Ilustrasi: Ibam/Asumsi.co
Pilkada tiba sebentar lagi. Warga Indonesia di berbagai daerah akan memilih pada 9 Desember 2020. Bagi sebagian kaum muda, pilkada ini akan menjadi pengalaman pertama mereka berpartisipasi dalam kontes demokrasi.
Untuk mencari tahu persepsi dan aspirasi kaum muda mengenai pilkada, Warga Muda, Perludem, Golongan Hutan, dan Campaign.id bekerja sama dengan Change.org Indonesia mengadakan sebuah survei terhadap ribuan anak muda Indonesia. Hasil survei ini pun ditayangkan lewat sebuah webinar yang ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Charge.org Indonesia pada Selasa, 24 November 2020.
Desma Murni selaku Partnership Director Change.org Indonesia mengatakan, “Pemilih usia muda ini jumlahnya sangat besar. Kelompok ini sangat berpotensi mempengaruhi dan menentukan seperti apa pemimpin yang akan terpilih, juga ke mana arah pembangunan daerah ke depannya.”
Survei yang diadakan dalam rentang 12 Oktober – 10 November 2020 ini diikuti oleh 9.087 responden berusia 17-30 tahun yang tersebar di seluruh 34 provinsi di Indonesia. Sebagian besar responden merupakan mahasiswa dan pekerja.
Sebagai pembuka, Ilham Saputra mewakili KPU menyatakan bahwa gairah politik kaum muda harus digugah agar mereka dapat mengambil peran mengawasi dan memperkuat kegiatan politik di Indonesia.
Anak muda harus sadar, katanya, bahwa para kepala daerah yang terpilih akan membuat kebijakan-kebijakan yang berpengaruh langsung terhadap rakyat di daerah pemilihannya masing-masing. Oleh karenanya, kaum muda harus menjadi agen perubahan yang memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa memilih itu penting.
“Ini sangat bisa menguatkan kita dalam berdemokrasi,” ujar Ilham.
Kenapa kaum muda? “Anak muda hari ini merupakan stakeholder terbesar, baik dalam konteks politik maupun sektor lain, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah,” ujar Wildanshah dari Warga Muda. Kaum muda berperan penting tidak hanya dalam perumusan kebijakan hari ini, tapi juga urusan kebijakan-kebijakan di masa depan.
Wildanshah lanjut memaparkan, bahwa kaum muda hari ini punya banyak tantangan: salah satunya, kecenderungan untuk dipinggirkan dan disepelekan oleh para kepala daerah.
Ketika ditanya apakah mengetahui akan adanya pemilihan kepala daerah, sekitar 81% responden menjawab tahu. Temuan ini menandakan kampanye atau sosialisasi akan adanya pilkada di daerah cukup marak.
Namun, ketika ditanya mengenai rekam jejak dari para calon kepala daerahnya masing-masing, 62% responden menjawab tidak tahu. Temuan ini bisa dibilang penanda bahwa para calon kepala daerah kurang berkolaborasi dengan kaum muda. Wildanshah menegaskan bahwa temuan ini berbahaya karena kaum muda berisiko membeli kucing dalam karung. Mereka tidak mengenal siapa yang membuat kebijakan-kebijakan yang akan memengaruhi hidup mereka.
Survei lebih lanjut menunjukkan para anak muda ingin daerahnya masing-masing maju dan berkembang, namun hanya 27% dari responden yang mengaku antusias terhadap pilkada.
Mereka yang menjawab tidak terlalu antusias dengan pilkada beralasan bahwa pilkada yang diadakan di tengah pandemi memiliki risiko kesehatan yang besar. Selain, itu sebagian lain dari responden menjawab kurang antusias dengan alasan bahwa pilkada tidak akan berdampak apapun pada kehidupan mereka. Temuan ini dapat diartikan bahwa pilkada cukup berjarak dengan anak muda.
Edo Rakhman dari Golongan Hutan menyampaikan beberapa temuan menarik mengenai isu-isu yang dipedulikan anak muda. Isu ekonomi dan kesejahteraan yang banyak disampaikan oleh anak muda di kota besar menjadi isu yang paling populer di kalangan kaum muda. Sedangkan di wilayah Timur dan rural, sebagian besar menyampaikan kepedulian mereka terhadap isu infrastruktur dan pendidikan.
Bagaimana dengan lingkungan?
“Buruknya pengelolaan sampah dan limbah masih menjadi persoalan utama, khususnya di kota-kota besar,” kata Edo. 85% responden menganggap program tangguh bencana penting untuk diadopsi dalam visi dan misi kandidat kepala daerah.
Ada sebuah narasi umum bahwa kaum muda tidak peduli terhadap politik. Maharddhika selaku peneliti dari Perludem menyanggahnya dengan hasil survei.
Menurutnya, ketidakpedulian ini hanya ditujukan pada politik formal. 43% dari responden menyatakan tidak tertarik bergabung dalam partai politik. Maharddhika menjelaskan, “Politik formal dianggap tidak mampu membawa perubahan.”
Akan tetapi, anggapan bahwa kaum muda abai terhadap politik itu tidak benar. Berdasarkan hasil survei, sebanyak 36% responden mengaku aktif di komunitas atau organisasi. Menurut Maharddhika, kaum muda mau terlibat dalam politik, tapi dengan cara yang berbeda. Mereka turun ke jalan, melakukan protes, dan menginisiasi gerakan-gerakan alternatif di luar politik formal.
Lantas, apa saja harapan kaum muda buat pilkada serentak yang akan diadakan pada 9 Desember 2020?
Sebesar 34% responden berharap pemilihan akan menghasilkan pemimpin yang membawa perubahan positif buat daerahnya masing-masing.
24% dari responden menjawab bahwa mereka tidak berharap banyak pada pikada. Mereka beranggapan, politik di Indonesia cuma menguntungkan para elite dan pengusaha besar.
16% responden masih menaruh percaya. Mereka berharap pilkada dapat membawa perubahan yang berkelanjutan untuk kesejahteraan kaum muda.
Temuan-temuan ini dapat menjadi bahan evaluasi buat pemerintah untuk membuka akses kolaborasi lebih luas dengan kaum muda. Mereka tak cukup hanya dirangkul ketika musim pemilihan tiba, namun juga perlu dilibatkan dalam perumusan dan penerapan kebijakan.
Maharddhika menegaskan, “Persoalan kaum muda dalam politik adalah soal akses, bukan soal apatisme.”
Hasil jajak pendapat ini selengkapnya bisa dibaca di tautan berikut.