Budaya Pop

The Brandals Tak Ingin Cuma Jadi Kenang-Kenangan

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Foto: Arsip The Brandals

Bila dapat memutar waktu sesuka hati, saya ingin mengunjungi Jakarta dua tahun pascareformasi untuk meluapkan segala keriaan di sebuah tempat bernama Bar Blues alias BB’s, kafe yang punya peran penting dalam tumbuh kembang dunia musik arus pinggir ibu kota.

Mari membayangkan perjalanan lintas waktu itu benar-benar terjadi. Malam makin larut, tetapi kerumunan anak-anak muda masih bersemangat. Beberapa sibuk menuangkan bir dingin, entah gelas keberapa, sementara yang lain tak berhenti bercengkerama, menunggu penampil berikutnya.

Lima anak muda tanggung menaiki panggung berukuran dua kali tiga petak. Kecil, memang, namun cukup untuk menampung seluruh perkakas pertunjukan.

Setelah check sound barang satu-dua menit, tanpa banyak bicara, pekik gitar dengan distorsi yang kasar menandai awal pertunjukan sekaligus menarik kerumunan ke baris paling depan.

Yo, we are The Brandals. Let’s have fun tonight!” Eka Annash, sang vokalis, berteriak dengan suara serak.

Lagu “Stoned Travel” mengudara dan menjadi salam pembuka dari ritus malam yang panjang. Penonton bersorak, bergoyang, dan sesekali membikin circle pit yang liar. Suasana seketika panas dan semua khusyuk dalam ibadah rock and roll.

Satu setengah jam berlalu. Energi penonton nyaris tandas, tapi teriakan “we want more” menggema. “Mutasi Urban (Sang Korban I)” dimainkan sebagai lagu pamungkas.

Kerumunan menggeliat, berpeluh. Raut wajah orang-orang memancarkan kepuasan, kesenangan, sekaligus harap bahwa momen semacam ini bakal terulang lagi di masa mendatang.

Setelah lagu terakhir dimainkan, saya menghampiri Eka. Saya menjabat tangannya, memperkenalkan diri sebagai penggemar, dan menawarinya rokok. Eka mengucapkan terima kasih karena telah menonton, dan berpesan untuk kembali datang ke konser The Brandals di lain waktu.

“Pasti, Mas,” kata saya.

Bagi sebagian orang, khayalan saya tersebut mungkin remeh belaka, tetapi saya tak bosan-bosan memutarnya dalam benak.

Meski cita-cita itu tak mungkin jadi nyata, saya merasa beruntung karena bisa ikut menikmati kegilaan-kegilaan The Brandals dua dekade setelah kemunculan mereka di BB’s. Melihat mereka bertahan, saya pikir, sama berartinya dengan keinginan untuk menyaksikan kelahiran kugiran maut ini.

Reputasi The Brandals menuntut usaha yang tak mudah. Mereka melewati jalan berliku dengan kepala tegak.

***

Ketika pandemi COVID-19 membikin segalanya berantakan, The Brandals justru masuk dapur rekaman.

“Mungkin perkembangannya udah di angka 65 sampai 70 persen, ya,” kata Tony Dwi Setiaji, gitaris dan salah satu pendiri The Brandals, kepada saya.

Tony mengungkapkan segala rencana peluncuran album baru mereka dengan penuh semangat. Saya pikir gairah ini memang sudah seharusnya. Terakhir kali mereka merilis album penuh, DGNR8, pada 2011.

Jarak yang begitu lama antara album terakhir dengan yang baru seketika menimbulkan pertanyaan: apa kendalanya? Di saat bersamaan, ini juga jadi gambaran kondisi band-band indie veteran Jakarta—tak cuma The Brandals—yang seperti tenggelam begitu saja, atau anggapan paling radikal: mati segan hidup tak mau.

