Isu Terkini

Apa pun Ideologi Pelakunya, Korupsi Adalah Korupsi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pilkada Serentak 2020 selesai digelar. Bakal ada 270 kepala daerah baru yang dilantik dan siap memimpin daerahnya masing-masing lima tahun ke depan. Di pundak para pemimpin ini, harapan masyarakat bertumpuk, termasuk yang paling utama adalah harapan agar pemimpin mereka tak menyalahgunakan jabatan untuk korupsi.

Di Indonesia, praktik korupsi sudah sangat akut, terus berulang, dan tak membuat para kepala daerah jera. Hal ini diperkuat fakta bahwa berdasarkan data KPK per Oktober 2020, tidak kurang dari 143 kepala daerah, terdiri atas 21 gubernur serta 122 bupati dan walikota yang telah didakwa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Berkali-kali masyarakat berharap agar pemimpin daerah mereka bisa bersih dan tak korupsi, berkali-kali pula harapan itu dimatikan dan korupsi kian merajalela.

Korupsi menimbulkan kerugian tidak hanya pada daerah terkait, tetapi juga negara. Besarnya kerugian negara tersebut bisa dilihat dari Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I tahun 2020 dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam laporan itu terdapat hasil pemantauan penyelesaian ganti kerugian negara/daerah periode 2005 sampai 30 Juni 2020.

Kerugian terbesar ada pada pemerintah daerah, yakni sebesar Rp2,56 triliun atau 74 persen dari total nilai kerugian negara/daerah dengan status telah ditetapkan. Kerugian ini timbul, salah satunya, karena tindak pidana korupsi. Beberapa kasus korupsi dengan kerugian negara ditangani aparat pemerintah seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Mereka yang korupsi juga bisa berasal dari latar belakang apa saja, tak pandang ideologi, entah itu relijius atau nasionalis sekalipun.

Para Kepala Daerah Terpidana Korupsi dari Berbagai Latar Belakang

Dari sekian banyak bekas kepala daerah terpidana korupsi, ada tiga sosok–saya pilih secara acak–yang bisa dibilang punya latar belakang ideologi, sosial, politik yang beragam. Mereka adalah Fuad Amin (eks Bupati Bangkalan) yang dikenal sebagai sosok relijius, Saiful Ilah (eks Bupati Sidoarjo) juga relijius, dan Irwandi Yusuf (eks Gubernur Aceh) dikenal nasionalis.

Fuad Amin merupakan mantan bupati Bangkalan dua periode (2003-2013) serta mantan ketua DPRD Bangkalan (2014-2019). Ia juga pernah menjadi anggota DPR RI periode 1999-2004. Bagian paling menarik dari karier politik Fuad tentu saja saat ia dan anaknya “bertukar” dua kursi politik di Bangkalan, DPRD dan bupati.

Ketika Ra Momon menggantikan Fuad sebagai bupati, Fuad menggantikan Ra Momon sebagai Ketua DPRD. Puncaknya, saat Ra Momon menjadi bupati, ia melantik ayahnya sendiri sebagai Ketua DPRD, pada Agustus 2014.

Fase setelah itu lebih sulit lagi dibayangkan, soal bagaimana sistem pengawasan yang dibangun dari ayah dan anak ini sebagai pucuk pimpinan kedua lembaga–DPRD selaku legislatif dan Pemkab Bangkalan selaku eksekutif. Mungkinkah check and balances berjalan baik?

Pada prosesnya, Fuad terjerat kasus suap dan terbukti menerima uang dari bos PT MKS Antonius Bambang Djatmiko sebesar Rp18,5 miliar. Ia juga terjerat kasus pencucian uang hingga divonis delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, 19 Oktober 2015. Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonisnya menjadi 13 tahun penjara pada 22 September 2017.

Perilaku korupsinya tentu saja berbanding terbalik dengan predikatnya sebagai seorang cucu Ulama besar Madura, KH. Muhammad Khalil Bangkalan atau yang dijuluki Syaichona Cholil. Ia merupakan sosok berpengaruh di Jawa Timur dan Madura serta berasal dari keluarga yang sangat terpandang, khususnya bagi kaum umat Nahdlatul Ulama (NU) atau Nahdliyin.

