Pendiri Microsoft, Bill Gates, baru-baru ini menunjukkan ketertarikan pada proyek meredupkan sinar matahari. Ia bersedia mendanai eksperimen yang berjalan di bawah Harvard University ini. Dikutip dari CNBC, proyek yang bertujuan untuk menekan pemanasan global ini dinamakan Stratospheric Controlled Perturbation Experiment (Eksperimen Gangguan Terkendali Stratosfer) atau SCoPEx.
“Anda tidak bisa menutupi matahari dengan jari, tapi mungkin dengan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa,” kata Gates dikutip dari Forbes.
Seperti Apa Rencana Proyeknya?
Dikutip dari Kompas, proyek ini bakal membutuhkan dana hingga Rp144 triliun (US$10 miliar) tiap tahunnya. Proyek eksperimen ini sempat tertahan karena memicu kontroversi di tengah publik dan para ilmuwan. Kontroversi yang muncul itu terkait gagasan meredupkan cahaya matahari.
Proyek ini, pada dasarnya, dilakukan untuk mempelajari kemungkinan menahan sinar matahari agar tidak mencapai permukaan bumi melalui teknologi geoengineering (rekayasa bumi).
Secara umum, rekayasa bumi ini mengacu pada teknologi yang mampu mengubah kualitas fisik bumi dalam skala yang sangat besar. Salah satu contohnya, penyemaian awan dengan menggunakan pesawat agar menghasilkan hujan.
Memangnya Bisa Meredupkan Matahari?
Banyak orang mulai mempertanyakan bagaimana cara Gates bisa menutup cahaya matahari untuk masuk ke Bumi. Dikutip dari Entrepreneur, proyek ini akan dilakukan dengan cara menyemprotkan berton-ton kalsium karbonat yang tidak beracun (CaCO3) ke stratosfer. Debu-debu kimia itu, diyakini mampu menahan sebagian cahaya matahari dan meredupkan langit.
“Kami berencana menerbangkan balon untuk mengangkat paket instrumen sekitar 20 km ke atmosfer. Setelah di tempat, sejumlah kecil bahan (100g 2 kg) akan dilepaskan untuk menciptakan massa udara, sekitar satu kilometer panjang dan seratus meter diameter. Kemudian kami akan menggunakan balon yang sama untuk mengukur perubahan yang dihasilkan dalam massa udara yang terganggu, termasuk perubahan kepadatan aerosol, kimia atmosfer dan hamburan cahaya,” demikian keterangan yang disampaikan pihak SCoPEx.
Dengan begitu, proyek ini diharapkan mampu mendinginkan suhu bumi. Diperkirakan, cara ini dapat mengurangi suhu bumi sekitar 1,5 derajat celcius.
Namun, secara ilmiah, belum ada peneliti yang dapat menjamin keberhasilan proyek ini. Terlebih jaminan soal dampak penyebaran bubuk CaCO3 ke lapisan stratosfer untuk menahan cahaya matahari.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan, hingga saat ini rencana proyek tersebut masih menuai pro dan kontra di kalangan peneliti.
“Ini masih gagasan awal. Pastinya, masih ada pro dan kontra karena yang jelas, dari segi pro memang saat ini sedang dicari upaya teknologi untuk mengurangi pemanasan global, sebut saja seperti mengurangi gas rumah kaca yang saat ini dilakukan. Usulan Bill Gates ini tentu menjadi pertimbangan karena menggunakan teknologi geoenginerring atau yang disebut dengan rekayasa bumi,” kata Thomas kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (2/4/21).
Menurutnya, alasan menaburkan butiran kapur atau kalsium karbonat di lapisan stratosfer karena relatif lebih stabil. “Berbeda dengan lapisan troposfer yang lebih dinamis karena di sana, ada proses pembentukan awan dan hujan,” terangnya.
Ia menambahkan, dikarenakan lapisan stratosfer yang relatif stabil, kemungkinan bila butiran-butiran kapur ini ditebarkan di sana, maka cahaya matahari yang masuk ke bumi akan berkurang.
“Diyakini, sebagian cahaya dipantulkan karena kapur itu kan, putih ya. Jadi, dipantulkan kembali kembali ke luar atmosfer sinar mataharinya itu. Ini bukan “memadamkan” sinar matahari ya, tapi kata yang tepat “meredupkan”. Cuma kita belum tahu dampak yang akan terjadi dari menerbarkan bubuk kapur ke stratosfer. Sejauh ini memang belum bisa diperkirakan keberhasilannya,” ungkapnya.
Bakal Perparah Pemanasan Global?
Thomas mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran para ilmuwan antariksa dan pakar astronomi terhadap rencana proyek ini. Kekhawatiran itu terkait bahayanya bagi lapisan stratosfer hingga dampaknya dalam memperparah pemanasan global di bumi.
“Memang, bisa jadi malah menimbulkan mekanisme lain yang malah memperparah pemanasan global. Kekhawatiran ini juga sesuatu yang belum diketahui. Jadi, memang, dari sumber informasi yang saya peroleh, program usulan Harvard ini masih belum akan dilakukan dalam waktu dekat pada bulan ini,” terangnya.
Menurutnya, saat ini para ahli yang ditunjuk oleh Harvard ini akan membuat model komputasinya terlebih dahulu. “Eksperimen mungkin baru akan dilakukan setelah rancangan modelnya rampung lalu diketahui bagaimana cara terbaik meluncurkan balon ke stratosfer, kemudian data apa saja yang bisa diperoleh dan bagaimana mengirimkan data dari stratosfer dengan ketinggian tertentu,” jelasnya.
Saat ekperimen nanti, Thomas memprakirakan kapur yang akan disebar di lapisan stratosfer masih dalam jumlah yang sangat sedikit. Bila ini berhasil, lanjutnya, maka jumlah kapurnya bakal ditambahkan.
“Jumlahnya sedikit dulu mungkin kapur yang disebarkan, beberapa kilogram untuk mengukur dampaknya seperti apa. Katanya, ada gagasan awal akan jutaan ton yang disebar kapurnya. Ini enggak bakal dilakukan penaburan dalam jumlah banyak. Masih gagasan umum ya, karena banyak hal yang harus diperhitungkan.Kabarnya akan dilakukan Juni ini,” tutur Kepala LAPAN.