Isu Terkini

Direktur Eksekutif INDEF: Korupsi Bansos COVID-19 Adalah Puncak Gunung Es

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Ilustrasi: Ibam/Asumsi

Penetapan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus korupsi bantuan sosial COVID-19 mengundang sejumlah pertanyaan: apakah skema bantuan sosial yang kita kenal memudahkan korupsi? Bagaimana dengan fungsi Kementerian Sosial itu sendiri? Apakah Presiden Joko Widodo perlu mengikuti jalan Gus Dur, membubarkan Departemen Sosial karena, “Tikusnya sudah menguasai lumbung”?

Sepanjang pandemi COVID-19, pemerintah melalui Kementerian Sosial telah mengeluarkan berbagai bentuk bantuan dalam rangka program perlindungan sosial, mulai dari Program Keluarga Harapan, kartu sembako, diskon listrik, bansos tunai non-Jabodetabek, dan lain-lain. Terdapat Rp233,69 triliun dana yang dianggarkan untuk perlindungan sosial.

Asumsi.co berbincang-bincang dengan Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, untuk mengetahui pandangannya soal fungsi Kementerian Sosial hingga efektivitas berbagai program bantuan sosial yang telah berjalan sepanjang 2020.

Selama pandemi ini, fungsi Kemensos yang paling terlihat adalah pembagian bansos, entah lewat program sembako, bantuan sosial tunai, dan lain-lain. Menurut Anda, apakah tugas Kemensos dalam hal pengentasan kemiskinan memang lebih banyak yang sifatnya instan?

Dalam program pengentasan kemiskinan, ada dua pendekatan, yaitu yang memberikan kail dan yang memberikan pancingan. Kelompok miskin di level bawah itu memang sangat terbantu jika diberikan kail.

Tapi itu saja kan tidak cukup. Ada berbagai program pengentasan kemiskinan untuk berbagai level pendapatan. Akhirnya, embedded dalam beragam program. Misalnya program sembako, seseorang akan mendapatkan insentif kalau anaknya sekolah, ibunya ke fasilitas kesehatan, kayak gitu-gitu.

Tapi, dalam konteks COVID-19, semua blended jadi satu. Katakanlah, cenderung untuk diberikan bantuan karena sifatnya darurat, supaya mereka tidak jatuh ke dalam jurang kemiskinan yang lebih dalam.

Terutama, misalnya, untuk kelompok masyarakat desil 2 [20% kelompok masyarakat dengan pendapatan terendah]. Ada mungkin sekitar 10 juta keluarga penerima manfaat. Bagaimana mereka dipertahankan untuk tidak semakin jatuh, karena kan situasinya mereka adalah salah satu kelompok masyarakat yang paling menderita. Biasanya karena faktor kenaikan harga juga, tapi lebih penting disebabkan karena mereka kehilangan pendapatan selama masa pandemi. Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor kerja informal, UMKM, dan sebagainya.

Sementara untuk yang diberikan pancingan, itu memang masyarakat-masyarakat yang sebenarnya punya kapasitas. Jadi mereka terlibat dalam kegiatan pemberdayaan, masyarakat usaha kecil menengah, pokoknya ada usahanya agar mereka bisa keluar dari kemiskinan. Itu biasanya level atau kondisi masyarakatnya jauh lebih baik. Mereka sebenarnya sudah lumayan keluar dari kemiskinan, tapi tetap perlu masuk ke dalam program pengentasan kemiskinan.

Bagaimana dengan efektivitas program-program ini?

Tujuan sebuah program perlindungan sosial sebenarnya adalah untuk memberikan jaminan, terutama untuk masyarakat miskin, agar mereka tetap memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak.

Kalau kita lihat, dana bansos ini sudah hampir Rp200-an triliun. Itu pun ada perubahan, yang tadinya Rp203,9 triliun, direalokasi menjadi Rp233,69 triliun. Realisasinya sudah Rp207,8 triliun atau sekitar 88,9%.

Kalau kita lihat, kalau kelompok bawah ini dikasih uang, harusnya konsumsi untuk makanan dan minuman itu nggak negatif. Tapi, kenyataannya lain. Di triwulan kedua itu pertumbuhan makanan dan minuman ke PDB itu -0,73%. Anggaplah memang belum seluruh masyarakat dapat, baru separuhnyalah yang dapat. Nah, di triwulan ketiga kan asumsi kita itu pasti 50-60% masyarakatnya sudah mendapatkan bantuan. Harusnya konsumsi makanan dan minuman nggak berkurang. Bahkan tetap bagus.

