Program vaksinasi diharapkan dapat menjadi titik balik dari pandemi COVID-19 di Indonesia. Pemerintah menargetkan 181.554.465 orang penduduk yang berusia di atas 18 tahun dapat selesai tervaksinasi secara bertahap sebelum akhir tahun 2021.
Berdasarkan data per-14 Maret 2021 dari Kementerian Kesehatan, total penerima vaksin tahap satu baru mencapai 4.020.124 penduduk sedangkan untuk tahap dua yang tercapai baru sebesar 1.460.222 penduduk. Apabila merujuk pada linimasa yang telah ditetapkan, ada kekhawatiran mengenai keselarasan antara perencanaan dengan realitas di lapangan mengenai perkembangan pelaksanaan vaksinasi ini.
Untuk membicarakan hal tersebut, Asumsi mengundang para perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, serta Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO) Australia untuk mengulas lebih dalam terkait tantangan dan realitas dalam tata kelola perumusan kebijakan berbasis bukti pada kebijakan vaksinasi COVID-19.
Lebih lanjut, webinar yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Asumsi pada Selasa, 23 Maret 2021 ini diharapkan juga dapat memfasilitasi pertukaran pengetahuan antara pemerintah, lembaga penelitian, dan individu lainnya untuk mendukung proses pengambilan kebijakan berdasarkan bukti. Webinar ini dipandu oleh Tri Muhartini selaku Peneliti Kebijakan dari PKMK UGM.
Bicara tentang COVID-19, salah satu masalah yang terpenting adalah lambatnya proses vaksinasi. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Dr. Dian Sawitri selaku perwakilan dari Kementerian Kesehatan memaparkan bahwa masalah ini tidak bisa dihindari karena kurangnya jumlah pasokan vaksin yang tersedia. Ia menjelaskan, “Sampai semester pertama 2021 ini, jumlah pasokan vaksin yang tersedia memang masih sangat terbatas: hanya sekitar 30% dari jumlah kebutuhan total target yang harus divaksinasi.” Jumlah pasokan vaksin baru mulai lancar diperkirakan pada semester dua tahun 2021.
Tapi, seperti yang kita tahu: pandemi COVID-19 tidak akan pernah mau menunggu. Salah satu siasat yang bisa kita lakukan adalah bersiasat dengan berbekalkan data. Dr. Mahesh Prakash dari CSIRO Australia mengatakan, “kita bisa melakukan modeling untuk mengetahui apakah jumlah vaksin yang terbatas itu bisa dimaksimalkan dampaknya.” Salah satu contohnya adalah menargetkan distribusi vaksin ke daerah-daerah yang paling parah terkena dampak pandemi. Selain itu, kita juga bisa menggunakan modeling untuk mencari titik tengah antara karantina total dengan kehidupan normal untuk meminimalisir dampak ekonomi sembari menekan persebaran virus.
Lantas, bagaimana dengan proses pengembangan vaksin dalam negeri?
Prof. dr. Herawati Sudoyo, M.S. sebagai Wakil Kepala LBM Eijkman Bidang Riset Fundamental menjelaskan bahwa saat ini mereka sedang mengembangkan Vaksin Merah Putih bersama dengan Bio Farma, BUMN yang merupakan satu-satunya produsen vaksin dalam negeri. Kerja sama ini dilakukan untuk memastikan supaya vaksin yang dikembangkan dapat diproduksi dengan skala masif.
Dalam kesempatan kali ini, Prof. Herawati juga turut menjawab komentar beberapa pihak yang mengatakan bahwa proses pengembangan vaksin dalam negeri memakan waktu yang kelewat lama. Ia menekankan, “Tentu saja, hal ini bukan sesuatu yang kami lakukan tergesa-gesa. Kami ingin yakin bahwa apa yang kami buat dan kembangkan dapat digunakan untuk anak bangsa secara berkelanjutan.” Lanjutnya, ia memaparkan bahwa sewajarnya proses pengembangan vaksin memerlukan waktu tahunan.
Saat ini, proses pengembangan Vaksin Merah Putih sudah pada tahap penelitian praklinik. Harapannya, vaksin tersebut dapat merangsang terjadinya antibodi untuk kemudian diserahkan pada Bio Farma untuk uji klinik selanjutnya. Pengembangan Vaksin Merah Putih ini diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri, walaupun begitu tidak menutup kemungkinan bahwa vaksin ini juga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan ekspor.