Tahun 2021 baru berjalan kurang dari dua pekan, tapi kabar duka telah tiba. Akhir minggu lalu, pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak diperkirakan jatuh di dekat Kepulauan Seribu, tak lama usai lepas landas. Pesawat tersebut membawa 62 penumpang.
Sampai hari ini, proses evakuasi terus dilakukan personel lintas departemen. Beberapa serpihan badan pesawat, korban, hingga black box berhasil ditemukan. Meski begitu, penyebab jatuhnya SJ-182 masih diidentifikasi.
Tragedi yang menimpa SJ-182 kian menambah panjang daftar kecelakaan pesawat di Indonesia. Sejarah mencatat, SJ-182 bukan pesawat pertama yang terkena musibah.
Pada 1997, misalnya, pesawat Garuda bernomor 152 jatuh di hutan di kawasan Deli Serdang, beberapa menit sebelum mendarat di Bandara Internasional Polonia, Medan, Sumatera Utara. Jatuhnya Garuda 152 diakibatkan salah komunikasi antara kru pesawat dan pemandu lalu lintas udara.
Seluruh penumpang, yang berjumlah 234 orang, tak selamat, menjadikannya sebagai tragedi paling kelam dalam dunia penerbangan Indonesia.
Satu dekade berselang, nasib nahas dialami Adam Air bernomor DHI 574 jurusan Surabaya-Manado. Pesawat ini jatuh di perairan Majene, Sulawesi Barat. Sebanyak 102 orang di dalamnya meninggal. Kecelakaan disebabkan berbagai faktor: kerusakan mesin dan kesalahan pilot.
Tiga tahun setelahnya, Merpati Airlines 8968 menghantam Pegunungan Barat Papua. Kecelakaan terjadi lantaran cuaca buruk. Korban tewas 25 orang, penumpang dan awak pesawat.
Baca juga: Butuh Waktu Berapa Lama Hingga Hasil Investigasi Kecelakaan Pesawat Terungkap
Kecelakaan pesawat di Indonesia memang kerap terjadi. Contoh di atas hanyalah secuil potongan belaka. Catatan yang dihimpun Aviation Safety Network memperlihatkan bahwa semenjak 1945 sampai sekarang terdapat 104 kecelakaan pesawat di Indonesia.
Angka tersebut bahkan memasukkan Indonesia ke dalam jajaran 10 besar negara dengan insiden kecelakaan pesawat terbanyak di tingkat global, mengalahkan Cina dan India.
Statistik itu tak sebatas kumpulan angka-angka, melainkan turut pula mendatangkan konsekuensi bagi industri penerbangan Tanah Air. Pada 2007, Federal Aviation Administration (FAA), regulator penerbangan sipil AS, menurunkan peringkat Indonesia dari level Kategori 1 menjadi Kategori 2.
Artinya, bagi pemerintah AS, Indonesia belum memiliki standar penerbangan yang sesuai ketetapan internasional. Pemberian status tersebut diambil tiga tahun usai pesawat Lion Air JT 358, yang menewaskan 23 penumpang, terjadi di Solo. Situasi itu membikin maskapai penerbangan komersial Indonesia tak boleh terbang ke AS.
Berdasarkan laporan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), rata-rata setiap tahunnya angka kecelakaan pesawat di Indonesia berada di atas 20. Pada 2011, ambil contoh, terdapat 32 kecelakaan. Jumlahnya menurun jadi 30 kecelakaan pada 2012, sebelum akhirnya meningkat kembali jadi 34 kecelakaan setahun setelahnya.
Selama satu dekade terakhir, periode paling mengerikan muncul pada 2016, di mana ada 45 kecelakaan pesawat sepanjang tahunnya. Sementara korban tewas terbanyak dijumpai pada periode 2018 ketika terdapat 199 orang yang tewas akibat kecelakaan pesawat.
Faktor Pesawat Murah?
Anggapan yang kerap muncul ketika kecelakaan pesawat terjadi adalah mengaitkannya dengan keberadaan penerbangan murah, atau populer disebut Low Cost Carrier (LCC). Sriwijaya Air, ambil contoh, termasuk dalam maskapai yang cukup sering menerapkan sistem semacam itu. Harga tiket Sriwijaya Air punya rata-rata sebesar $0,11 per kilometer.
Pada dasarnya, penerbangan murah merupakan model bisnis baru di luar maskapai penerbangan tradisional, yang menitikberatkan pada perbedaan tarif. Perbedaan tarif di sini merujuk pada penjualan dan reservasi, pelayanan, gaji pilot, kepemilikan pesawat, sampai perawatan.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) menjelaskan keberadaan maskapai-maskapai yang menyediakan jasa penerbangan murah telah berperan penting mendongkrak pertumbuhan penumpang yang luar biasa pesat.
