarik. Kalau kayak gini kan kerjaan PBESI lebih sedikit, enggak harus merhatiin ratusan gim yang ada di dunia harus terdaftar (untuk diturnamenkan). Cuma karena di sini kulturnya blokir, blokir, blokir, larang, larang, larang, ya akhirnya hasilnya kayak gini,” kata Rizki menambahkan.

Sementara itu, Javier Fernando mengatakan sebetulnya aturan ini bisa dilihat dari banyak sisi positif. Seperti proyeksi dukungan pemerintah pada gim lokal. Berdasarkan info yang Javier dapat, salah satu amanat Presiden untuk PBESI adalah hal ini. Sehingga tak heran Lokapala dipertandingkan di PON Papua tahun ini dan menggunakan platform Garudaku.com.

Selain itu, bisa jadi ke depan publisher gim online buka kantor di Indonesia. Atau masuk melalui publisher gim yang sudah ada. Ini tentunya akan menghidupkan juga publisher gim lokal.

“Probelmnya adalah melampaui sistem yang sudah ada dengan sistem baru. Yang dibuat PBESI ini enggak relevan. Harusnya publisher bukan kooperatif dengan PBESI, tapi ke IGRS saja. Jadi kayak ada dua badan yang satu mengatur gim secara kasual dan gim secara kompetitif. Belum lagi di gim sendiri kan sebetulnya sudah ada IESPA, mereka mengatakan Esport tapi mereka atur yang rekreasi di bawah KORNI. Jadi kayak ada tiga badan beda-beda. Bakal bertabrakan ini ke depannya,” ucap dia.

Timbulkan kerancuan

Javier juga sepakat dengan Rizki soal ketidak jelasan kriteria harus diterima luas oleh masyarakat Indonesia agar sebuah gim bisa diterima sebagai Esport. Soalnya, ukuran ini sulit diterapkan. Kalau mengacu pada device, otomatis gim yang bisa diterima hanya Free Fire dan Mobile Legend.

“Karena yang dua ini speknya rendah. Secara jujur, pengguna ponsel di Indonesia paling banyak menggunakan RAM 4 GB, storage 64, kalau pun make Snapdragon paling seri 6. Ya banyakan pecinta FF,” ucap dia.

Javier pun menegaskan, Pasal 39 inilah yang memang menjadi masalah laten dari aturan PBESI ini. Sementara bagian lain seperti hak pemain dan aturan teknis kompetisi masih bisa dibicarakan. “Main dish-nya memang di Pasal 39 ini,” kata dia.

Namine Sae, host dari diskusi daring ini juga menyebut, sebagai pengurus olahraga Esport di Indonesia, PBESI yang melakukan fungsi pengawasan, pembinaan, dan pengaturan dalam hal Esport masih bisa diterima. Namun sulit dibayangkan kalau PBESI juga mengatur hal yang sebenarnya kewenangan lembaga lain.

“Jadi enggak setuju kalau mereka jadi pemain utama. Dalam hirarki perundang-undangan, aturan ini bahkan di bawah peraturan menteri. Kalau suatu hari Menteri Olahraga yang menganulir pasal ini gampang banget. Bahkan ini bukan aturan kementerian,” ucap dia.

Tanggapan PBESI

Sementara itu dalam video yang diputar dalam diskusi tersebut, Sekretaris Jendral PBESI, Frengky Ong buka suara soal kritik yang dilemparkan komunitas atas aturan PBESI.

“Regulasi PB Esports Indonesia adalah peraturan untuk judulnya peraturan pengurus besar esports Indonesia. Jadi peraturan itu adalah untuk mengatur rumah pengurus besar esports Indonesia, jadi bukan peraturan Republik Indonesia, tapi peraturan untuk pengurus besar Esports Indonesia,” kata Frengky.

Baca Juga: ESports di Asian Games, Beneran Olahraga? | Asumsi

Menurut dia, sama seperti PSSI di sepak bola, PBESI yang jadi payung olahraga Esport juga memiliki peraturan. Kendati tidak merinci, ia menyebut siapapun yang termasuk dalam keluarga PBESI tentu akan terikat dengan peraturan itu.

“Jadi game-game yang nanti akan mendaftar di PBESI pasti akan terikat dengan aturan itu,” lanjutnya lagi.

“Peraturan itu merupakan turunan dari UUD Nomor 3 Tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional di mana semua liga olahraga itu ada di bawah PB masing-masing. Kita ditunjuk sebagai PB-nya dari Esports secara resmi dari pemerintah,” lanjut Frengky.

Share: Pasal 39 Aturan PBESI Dinilai Bisa Ancam Gim Kecil dan Tumpang Tindih