Serius, deh. Jangan.
Baru-baru ini, jagat dunia maya dihebohkan dengan cerita seorang pengguna jasa transportasi online. Dalam keluhannya, ia menyampaikan bahwa temannya baru saja mendapatkan pelecehan seksual dari salah satu pengemudi mobil yang ditumpanginya. Ternyata, dalam waktu yang berdekatan dengan keluhan tersebut, sedang viral juga beberapa keluhan serupa lainnya. Serupa, karena kasusnya sama, yaitu pelecehan seksual oleh driver.
Perusahaan jasa terkait pun ambil sikap. Lewat media sosial Twitter, perusahaan tersebut menyampaikan bahwa mereka telah memberikan sanksi sesuai kode etik mitra pengemudi perusahaan tersebut. Lebih lanjut, mereka menyampaikan bahwa sudah berusaha menawarkan proses mediasi dengan cara………mengajak kedua pihak bertemu.
Saya memang bukan siapa-siapa, tapi sampai di titik mengajak kedua belah pihak bertemu saja sudah cukup membingungkan bagi saya. Jika pertemuan ini dianggap pihak perusahaan sebagai solusi, sesungguhnya ini bahkan enggak bisa disebut solusi oleh korban.
Korban pelecehan seksual umumnya merasa takut dan jijik, baik kepada pelaku maupun kepada dirinya sendiri. Mempertemukan korban pada pelaku hanya akan mengingatkan korban pada pelecehan seksual yang diterimanya. Bagai luka yang pelan-pelan berusaha ditutup, tapi harus ditarik dan dibuka lagi dengan pertemuan ini. Bukan kah itu menyakitkan?
Selain itu, korban pelecehan seksual mungkin sedang terluka. Secara fisik, mungkin iya atau enggak. Tapi yang pasti, kalau korban merasa tersakiti, artinya dia sedang terluka secara mental. Mengajak korban bertemu kembali dengan pelaku artinya sedang bermain-main dengan mental korban.
Dan ini bukan tindakan yang bijak.
Enggak berhenti di sana, pihak perusahaan melanjutkan penjelasan penanganan kasus ini dengan pernyataan bahwa korban menolak ajakan mediasi mereka, yang seolah menjadi alasan penanganan kasus terhambat. Jika memang benar demikian maksudnya, maka perusahaan terkait sebenarnya tengah melakukan victim blaming.
Lagi-lagi, ini bukan tindakan yang bijak.
Di luar bagaimana kelanjutannya saat ini, kasus ini menunjukkan bahwa perusahaan besar berskala nasional seperti ini bahkan belum mengerti cara yang tepat menangani kasus pelecehan seksual. Padahal, ada cara khusus dalam menangani kasus pelecehan seksual, yang sebenarnya enggak susah dilakukan.
Menanggapi korban pelecehan seksual itu bisa dilakukan sesimpel dengan buat mereka merasa aman dan nyaman untuk bercerita, dengarkan cerita mereka dan jangan menghakimi, kalau bisa justru berikan simpati dan empati. Selain itu, kondisi mental dan fisik korban pasca pelecehan juga harus diperhatikan.
Kemudian, kalau bisa, bantu korban dengan memberikan informasi yang sekiranya mereka butuhkan, misalnya ke mana harus melapor atau layanan pendampingan. Meski demikian, jangan paksakan pilihan kepada korban. Yang perlu dilakukan hanya membantu memberikan informasi dan dukungan, tapi biarkan korban memilih sendiri.
Pada tahapan yang lebih serius, belum ada kejelasan pasti apakah pelaku pelecehan seksual bisa dipidanakan. Sebab, istilah pelecehan seksual sendiri enggak dikenal dalam KUHP. Di sisi lain, KUHP mengatur perkara perbuatan cabul, yang diartikan sebagai segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Hal ini diatur dalam pasal 289 sampai pasal 296 KUHP.
Perbedaan istilah ini sedikit banyak menyulitkan penanganan perkara pelecehan seksual. Dengan banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi, akan lebih baik jika perkara ini lebih dianggap serius dengan membentuk satu peraturan pidana tersendiri. Tapi, di luar dari urgensi pembuatan pidana bagi pelaku, publik juga harus lebih paham cara menangani korban pelecehan seksual, agar jangan ada jiwa-jiwa yang terbuang percuma.
Rosa Cindy adalah penyuka isu sosial dan jalan-jalan. Dia bisa disapa melalui akun media sosial Instagram dan Twitter, @rosacindys.