Foto: Oka Sudiatmika/Wikimedia Commons
Penemuan kotak hitam pesawat Sriwijaya Air SJ182 yang jatuh di Kepulauan Seribu memberikan titik terang upaya pengungkapan penyebab kecelakaan pesawat tersebut. Kotak hitam—yang sebenarnya berwarna terang ini—memang jadi barang penting karena ia punya fungsi menyimpan data penerbangan (flight data recorder atau FDR) dan suara di kokpit (cockpit voice recorder atau CVR) selama pesawat mengudara.
Hingga kini, baru FDR yang telah berhasil ditemukan. Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengatakan FDR akan memulai proses pengunduhan dan pembacaan data. “Kami membutuhkan waktu kira-kira 2-5 hari baru bisa mengunduh data. Apakah data ini bisa terbaca atau tidak,” kata Soerjanto pada 13 Januari lalu.
Lantas, apakah ini berarti hasil investigasi akan diumumkan dalam waktu dekat?
Tunggu dulu. Meskipun satu dari dua kotak hitam itu telah ditemukan, bukan berarti investigasi dapat segera tuntas. Proses investigasi kecelakaan sebuah pesawat dapat memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya.
Dalam waktu 30 hari setelah kecelakaan terjadi, tim investigasi memang mesti telah memberikan laporan awal kepada International Civil Aviation Organization, lembaga di bawah PBB yang mengawasi perjalanan udara komersial. Tapi, untuk laporan finalnya sendiri, ahli investigasi kecelakaan pesawat dan profesor aviasi Daniel Kwasi Adjekum menjelaskan ke The Conversation bahwa biasanya butuh waktu hingga satu tahun ataupun lebih lama lagi.
Alasannya, investigasi semacam ini membutuhkan kolaborasi berbagai pihak: antar negara hingga tim dengan berbagai latar belakang, mulai dari pihak di lapangan, pihak yang dapat memberikan analisis kondisi cuaca, ataupun pihak yang dapat membaca perilaku manusia.
Ambil contoh kasus jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 yang menewaskan 162 orang. Pesawat yang mestinya mengantar penumpang dari Bandara Juanda, Surabaya, ke Bandara Changi, Singapura ini jatuh di wilayah perairan Selat Karimata pada 28 Desember 2014.
Butuh waktu hampir satu tahun setelah kotak hitam ditemukan untuk menuntaskan investigasi—yang hasilnya baru diumumkan oleh KNKT pada 1 Desember 2015.
Apa yang Terjadi pada Pesawat Air Asia QZ8501?
Ada sejumlah analisis yang memperkirakan penyebab jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 lebih dari enam tahun lalu itu. Analisis awal datang dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang memang keluar cepat, yaitu hanya berselang seminggu setelah kecelakaan terjadi. Namun, analisis ini ternyata meleset.
Penyebab jatuhnya pesawat itu awalnya diperkirakan karena cuaca buruk yang terbentuk di sekitar lintasan pesawat. BMKG pada 5 Januari 2015 menyebutkan bahwa awan kumulonimbus membentang di atas Selat Karimata, dan kapten pesawat diduga tak berhasil menghindarinya karena ia tak memegang data cuaca yang disediakan oleh Badan Meteorologi Bandara Juanda.
Hari itu, Air Asia memang tak menggelar rapat persiapan penerbangan dengan Badan Meteorologi Bandara Juanda atau mengambil data cuaca yang disediadakan. Pihak Badan Meteorologi pun akhirnya tak bisa memberikan saran penundaan jadwal atau jalur alternatif kepada Air Asia.
Namun, baru setahun setelahnya, atau pada 1 Desember 2015, gambaran tepat penyebab kecelakaan terungkap. Hasil investigasi KNKT berdasarkan analisis kotak hitam menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan lebih kompleks dari sekadar cuaca buruk. Ada gangguan sistem pesawat, pengambilan keputusan yang tidak tepat, hingga miskomunikasi antara pilot (Kapten Iriyanto) dan ko-pilot (Remi Emmanuel Plesel) yang berakibat fatal.