Lihat The Adams yang butuh waktu 13 tahun untuk melepas Agterplaas setelah terakhir merilis V2.05 pada 2006. Atau Sore yang transisi antara Ports of Lima dan Los Skut Leboys memerlukan rentang tujuh tahun. Tak cukup bukti? Coba perhatikan White Shoes & The Couples Company yang belum membuat album penuh semenjak Vakansi (2010)—kabarnya tahun ini mereka sudah masuk dapur rekaman.

Tony mengaku bahwa penyebab lamanya album baru The Brandals rilis lebih karena faktor ketersediaan ide. “Gue rasa itu yang menentukan banget sebab pada dasarnya ide menentukan mood karya yang mau dibikin bakal seperti apa,” katanya.

Sementara Firman Zaenudin, penggebuk drum, punya pendapat yang kurang lebih senada. Baginya, karya musik tidak dapat dibuat dengan serampangan. Album band, idealnya, bisa dipertanggungjawabkan, dan untuk mencapai titik tersebut butuh proses yang panjang.

“Jadi nggak bisa seenaknya gitu, ya, kalau menurut gue,” ucapnya.

Eka Annash punya jawaban yang lebih realistis. Menurutnya, sebab utama penundaan karya adalah perubahan prioritas para personel.

“Soal ini gue pikir enggak bisa lepas dari apa yang disebut ‘dilema kelas pekerja.’ Maksudnya adalah kami lahir dan tumbuh dari keluarga kelas pekerja yang banyak menghabiskan waktunya di kantor, dari pagi sampai sore. Itu yang akhirnya juga kami alami, setelah sebelumnya bokap-nyokap kami,” papar Eka. “Dan ketika kami [bisa] break out, dengan katakanlah bermusik, itu wujud achievement yang luar biasa.”

The Brandals sudah merilis empat album panjang, menjadikannya sebagai salah satu wajah kancah musik independen Indonesia. (Arsip The Brandals)

Eka memberi contoh betapa signifikannya arus perubahan itu. Satu dekade yang lalu, misalnya, yang ada di kepala anak-anak The Brandals adalah bagaimana caranya agar mampu bermain musik dengan penuh sukacita.

“Pokoknya di era-era awal dulu isinya main musik, mabuk, dan muntah,” katanya, terkekeh.

Sekarang, situasinya berubah. Anak-anak The Brandals, Eka bilang, mesti menempatkan urusan bermusik di antara urusan keluarga dan cari duit. Konsekuensi yang paling jelas terasa: kesulitan dalam mengatur waktu bertemu.

“Ini yang muncul saat kami udah masuk ke fase usia 30-an tahun ke atas,” tambahnya.

Toh, segala yang tampak menyulitkan itu gagal bikin The Brandals menyerah pada keadaan. Mereka tetap menginjak pedal menuju titik yang telah lama diinginkan: kembali bermusik dengan luapan bahagia. Atau, lebih spesifik lagi: merilis album baru sebagai manifestasi dari apa yang senantiasa disebut menjaga gairah bermusik.

Berbicara soal album baru The Brandals, yang masih dalam proses pengerjaan, Tony menyatakan bahwa secara warna musik, mereka tak terpaku pada rilisan terakhir, DGNR8. Kalimat Tony dapat dibaca sebagai lampu terang: akan ada selipan-selipan baru di musik The Brandals yang bisa bikin para pendengar makin jatuh hati.

Lain Tony, lain pula Radhit Syaharzam. Pencabik bass The Brandals ini menerangkan album baru mereka bisa dibilang menjadi “bentuk kedewasaan,” dengan DGNR8 yang dipakai jadi pijakannya.

“Jadi nggak cuma umur aja yang makin dewasa, atau tua lebih tepatnya, tapi juga musik yang kami mainkan,” ujarnya.

Dari sisi tema, Eka mengatakan tak ada perubahan yang berarti. The Brandals masih mempertahankan trademark yang sudah dibangun sejak awal 2000-an. Mereka bakal tetap menjadikan musik sebagai tanggapan atas situasi sosial-politik yang tengah berkembang saat ini. Jika bicara soal konteks realitas kiwari, maka narasinya tak jauh-jauh dari kelindan agama, politik, dan identitas nation ala Indonesia maupun pertarungan antarkelas yang ikut membentuk rupa Jakarta yang beringas.