Pada 2015, jaringan penerbangan murah mengangkut 984 juta penumpang—setara dengan 28 persen—dari jumlah total penumpang yang diangkut waktu itu (sebanyak 3,5 miliar). Jumlah ini meningkat 10 persen dibanding tahun sebelumnya. Salah satu maskapai melejit lewat LCC ialah Southwest Airlines Co. yang berpusat di Dallas, Texas.
Masih menurut ICAO, ada tiga resep yang membikin LCC populer. Pertama, pertumbuhan LCC sejalan dengan liberalisasi pasar. Kedua, LCC mampu menangkap kebutuhan penumpang dan menawarkan produk yang sesuai (harga murah, layanan prima). Ketiga, saat industri kedirgantaraan diributkan dengan lonjakan avtur hingga serangan teroris, LCC tetap memegang teguh prinsip kerjanya: memotong biaya bagi konsumen dan memaksimalkan efisiensi penerbangan.
Selama beberapa tahun terakhir, maskapai penerbangan murah menunjukkan kinerja pasar yang kuat dan memuaskan preferensi konsumen. Inovasi bisnis LCC untuk mencapai efisiensi tinggi dalam hal muatan penumpang, pengurangan biaya yang kompetitif, serta struktur organisasi, dapat dibilang, memenuhi permintaan pasar sekaligus menciptakan kemungkinan pasar yang sangat terjangkau bagi jutaan pelancong dengan anggaran terbatas.
Sejak 2017, LCC menyumbang hampir sepertiga dari industri penerbangan global. Pencapaian tersebut diprediksi akan terus meningkat sampai 2025 mendatang, saat proyeksi nilai pasar LCC menyentuh angka lebih dari $247 miliar.
Di Indonesia sendiri, kemunculan LCC dimulai sejak dibukanya deregulasi penerbangan niaga oleh pemerintah pada 2001. Kebijakan tersebut memungkinkan maskapai-maskapai untuk menjalankan bisnis penerbangan kendati hanya punya satu pesawat dan modalnya pas-pasan. Situasi ini makin menguntungkan maskapai tatkala aturan mengenai batas tarif bawah dinihilkan.
Alhasil, harga tiket semakin murah dan nama-nama baru di jagat industri penerbangan pun muncul, seperti Lion Air, Adam Air, AirAsia, Citilink, Jatayu, Kartika Airlines, Sriwijaya, Indonesia Airlines, Star Air, dan Batavia Air.
Berbagai strategi ditempuh untuk memenuhi target. Adam Air, misalnya, mematok harga rendah untuk trayek penerbangan yang kurang diminati penumpang dan menjual tiket lebih mahal untuk rute yang ramai. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka subsidi silang agar harga tiket bisa ditekan. Selain itu, Adam Air juga mengoperasikan pesawat keluaran baru untuk menghemat bahan bakar.
Hal serupa dilakukan oleh Lion Air. Demi menggaet banyak penumpang, Lion Air menggunting biaya operasional pegawai serta layanan jasa penumpang dan menerapkan sistem penjualan tiket secara daring.
Hasilnya tokcer. Penerbangan murah mulai diminati banyak orang. Data menunjukkan lonjakan jumlah penumpang yang cukup drastis dalam lima tahun sejak deregulasi berlaku. Pada 2002, pertumbuhan penumpang berada di kisaran angka 12,3 juta. Dua tahun berikutnya, jumlah penumpang meningkat dua kali lipat hingga 24 juta.
Kiwari, volume penerbangan murah di Indonesia mencapai 87,8 juta kursi—setara dengan 50,7 persen dari total kapasitas penerbangan LCC di Asia. Penyumbang terbesar yakni Citilink dan Lion Air, yang mampu mengisi masing-masing 18,06 juta dan 51,85 juta kursi pada 2018.
Namun begitu, lonjakan penumpang di segmen penerbangan murah dibarengi dengan anggapan bahwa tingkat keamanan penerbangan murah begitu rendah sehingga memicu terjadinya rentetan kecelakaan.
Pada 2014, contohnya, publik Indonesia digegerkan oleh kabar kecelakaan pesawat yang menimpa AirAsia dengan rute Surabaya-Singapura. Setelah kehilangan kontak sekitar 40 menit usai lepas landas, Pesawat Airbus A320-200 yang membawa 162 penumpang ini dinyatakan hilang dan jatuh di Laut Jawa.