Belum lagi, Fuad merupakan sosok yang mewakili kalangan kiai, kaum priayi, sekaligus blater (jawara). Tiga unsur inilah yang menjadi simbol kekuatan dalam kehidupan masyarakat Madura. Dari tiga unsur itu pula, Fuad menancapkan pengaruh yang sangat kuat di Bangkalan. Sayangnya, hingga tutup usia, Senin (16/9/19), saat berusia 71 tahun, Fuad Amin masih berstatus terpidana korupsi.

Sementara itu, eks Bupati Sidoarjo Saiful Ilah juga bisa dibilang hidup di lingkaran agamis. Anak dari pasangan H. Kholil dan Hj Siti Aminah ini dikenal sebagai kader PKB sejati. Tercatat, ia pernah menjadi bendahara, hingga ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PKB Sidoarjo.

Saiful mulai masuk ke lingkungan Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo sejak 2006 lalu. Sebelum menjadi bupati, ia lebih dulu menjabat sebagai wakil bupati periode 2006-2010 mendampingi Drs. Win Hendrarso sebagai bupati Sidoarjo.

Karier politik Saiful pun meroket. Ia kemudian menjabat sebagai bupati Sidoarjo periode 2010-2015. Tampuk kekuasaan pun berlanjut ketika ia kembali berhasil menjadi orang nomor satu di Sidoarjo untuk satu periode berikutnya yakni 2016-2021. Sayang, kekuasaan justru membuatnya gelap mata hingga menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan korupsi.

Saiful diciduk pada OTT pertama KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, 7 Januari 2020 lalu. Ia akhirnya dinyatakan bersalah menerima suap total sebesar Rp 600 juta dari kontraktor untuk pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemkab Sidoarjo.

Saiful divonis hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 250 juta. Vonis dibacakan hakim Pengadilan Tipikor Surabaya, Senin (5/10).

Berbeda dari Fuad dan Saiful, Irwandi Yusuf dikenal sebagai eks Gubernur Aceh yang sangat nasionalis dan bekas pentolan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada 2006, ia menjadi Gubernur Aceh pertama, setahun setelah Aceh resmi berada di bawah yurisdiksi pemerintah Indonesia lewat Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005.

Dalam perjalanannya, Irwandi bergabung dengan GAM–hingga jadi tokoh sentral–di akhir pemerintahan Soeharto. Saat diwawancarai Tempo, 2006 lalu, ia mengaku terinspirasi oleh sebuah buku sehingga tertarik dengan organisasi pimpinan Hasan Tiro tersebut. Ia sempat menjabat sebagai Staf Khusus Komando Pusat Tentara GAM selama kurang lebih tiga tahun sejak 1998 hingga 2001 dan juga menjadi Kepala Intelijen GAM.

Sebagai Staf Khusus Komando Pusat Tentara GAM, Irwandi pernah ditangkap pada awal 2003, kemudian divonis sembilan tahun karena kasus makar. Akhir 2004, saat Aceh dilanda tsunami, ia lolos dari penjara dan melarikan diri ke Swedia hingga Finlandia. Lalu, ia dipercaya sebagai juru runding GAM dengan pemerintah Indonesia dalam perjanjian Helsinki, Finlandia.

Irwandi melanjutkan periode keduanya sebagai gubernur Aceh usai menang di Pilgub Aceh 2017. Ia akhirnya resmi diberhentikan dari jabatan Gubernur Aceh oleh Presiden Jokowi, 15 Oktober 2020, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus tindak pidana korupsi pada 2018. Ia dicopot usai putusan kasus korupsinya inkrah atau berkekuatan hukum tetap.

Irwandi sendiri merupakan terpidana kasus korupsi dana otonomi khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018 senilai Rp1.05 miliar dan gratifikasi senilai Rp8.71 miliar. Pada April 2019, ia divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.

Agustus 2019, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta memperberat vonis Irwandi menjadi delapan tahun penjara setelah majelis hakim mengabulkan permohonan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap vonis Irwandi. Vonis terhadap Irwandi kembali dipangkas menjadi tujuh tahun usai MA menyatakan menolak perbaikan dalam amar putusannya, dalam perkara nomor 444 K/PID.SUS/2020.

MA beralasan Irwandi telah berjasa untuk Indonesia. MA menilai, sebagai mantan Gubernur Aceh, Irwandi telah berjasa lantaran menciptakan perdamaian di Aceh.