Tapi, ini kan masih minus 0,69%. Berarti drop, kan, dari semula di triwulan pertama 5%. Ini yang menurut saya artinya artinya nggak cukup uangnya. Atau banyak yang salah sasaran.

Ukuran lainnya, angka kemiskinannya kan meningkat. Data kemiskinan kita meningkat cukup tajam di 2020. Logikanya, kalau bansos ini adalah sebuah program yang efektif, harusnya bisa meng-cover seluruh situasi pandemi ini. Bayangkan, hampir Rp233 triliun dihabiskan. Plus anggaran-anggaran lain. Itu Rp233 triliun sifatnya charity. Artinya itu bisa langsung digunakan—walaupun ada yang sembako dan non-sembako.

Tapi, angka kemiskinan yang meningkat itu menandakan bahwa bansos kita nggak efektif.

Jadi, sebenarnya, bansos dalam bentuk charity itu memang penting ya, apalagi dalam masa darurat seperti ini?

Menurut saya penting banget, tetapi kan kita tahu ada masalah yang sangat genting. Pertama, soal sasaran. Kalau kita lihat, yang mendapatkan sasaran ini hampir 50%, datanya diambil dari DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) tahun 2015.

Nah, berdasarkan evaluasi DPR, lebih dari 50-60% penerima itu ternyata tidak berhak. Jadi, artinya apa? Kalau banyak masyarakatnya nggak berhak mendapatkan bansos, uang itu tidak dikonsumsi atau dikonsumsinya sedikit. Kalau dikonsumsinya sedikit, ya putaran ekonominya terbatas. Dia hanya menggantikan yang seharusnya dia beli. Tapi uang yang dia simpan karena pendapatan lain-lain tidak digunakan. Larinya ke simpanan. Simpanan larinya ke bank.

Sementara, kalau benar-benar dikasih ke kelompok paling bawah, pasti menggerakkan ekonomi. Karena orang bawah itu kalau dapat duit dia langsung beli. Nggak punya simpanan dia. Langsung dibelikan kebutuhan makanan, minuman, dan lainnya. Putaran ekonominya besar.

Ada juga kasus Kartu Prakerja. Sebanyak 66,47% penerima uang kartu Prakerja itu adalah orang yang bekerja. Kalau insentifnya buat mereka, ya, tidak akan jadi putaran ekonomi.

Kedua, saya melihat besaran nilainya. Kalau bantuannya cuma Rp500-600 ribu, itu bagi kelompok desil 1, rasio terhadap pengeluarannya hanya 24,76%. Di desil 2 21,55%, dan di desil 3 19,4%. Jadi, nilai bantuan sebesar itu tidak memenuhi kebutuhan pada saat pandemi. Nggak sebanding kehilangan pendapatan mereka dengan nilai yang diberikan oleh bansos pemerintah.

Hal lainnya adalah skema bantuan. Dominannya kan dalam bentuk sembako, pulsa listrik, atau logistik pangan yang sifatnya non-tunai. Artinya, yang memanfaatkan secara ekonomi siapa? Ya yang memenangkan pengadaan barang atau jasa itu saja. Pabrik plus masyarakat penerima bantuan. Ini kan perputaran ekonominya terbatas.

Masyarakat nggak beli ke UMKM lokal, padahal perdagangan UMKM itu kan luar biasa. Mereka kalau tiap hari ada yang beli beras, dan lain-lain, kan hidup. 10-15% bisa menghidupi mereka. Itu yang menurut saya akhirnya kenapa program bansos tidak terlalu efektif mendorong perekonomian.

Lalu, dengan banyaknya program bansos yang bersifat non-tunai, apakah itu bikin Kemensos jadi lebih mudah menjadi sarang korupsi?

Ya, pasti. Sudah ada data yang menunjukkan bahwa ada selisih bansos Rp30ribu-40ribu yang penggunaannya nggak jelas. Per orang loh. Hitung aja dari situ. Nilainya kan luar biasa besar. Di situlah yang menurut saya perlu ditelusuri. Siapa yang memanfaatkan itu. Saya kira ini puncak gunung es dari problem-problem bantuan sosial yang ada.

Apakah ada negara yang program bantuan sosialnya patut ditiru oleh Indonesia?