Tragedi AirAsia membikin Menteri Perhubungan waktu itu, Ignasius Jonan, mengeluarkan kebijakan sarat kontroversi: tidak akan ada lagi tiket pesawat berharga miring. Jonan menyatakan, per Desember 2014, tiket pesawat dengan tarif di bawah Rp500 ribu ditiadakan. Atau dengan kata lain, batas bawah harga tiket pesawat kelas ekonomi naik menjadi minimal 40 persen dari yang sebelumnya 30 persen.
Alasan Jonan menaikkan batas tarif bawah yakni membantu meningkatkan margin keuntungan para maskapai penerbangan sehingga bisa lebih mengutamakan keselamatan. Bagi pemerintah, keselamatan tak akan terjamin apabila harga tiket pesawat masih murah.
“Kami ingin sektor penerbangan sehat, bukan murah. Jika murah, mungkin ada banyak hal yang tidak dilakukan,” terang Jonan.
Keputusan sepihak pemerintah tentu ditentang pihak maskapai LCC. Senior Manager Corporate Communications Sriwijaya Air saat itu, Agus Soedjono, misalnya, bersikeras bahwa keselamatan dan harga murah tak berhubungan. Ia menegaskan bahwa maskapai “tak mungkin mengorbankan keselamatan karena harga murah.” Keselamatan penumpang, kata Agus, “hal yang tidak bisa ditoleransi.”
Sejauh ini belum ada riset yang bisa membuktikan hubungan antara murahnya harga tiket dan tingkat keselamatan penerbangan, atau apakah harga murah berbanding lurus dengan sistem perawatan pesawat yang dimiliki maskapai.
Yang jelas, bila mengacu pada KNKT, penyebab kecelakaan pesawat di Indonesia sebagian besar karena faktor manusia (51,38 persen), disusul teknis (14,08 persen), lingkungan (7,28 persen), dan fasilitas (2,28 persen).
Jalan Masih Panjang
Sebetulnya, dalam beberapa tahun belakangan, industri penerbangan lokal sudah banyak berbenah. Catatan ICAO menunjukkan bahwa sejak 2016, tingkat kecelakaan pesawat di Indonesia konsisten mengalami penurunan.
Temuan yang sama turut diperlihatkan data KNKT. Sejak dua tahun terakhir, dari 2018 hingga 2020, jumlah kecelakaan pesawat menurun. Pada 2018, ada 44 kecelakaan pesawat. Satu tahun kemudian, jumlahnya kembali menurun jadi 30. Tahun kemarin, turun kembali di titik 24.
Statistik itu lantas diapresiasi oleh banyak pihak. Pada 2016, FAA mengembalikan peringkat Indonesia ke Kategori 1. Perubahan ini membikin maskapai asal Indonesia boleh mengudara ke negeri Abang Sam.
Indonesia juga diberi skor 80,34 persen dalam ICAO Universal Safety Oversight Audit Program-Continuous Monitoring Approach (USOAP-CMA) sehingga berhak memperoleh Council President Certificate pada 2018. Masih di tahun yang sama, Komisi Uni Eropa menganulir nama Indonesia dari daftar EU Air Safety List. Efeknya: maskapai Indonesia dibolehkan mengudara di seluruh wilayah anggota Uni Eropa.
Capaian-capaian itu membuat pasar penerbangan bergairah. Jumlah penumpang terus meningkat sejak 2014 sampai 2018, mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Proyeksi pasar penerbangan Indonesia pun diperkirakan berada di angka yang positif. Pada 2025 mendatang, misalnya, kapasitas market penerbangan Indonesia ditaksir punya nilai sebesar $8,6 miliar, dengan tingkat penetrasi konsumen 6,4 persen.
Kecelakaan yang menimpa pesawat Sriwijaya Air memperlihatkan betapa masih panjang upaya dalam memaksimalkan perlindungan saat terbang di udara, sekalipun Indonesia capaian-capaian mengesankan berhasil digenggam.
Pertanyaannya: bisakah tragedi Sriwijaya menjadi momentum untuk, sekali lagi, membenahi tata kelola industri penerbangan dalam negeri yang sebelumnya cukup gilang-gemilang, dan—yang terpenting—mencegah agar korban tak kembali berjatuhan?
Tak mudah, pastinya, mengingat industri penerbangan kiwari tengah menghadapi musuh bersama bernama pandemi, yang sudah membikin anjlok keuntungan maskapai hingga PHK massal.