Konflik Partai Demokrat berbuntut panjang setelah Moeldoko ditetapkan sebagai ketua umum versi Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara. Kisruh ini bikin gerah internal Demokrat, memicu banyak spekulasi, hingga muncul anggapan akan matinya etika politik.
Tanpa proses panjang dan berliku, Moeldoko seketika jadi orang nomor satu di partai berlogo bintang mercy itu. Ia dengan yakin menyebut KLB di Deli Serdang adalah konstitusional dan tak lupa pula menyampaikan terima kasih atas kepercayaan yang tiba-tiba datang kepada dirinya.
Sebagai seorang pejabat negara di lingkaran ring satu atau berada dekat dengan Presiden RI Joko Widodo, insiden pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan Moeldoko terhadap AHY ini tentu saja jadi sorotan.
Sebagai ketua umum yang sah berdasarkan AD/ART, AHY tak tinggal diam. Ia melakukan berbagai cara untuk mempertahankan posisinya. Safari politik AHY ke beberapa lembaga negara dimulai pada Senin (8/3) kemarin. Ia menyambangi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), untuk menyerahkan berbagai dokumen seperti AD/ART Partai Demokrat yang telah disahkan oleh negara, dan dokumen berisi susunan pengurus.
Baca Juga: Cerita Penolakan Gatot Nurmantyo saat Diajak Kudeta AHY dari Ketum Demokrat
Sementara itu, mantan Sekjen Partai Demokrat, Marzuki Alie–yang sebelumnya ikut dicalonkan di KLB di Deli Serdang–justru menggugat perdata AHY. Gugatan dilakukan terkait perbuatan melawan hukum karena telah memecat Marzuki dan empat kader partai lainnya. Adu manuver dua kubu ini tentu akan menjadi drama politik yang berlangsung panjang.
“Power Grab” Melanda Demokrat
Profesor sosiologi bencana dari Nanyang Technological University (NTU) Sulfikar Amir mengatakan bahwa secara terang benderang ada pihak eksternal yang melakukan upaya perampasan Partai Demokrat. Aksi yang disebut terkesan sangat memaksa.
“Power grab, perampasan kekuasaan yang biasanya dilakukan rezim-rezim otoriter terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik di masyarakat,” kata Sulfikar saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (9/3).
“Misalnya dalam agraria, disebut land grab atau perampasan tanah oleh pihak yang berkuasa. Dalam politik, ini menjadi power grab, apalagi ada indikasi dilakukan secara terorganisasi. Jadi tidak berlaku pada partai politik saja, tapi bisa terjadi di organisasi kemasyarakatan,” ujarnya.
Sulfikar mengatakan bahwa upaya perampasan Partai Demokrat oleh pihak eksternal partai tersebut, bahkan bisa mempengaruhi sektor perekonomian. Ia menyebut kualitas demokrasi bergantung pada kualitas partai-partai politik sebagai aktor utama.
“(Kemudian) pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial tergantung pada kualitas demokrasi, dan karenanya pada kualitas partai politik.”
Baca Juga: Testimoni Peserta KLB Demokrat: Diimingi Rp 100 Juta, Dapat Cuma Rp 10 Juta
Sementara itu, Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan, menyayangkan adanya pengambilalihan kekuasaan dari AHY oleh Moeldoko. Sebagai pejabat negara yang dekat dengan Presiden RI Joko Widodo, Moeldoko mestinya bisa memberi contoh yang baik bagi keberlangsungan demokrasi.
“Ya, kasus ini secara telanjang mempertontonkan arogansi sekaligus matinya ketedanan politik kekuasaan,” kata Bakir saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (9/2/21).
Bakir menilai Moeldoko melakukan langkah berdasarkan posisi dirinya sebagai orang di ring satu kekuasaan. Menurutnya, langkah buruk itu, justru memperburuk wajah politik kekuasaan yang interventif terhadap urusan partai yang seharusnya patut dijaga.
“Kudeta terjadi karena didukung oleh Moeldoko yang notabene orang ring 1 kekuasaan yang secara tidak langsung mempertontonkan abuse of power,” ujarnya.
Perlunya Ada Pembenahan di Internal Partai Politik
Amika Wardana, Sosiolog Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), mengaku tak terlalu kaget dengan kudeta yang dilakukan Moeldoko terhadap AHY di Partai Demokrat. Menurutnya, dalam politik, ya hal-hal seperti itu memang bisa saja terjadi.
“Lalu apa yang diperhatikan? Kita punya masalah yang lebih serius dan lebih mendalam. Partai politik kita itu kurang bagus, jadi di situ. Jadi saya tuh heran, kenapa pembicaraan di media itu hanya difokuskan pada isu bahwa Moeldoko sebagai sosok yang punya posisi di Istana, terus mau ngambil Demokrat, ya itu bisa saja terjadi,” kata Amika kepada Asumsi.co, Selasa (9/3).
Sekali lagi, Amika melihat bahwa permasalahan yang lebih serius dari kisruh Demokrat ini adalah soal partai politik di Indonesia, yang menurutnya tak ada yang bagus dalam sebuah kultur demokrasi. Ia menegaskan perlu ada pembenahan terkait keberadaan partai politik tersebut.
“Rata-rata partai politik kita itu selalu soal figur, temporer dan kemudian cenderung dinasti minded. Tidak ada proses demokrasi di dalam partai politik itu sendiri. Sehingga cenderung, ya kalau nggak seneng, terus hilang, nggak seneng, hilang,” ujarnya.
Jadi, lanjut Amika, orang-orang saat ini memang cenderung masih lihat ke sosok figur tersebut dan tidak ada yang berusaha dengan serius membangun jaringan ke bawah. Amika menilai mestinya ada nilai yang memang diperjuangkan bersama sehingga ada loyalitas jangka panjang dan semangat bersama.
Sayangnya, ia tak melihat hal-hal penting itu di dalam partai politik saat ini. “Dan proses karier di dalam politik sendiri juga asal dekat dengan mereka yang jadi pimpinan, naik ke atas, yang tidak dekat, hilang. Saya kira itu yang harusnya menjadi perhatian kita.”
Soal adanya upaya pengambilalihan kekuasaan yang terjadi, Amika melihat hal itu tak mengherankan. Apalagi di tengah kondisi politik di mana pemerintah saat ini cenderung sedikit ingin menguasai segalanya; tanpa mau menerima kritik dan tak ingin ada oposisi yang sehat.
“Dari sistem kepartaian internal, sistem dalam partai sendiri yang tidak pernah establish dengan baik yang dilakukan dengan konsisten. Jadi, cenderung mereka hanya untuk alat kekuasaan tapi bukan untuk alat mencapai sebuah misi yang lebih besar. Itu sebenarnya sudah menjadi perdebatan panjang.”
“Bagaimana partai politik itu di Indonesia saat ini punya niat keseriusan membangun sistem demokrasi di internal mereka, internalnya dulu, jadi kita mau ngapaian bicara cita-cita demokrasi, wong partai politiknya juga tidak demokratis.”