Pertama, terdapat gangguan pada sistem Rudder Travel Limiter (RTL) di pesawat setelah lepas landas. Unit ini berfungsi sebagai sistem kendali pesawat yang mengatur sudut derajat belokan dan kecepatan pesawat. FDR di kotak hitam mencatat ada empat kali peringatan gangguan RTL.
Hasil investigasi KNKT menemukan bahwa kerusakan terkait dengan RTL telah terjadi sebanyak 23 kali sepanjang 2014. Interval kerusakan menjadi semakin pendek seiring dengan berjalannya waktu, dari satu kali kerusakan setiap bulannya sepanjang Januari-September 2014, dua kali kerusakan pada Oktober, lima kali kerusakan pada November, dan 9 kali kerusakan pada Desember. Sementara itu, sistem perawatan tidak dilakukan secara optimal.
Kedua, Kapten Iriyanto selaku pilot tidak menangani alarm gangguan RTL sesuai prosedur. Pada tiga peringatan pertama, Kapten Iriyanto mencoba mematikan alarm dengan sesuai instruksi. Namun, ketika tanda peringatan muncul kembali untuk keempat kalinya, Kapten Iriyanto melakukan improvisasi. Ia berkaca pada masalah penerbangan sebelum ini, di mana teknisi mengatasinya dengan mengatur ulang (reset) circuit breaker dari flight augmentation computer (FAC)—meskipun cara ini sebenarnya tidak ada dalam prosedur.
Gangguan pada sistem RTL sebenarnya tidak membahayakan penerbangan. Tetapi, dengan melakukan pengaturan ulang, tanda peringatan baru justru muncul dan berujung pada terganggunya sistem kendali pesawat. Sistem auto-pilot dan auto-thrust tidak aktif, pesawat pun jadi mesti dikendalikan secara manual. Pesawat kemudian sempat terguling dan pilot maupun ko-pilot tidak bisa mengendalikannya.
Ketiga, pengendalian pesawat secara manual oleh pilot dan ko-pilot terhambat oleh miskomunikasi. Ko-pilot Plesel sempat berusaha menyeimbangkan pesawat yang telah berguling. Namun, ia juga menarik tuas kemudi sehingga pesawat menambah ketinggian. Ia sempat panik dan tidak menyadari hidung pesawat terus naik, yang direspons oleh Pilot Iriyanto dengan mengatakan “level, level”.
Instruksi yang dimaksudkan untuk membuat hidung pesawat kembali datar ini tidak tertera di manual dan membuat Plesel bingung. Ia kemudian malah mendatarkan sayap pesawat. Iriyanto kemudian mengoreksi ucapannya dan mengatakan “pull down, pull down”, yang juga membingungkan Plesel—karena mestinya Iriyanto mengucapkan “push down” jika ingin mengintruksikan untuk membuat hidung pesawat turun.
Dampaknya, pesawat terus menukik naik hingga mencapai kondisi stall atau kondisi saat pesawat kehilangan daya angkat. Pesawat pun mulai jatuh. KNKT menyebutkan pesawat hanya membutuhkan waktu 2,5 menit untuk jatuh dari ketinggian 29 ribu kaki, atau 12 ribu kaki per menit. “Sampai akhir, dua-duanya masih terus berusaha mengontrol pesawat,” sebut Kapten Nurcahyo Utomo, Kasubkom Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT.
Secara umum, banyak faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan sebuah pesawat. Menunggu hasil investigasi menyeluruh tidak hanya akan membantu mencari penyebab jatuhnya pesawat, tetapi juga membantu memetakan masalah dan mencegah kesalahan serupa terjadi kembali.
Dalam kasus AirAsia QZ8501, kecelakaan yang disorot oleh pihak internasional sebagai “preventable crash” ini tidak hanya disebabkan oleh human error, tetapi juga turut mengungkap kelalaian maskapai dalam menangani kerusakan sistem yang sebenarnya telah terjadi berkali-kali.