***

Mulanya adalah The Motives, dengan personel Rully Annash (drum), Tony, Bayu Indrasoewarman (gitar), Dodi Widyono (bass), dan Edo Wallad (vokal). Selayaknya band baru pada umumnya, mereka banyak membawakan cover lagu dari musisi Barat macam The Who, The Rolling Stones, The Clash, hingga The Stokes setiap kali manggung.

Pada 2003, Edo memutuskan cabut dari band. Posisinya lantas digantikan Eka, yang masih bersaudara dengan Rully. Pergantian tersebut juga menjadi momentum ubah nama: The Brandals. Di tahun yang sama pula mereka merilis album debut yang diberi tajuk The Brandals.

Dalam rentang empat tahun, The Brandals berhasil merilis tiga album. Setelah The Brandals, ada Audio Imperialist (2005) dan Brandalisme (2007). Jangan lupakan pula kontribusi mereka pada semarak JKT:SKRG (2004), album kompilasi keluaran Aksara Records yang nantinya ditahbiskan sebagai salah satu tonggak perjalanan musik independen Jakarta—dan Indonesia.

Tiga album pertama The Brandals, bagi saya, serupa batu kokoh: menempatkan mereka dalam barisan band lokal yang bernas. Banyak terpengaruh semangat garage rock yang masif di ruang-ruang pengap New York circa 1960-an, musik The Brandals mengajak para pendengarnya untuk sejenak melupakan pahitnya hidup dan bersujud di bawah roda sesembahan maupun slogan rock belum mati.

Titik terendah dalam perjalanan bermusik The Brandals terjadi saat pendiri dan drummer mereka, Rully Annash, meninggal dunia. (Arsip The Brandals)

Lagu-lagu The Brandals bercerita tentang banyak hal: kapitalisme, kejamnya roda pembangunan, betapa brengseknya aparat penegak hukum, busuknya politik, sampai yang klise sekalipun: jatuh cinta dan kemudian dikoyak-koyak patah hati.

Semua terangkum dengan baik dalam nomor-nomor seperti “Obsesi Mesin Kota,” “Komplikasi Cinta Transit,” “Marching Menuju Maut,” “Lingkar Labirin,” “100% Kontrol,” serta, tak ketinggalan, “Surat Seorang Proletar Buat Para Elit Borjuis.”

Lewat lagu-lagu tersebut, The Brandals seperti berhasil menangkap kegelisahan yang lahir di masyarakat waktu itu, di mana Indonesia masih menjalani fase peralihan antara tumbangnya Orde Baru dan Reformasi. Demokrasi rentan dieksploitasi, mental para pejabat belum sepenuhnya lepas dari doktrin rezim Soeharto, dan geliat perekonomian masih berusaha bangkit sementara kesenjangan sosial antara si kaya dan miskin tetaplah terasa begitu dalam.

Tak sekadar relevan di zamannya, karya-karya awal The Brandals, kelak, juga menyabet status ikonik. Cobalah dengar ketika Eka berteriak “Tercecer di tempat parkir harapan/Lampu merah terus diterjang” di track “Tipu Jalanan.” Atau saat dia bersenandung “Beribu pesan terkirim sudah/Rindu jengkel bercampur marah/Dompetku tipis, kupingku panas/Caramu bercinta tidak berkelas” di nomor “Komplikasi Cinta Transit” yang begitu bluesy.

Segala yang saya paparkan tersebut membikin saya tak ragu memasukkan The Brandals dalam kategori band lokal yang lengkap: kemampuan membikin lirik yang tak dangkal substansi sekaligus aransemen musik yang jauh dari kata membosankan.