Perilaku korupsi ketiga bekas kepala daerah tersebut seolah menegaskan bahwa latar belakang tak ada urusan terhadap dorongan untuk menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan.

Rimawan Pradiptyo: Korupsi Tak Ada Urusannya dengan Latar Belakang

Dosen dan peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo sepakat bahwa persoalan korupsi di Indonesia itu adalah masalah sistem, bukan masalah lain-lain, apalagi moral. Ia pun coba meninjau dari sisi hitung-hitungan ongkos politik yang besar yang harus dikeluarkan calon kepala daerah, dan berpotensi membuka kran korupsi.

Rimawan menyebut ongkos politik seorang calon kepala daerah itu sangat besar. Sehingga, ketika berhasil menang, tentu saja keinginan untuk balik modal itu menjadi tak terbendung. Mengandalkan gaji tentu saja tak seberapa, lalu apa jalan lainnya? Ya dengan mencari-cari celah yang menjadi sumber uang, yang mestinya bukan menjadi haknya.

Tahun 2009 lalu, Rimawan berdiskusi dengan rekannya seorang konsultan politik dan iseng menanyakan berapa angka yang harus dikeluarkan andai saja ia ingin mencalonkan diri sebagai bupati dan ikut kontestasi politik.

“Saya tanya ke teman saya ‘mas, kalau saya mau jadi bupati, berapa angka yang harus saya siapkan?’ Dia bilang ‘cuma dua digit, ya sekira 12 m dan dia bilang angka 12 m ini resmi dan legal, karena nanti yang besar itu adalah untuk mendapatkan dukungan partai, itu yang mahal,” kata Rimawan saat dihubungi Asumsi.co, Jumat (11/12).

“Kemudian, saya tanya apa arti angka 12 itu dan kenapa harus pakai dua angka? Lho kalau sampeyan itu didukung oleh partai-partai besar ya kan kemungkinannya sekali menang. Tapi kalau kemudian mau second round ya butuh 18, gitu.”

Rimawan pun menghitung kalau pada tahun 2009 itu ongkos politik yang harus dikeluarkan senilai 12 miliar untuk calon kepala daerah–dengan asumsi gaji kepala daerah saat itu berada di bawah 100 juta–maka gajinya tetap saja kurang untuk menutupi modal awal. Sehingga, kondisi itu pula pada akhirnya memaksa si kepala daerah untuk mencari celah lain.

Nah, kurangnya ini lah yang dicari-cari. Ini kan soal sistem yang memicu situasi untuk melakukan politik uang (money politics).”

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dalam rapat bersama Komite I DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (18/11/19) lalu, juga mengakui kalau ongkos politik untuk ikut pilkada itu sangat mahal. Bahkan, seorang calon bupati minimal harus punya modal 30 miliar untuk maju, sementara wali kota dan gubernur tentu dengan modal yang lebih dari itu.

“Sementara dilihat dari pemasukan dan gaji yang didapat, setahun kurang lebih paling hanya Rp 12 M, sementara yang keluar Rp 30 M. Mana mau tekor. Saya mau hormat itu kalau ada yang mau tekor demi mengabdi kepada bangsa,” kata Tito.

Rezim pemilu atau pilkada langsung disebut-sebut memudahkan terbukanya celah korupsi. Dalam praktiknya, para calon kepala daerah dipaksa mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk dapat diusung oleh partai politik (parpol), selain juga biaya untuk memenangkan pilkada.

Lebih dari itu, selain untuk mengongkosi berbagai pengeluaran untuk sosialisasi dan kampanye, biaya pemenangan pilkada juga berpeluang dipakai untuk modal money politics seperti yang dikatakan Rimawan. Misalnya untuk bayar saksi di TPS, suap petugas pemungutan suara serta oknum KPU dan pengawas pemilu di daerah. Ongkos ini tentu saja untuk melancarkan upaya si calon tadi untuk memanipulasi perolehan suara.

Ongkos politik yang mahal inilah pada akhirnya terpaksa ditanggung sendirian oleh si calon kepala daerah, yang ujungnya malah jadi area rawan korupsi. Kondisi itu pula yang memaksa para calon mencari modal besar dari berbagai kalangan pendukungnya. Imbasnya, utang politik itu mau tak mau harus dilunasi dengan cara-cara kotor, seperti memainkan proyek yang dibiayai APBD dan APBD, atau memberi fasilitas perizinan dan konsesi.

