Isu Terkini

Cerita Pedagang Pasar Tanah Abang yang Runtuh Dihantam Pandemi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Jantung Tanah Abang adalah pasar, dan jantung pasar adalah para pedagang. Dari masa ke masa, Pasar Tanah Abang telah bertahan dari rupa-rupa bencana, mulai dari pembantaian etnis Tionghoa oleh Kompeni, kelesuan semasa pendudukan Jepang, hingga kebakaran yang terjadi berulang-ulang.

Kali ini, pasar sepi karena pandemi COVID-19. Di awal pandemi saja, kerugian telah mencapai triliunan rupiah akibat terhentinya kegiatan jual beli setelah Pasar Tanah Abang ditutup selama lebih dari sebulan. Momentum bulan puasa dan lebaran, yang biasanya jadi kesempatan meraup untung besar, harus terlewat begitu saja. Karena pandemi makin mengganas, tak hanya toko yang tutup. Para pekerja atau pegawai di Pasar Tanah Abang yang harus kehilangan pekerjaan.

Baca Juga: Haji Lulung, Si “Preman Pensiun” Tanah Abang

Hari-hari ini pun, meski pasar sudah buka, tapi geliat kegiatan jual beli masih sangat lesu. Pedagang harus membanting harga, berusaha keras menarik pembeli, meski ujung-ujungnya tetap saja merana. Sesulit apa keadaannya? Sanggupkah para pedagang bertahan? Kalau iya, sampai kapan?

Di Asumsi Distrik episode Tanah Abang, kami menemui sejumlah pedagang yang terdampak pandemi. Berikut petikan wawancara bersama sejumlah ibu-ibu pedagang di Pasar Tanah Abang.

Ibu dagang di Tanah Abang sejak tahun berapa, Bu?

Dira: Tahun 95-an, lah. Baru tahun ini, baru semenjak Maret itu, kan mulai Corona.

Baru tahun ini, baru semenjak Maret itu, kan mulai corona. Memang jatuh banget. Jatuh banget, nggak ada pemasukan sama sekali. Nol selama delapan bulan ini.

Mulai Maret itu kan, pulang kampung di Demak. Di kampung tuh lama, lima bulanan. Baru mulai kemarin Juni dagang lagi. Di kampung aja nganggur total, ada tabungan sedikit, habis semuanya.

Yang paling menyenangkan ya dagang buah aja. Temennya banyak, bisa ngobrol-ngobrol. Bisa ketawa-ketawa, biarpun dagangannya sepi.

Baca Juga: Jago Tanah Abang: Jawara yang Mencoba Bertahan di Kampung Sendiri

Paling sedih ya nggak ada pemasukan sama sekali, nol besar. Kan ditinggal pulang ke kampung.

Yesi: Udah setahun kerja. Kemarin sih sempet tutup. Ini baru buka lagi. Bulan Agustus.

Corona, paling pelaris doang. Kan dua-tiga orang yang belanja.Dikurangin karyawannya. Kan tadinya ada tiga. Cuma satu sekarang. Cuma saya. Yang dua diistirahatin dulu.

Eti: Sejak tahun ’97. Udah 23 tahun. Sekarang ini jauh banget. Ibu habis modal sekarang.

Dulu barang Ibu banyak banget. Sekarang dagangan habis, modal habis, rumah kita jual, disita bank, nggak kebayar.

Gimana mau bayar, buat makan aja susah. Satu orang dapet sembako, sembako itu pun kan nggak rutin. Nggak cukup.

Jadi hasil kerja Ibu selama 20-an tahun hangus dalam 8 bulan?

Eti: Habis total, total banget. Udah nggak ada sama sekali.Untuk bayar kontrak rumah aja sekarang bingung mikirinnya.

Ini kadang-kadang sampe dua minggu nggak [ada] pelaris. Nggak laris satu potong pun.

Kadang dua minggu, baru laris 3-4 potong. Untung aja di depan tuh lari-larian dagang yang pake stainless itu ya.

Kejar-kejaran. Dikejar Pol PP, kabur. Ya namanya kita butuh makan. Bener-bener nggak bisa, Ibu. Udah kayaknya… otak kita udah mentok.

Mau ngapain? Mau minjam ke bank, dengan jaminan apa lagi? Kecuali kalo pemerintah ada pinjaman lunak.

Dan lagi, prosedurnya bagaimana? Syaratnya apa? Kita kan nggak tau. Itu makanya gimana caranya, Ibu mohon, mudah-mudahan pemerintah mendengarkan keluhan orang kecil ini.

Mudah-mudahan. Ibu mengharapkan banget. Untuk saat ini, soalnya Ibu udah nggak punya rumah. Bener-bener, nanti mau perpanjang kuliah anak Ibu.

Mau tahu lebih lanjut kisah Tanah Abang beserta warga yang ada di dalamnya? Yuk langsung tonton Asumsi Distrik episode Tanah Abang di channel YouTube Asumsi.

Share: Cerita Pedagang Pasar Tanah Abang yang Runtuh Dihantam Pandemi