Pencapaian mengesankan itu bukannya tanpa rintangan. Satu per satu masalah datang, mengiringi upaya The Brandals dalam menancapkan pengaruhnya, dari runcingnya konflik internal, bongkar pasang personel, hingga sampai di titik di mana mereka memutuskan untuk vakum sejenak dari dunia musik Tanah Air.

Akan tetapi, pukulan telak yang menghantam tubuh The Brandals terjadi pada 2015 tatkala pendiri dan penggebuk drum mereka, Rully, mengembuskan napas terakhir di usia 38 tahun akibat serangan jantung.

Di momen inilah The Brandals limbung, sebelum akhirnya jatuh ke dalam lubang yang entah.

“Kepergian almarhum [Rully] itu titik rendah banget bagi gue dan temen-temen di The Brandals,” kata Mulyadi “PM” Natakusumah, sang gitaris. PM sendiri, bersama Radhit, merupakan kawan satu lingkaran The Brandals yang kemudian masuk menggantikan Bayu dan Dodi.

Perasaan serupa dialami Tony. Meninggalnya Ruly membikin semangatnya untuk bermusik di The Brandals, yang sebelumnya sempat naik setelah berkali-kali diterpa badai, seketika luluh lantak tak bersisa.

“Rully nggak ada bikin gue kehilangan antusiasme. Itu pukulan banget [buat gue],” kata Tony.

Kehilangan rekan satu band merupakan hantaman yang berat. Keputusan yang diambil setelahnya, menyangkut masa depan band, biasanya tak jauh dari kata bubar. Sejarah sudah membuktikan. Raksasa rock Led Zeppelin, misalnya, memutuskan berhenti tampil usai drummer mereka, John ‘Bonzo’ Bonham, tewas tersedak muntahannya sendiri.

Tapi, The Brandals tak mengambil langkah yang sama. Keputusan untuk terus berjalan, memberi napas baru bagi keberlangsungan band, pun diambil. Pendeknya, The Brandals tak ingin lenyap.

“Karena dengan itu gue bisa ngasih tribute dan jaga legacy Rully,” ucap Eka. “Waktu Rully masih hidup, gue jarang banget mengekspresikan emosi sebagai seorang saudara. Gue terkesan egois. Kali ini, dengan masih eksisnya The Brandals, gue harap bisa jadi bentuk penyaluran ekspresi emosi gue ke almarhum.”

Perlahan, The Brandals memulai kembali lembar petualangannya. Posisi Rully lantas diisi Firman, yang sebelumnya mekar bersama Teenage Death Star. Sejak saat itu, The Brandals seolah lahir untuk kali kedua dengan cukup rutin mengokupasi panggung, eksis di media sosial, hingga akhirnya bergulat dalam proses pembuatan album baru.

Saat ini, mereka tengah menyiapkan album baru, setelah beberapa waktu lalu merilis lagu bertajuk “The Truth Is Coming Out.” (Arsip The Brandals)

Di tengah proses pengerjaan album baru itu, gelombang besar kembali mendatangi The Brandals. Dua minggu lalu, Tony, gitaris dan salah satu pendiri The Brandals, memutuskan untuk mundur karena ingin memusatkan fokus pada proyek musik pribadinya. Kabar yang tak kecil, mengingat Tony merupakan pilar penting bagi tumbuh kembang, utamanya secara musikalitas, The Brandals.

Namun begitu, bagi The Brandals hidup harus terus berjalan dan pilihannya sudah jelas: tegak menatap masa depan. The Brandals, sejauh ini, membuktikan betapa sebuah band tak cuma urusan panggung dan bikin lagu. Ada banyak titik rendah yang bakal dijumpai, terlebih jika usia band sudah menyentuh dua dekade. Bermacam pergolakan, pukulan, maupun kehilangan akan senantiasa hadir menemani, dan semua tergantung bagaimana band menyikapinya.

Dan rasanya di titik inilah pernyataan Eka jadi pelatuk:

“Gue nggak ingin The Brandals dianggap cuma jadi nostalgia.”

Share: The Brandals Tak Ingin Cuma Jadi Kenang-Kenangan