Misalnya di Jerman ya. Itu kan jelas. Mereka terintegrasi. Data penduduk, data perbankan, data pajak, dan lain-lain. Saya lihat di Jerman itu full subsidi. Jadi masyarakat nggak boleh keluar untuk melakukan aktivitas, semua kerja dilakukan di rumah. Pemerintah yang akan menanggung, uang masuk ke rekening masing-masing.

Kita kan belum sampai ke situ. Datanya aja masih berantakan, kan.

Menurut Pak Tauhid, apakah ada cara lebih sistemik selain bansos yang—nggak cuma untuk mengentaskan kemiskinan—tapi juga mengurangi kesenjangan sosial di Indonesia?

Saya kira dalam situasi pandemi ini memang cara yang paling baik. Tapi, dalam proses recovery, menurut saya nggak bisa seperti itu. Tentu harus kembali ke filosofi-filosofi pengentasan kemiskinan.

Gimana caranya? Bagi mereka yang tidak punya pekerjaan ya bagaimana mereka diberikan akses ke lapangan pekerjaan. Diberikan peluang, diberikan peningkatan kapasitas, diberikan informasi.

Tentu, dari segi perusahaan, untuk mendapatkan lapangan pekerjaan kuncinya adalah banyaknya investasi, perusahaan yang terkena pandemi dibantu oleh pemerintah. Diberikan kredit, utangnya dilunasi, dan sebagainya sehingga perusahaan juga bisa tumbuh. Kalau perusahaannya tumbuh, mereka bisa memberikan lowongan kerja.

Kedua, saya kira UMKM punya andil besar, tapi baru sebagian yang terfasilitasi. Pemerintah harus bantu agar mereka juga termasuk. Kalau yang pertama tadi kan banyak ke sektor formal, tapi yang informal itu kan banyak sekali. Saya kira itu penting.

Kemiskinan kan ada yang sifatnya struktural. Entah karena mereka masuk ke golongan umur tidak produktif, kurangnya akses, dan sebagainya. Saya kira mereka tetap harus mendapatkan program-program yang sifatnya bantuan sosial seperti ini. Paling tidak sesuai dengan kebutuhan hidup minimumnya.

Kalau Bapak lihat konteks sebelum pandemi, apakah upaya untuk mengurai kemiskinan struktural itu sudah dijalankan juga oleh Kemensos?

Menurut saya ada yang sudah jalan, tapi masih terbatas. Misalnya program-program Kemensos yang dulu kan hanya PKH dan sembako. Itu cuma menyasar beberapa juta—10 jutaanlah untuk PKH. Itu masih kurang. Penduduk miskin kita kan sebelumnya 26 juta. Sekarang mungkin nambah sekitar 30 jutaan karena situasi pandemi. Itu masih belum bisa di-cover.  Menurut saya itu sudah cukup sebagai dasar, tapi harus diperbesar lagi. Harus ditambah.

Selain itu, hal lain yang belum adalah di segi ketenagakerjaan. Aspek-aspek itu yang belum berjalan untuk kelompok bawah. Jadi mereka jangan hanya dikasih kail, tetapi juga diberi kesempatan untuk bisa mendapatkan lapangan pekerjaan.

Dulu Gus Dur juga sempat membubarkan Departemen Sosial karena menurutnya departemen ini sudah jadi sarang korupsi dan seperti nggak ada cara lain untuk membenahinya. Apakah menurut Bapak ini patut ditiru?

Menurut saya begini. Kan harus ada yang melakukan channeling. Bagaimana agar kelompok-kelompok bawah mendapatkan akses ke bantuan sosial. Kalau nggak ada yang mengurus, pasti akan jadi berantakan. Menurut saya ya tetap perlu ada.

Tapi apakah bentuknya Kemensos atau lain ya bisa dilihat kembali. Di negara-negara lain, ada yang digabungkan ke kementerian lain. Nggak harus di Kemensos.

Masalahnya kan program kemiskinan tidak hanya di Kementerian Sosial, ada di kementerian-kementerian lain. Cuma memang harus ada yang bisa mengkoordinasikan.

Jadi, saya kira tinggal efektivitasnya saja. Harus ada yang mengontrol. Misalnya kemarin, begitu ada yang diberikan bantuan, pengawasan kita kurang. Akhirnya ketahuan [ada korupsi].

Intinya, hindari untuk kasih bantuan yang sifatnya sembakolah. Itu sudah pasti akan ada yang macam-macam.

Share: Direktur Eksekutif INDEF: Korupsi Bansos COVID-19 Adalah Puncak Gunung Es