Desentralisasi Kewenangan = Desentralisasi Korupsi?

Muara dari rumitnya pilkada langsung yang memicu ongkos politik besar, hingga munculnya benih-benih korupsi, tampaknya tak bisa dilepaskan dari desentralisasi kewenangan yang terjadi di Indonesia, terutama pasca reformasi. Bentuk sistem pemerintahan yang awalnya sentralistis, praktis langsung bergeser pada distribusi kewenangan ke daerah-daerah.

Desentralisasi sistem pemerintahan akhirnya diterapkan di Indonesia dengan dasar amandemen UUD 1945, kemudian untuk pertama kali diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004 jo UU 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan yang tadinya terpusat, lantas terbagi-bagi.

Sayangnya, desentralisasi–melalui konsep otonomi daerah–ternyata menyisakan masalah. Desentralisasi kewenangan ternyata juga berakibat pada desentralisasi korupsi. Otonomi daerah yang dipandang positif oleh banyak pihak di awal, justru tak ditopang dengan kesiapan sistem.

Nyatanya, pergeseran kewenangan ke daerah yang tidak diikuti oleh pembenahan institusi penegak hukum dan perombakan sistem yang memberi peluang korupsi, justru menjadikan daerah sebagai tempat korupsi baru. “Lahan-lahan basah” di daerah mulai digarap dengan berbagai modus seperti korupsi konvensional pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan keuangan dana bantuan sosial untuk kepentingan politik, penggelapan bantuan beras, hingga korupsi kebijakan dalam konsensi sumber daya alam seperti hutan dan tambang.

“Jadi permasalahannya itu bukan latar belakangnya seorang pejabat itu apa. Menurut saya itu nggak ada kaitannya dengan livelihood untuk melakukan korupsi karena korupsi itu bicara sistem. Nah sistem ini yang seringkali salah dipersepsikan di Indonesia,” kata Rimawan.

“Seolah-olah orang yang melakukan korupsi itu hanya masalah orangnya itu berintegritas atau tidak, atau lebih kepada mental. Padahal bukan di situ masalah utamanya. Kenapa orang Indonesia–yang dikenal doyan melanggar hukum–saat tiba di Changi Airport, itu langsung tunduk pada aturan, misalnya nggak berani meludah sembarangan? Ya karena ada sistem aturan tegas dan denda yang memaksanya untuk nggak berani melanggar.”

“Di negara orang lain, perilakunya justru 180 derajat berubah tiba-tiba menjadi law abiding citizens. Itu pengaruh dari sistem yang kuat dan tegas tadi.”

Buruknya sistem yang membuka celah korupsi, tanpa bisa mencegahnya, justru diperburuk lagi dengan terus terjadinya corruptors fight back terhadap KPK menghambat upaya pemberantasan korupsi. Upaya-upaya delegitimasi dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan sarana hukum yang demokratis seperti mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi RI, revisi UU KPK untuk pembubaran dan pelemahan KPK, dan tekanan, intervensi serta delegitimasi institusi KPK di ruang politik.

Belum lagi bicara ringannya vonis yang dijatuhkan kepada para terdakwa kasus korupsi. Dari data ICW, rata-rata hukuman pelaku korupsi sepanjang tahun 2019 hanya dua tahun tujuh bulan penjara. Lalu, dari 1.125 terdakwa kasus korupsi yang disidangkan pada 2019, sebanyak 842 orang divonis ringan (0-4 tahun penjara) sedangkan yang divonis berat (di atas 10 tahun penjara) hanya 9 orang, belum lagi vonis bebas atau lepas yang berjumlah 54 orang.

Selain soal vonis hukuman penjara, ICW menilai pemulihan kerugian negara juga sangat kecil. Dari catatan ICW, kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2019 mencapai Rp 12 triliun namun pidana tambahan berupa uang pengganti yang dijatuhkan majelis hakim hanya Rp 750 miliar.

Sistem buruk dan jerat hukum yang tak sepadan, selain menghancurkan kerja keras para penegak hukum yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi, juga tak membuat jera para pelaku korupsi.

Share: Apa pun Ideologi Pelakunya, Korupsi Adalah Korupsi