Isu Terkini

Berbalik Arah, Pakar Kesehatan WHO Tidak Sarankan Lockdown

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Spesialis COVID-19 World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa lockdown tak harus diterapkan untuk mengendalikan penyebaran pandemi. Karena dampaknya yang luar biasa pada penghidupan rakyat termiskin di berbagai negara, lockdown hanya perlu diterapkan sebagai pilihan terakhir.

Sikap baru ini diutarakan oleh dr. David Nabarro, seorang pakar kesehatan masyarakat dan Utusan Khusus Direktur Jenderal WHO untuk penanganan COVID-19 global. Dalam wawancara mendalam dengan The Spectator, dr. Nabarro menyatakan bahwa lockdown memiliki efek samping yang tak ringan.

“Konsekuensi dari lockdown yang tak boleh kita kesampingkan adalah hancur leburnya masyarakat termiskin,” ucapnya. “Kami memproyeksikan bahwa angka kemiskinan global akan berlipat ganda tahun depan, dan angka malnutrisi di anak-anak juga akan meningkat tajam.” Oleh karena itu, menurutnya, WHO “tidak menyarankan lockdown sebagai cara utama mengendalikan penyebaran virus SARS-CoV-2.”

Pernyataan dr. Nabarro ini berseberangan dengan sikap yang sempat ditegaskan oleh Dirjen WHO, dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus. Sejak Maret 2020 lalu, ia mewanti-wanti agar sebanyak mungkin negara menerapkan lockdown. Selain untuk menjadi rem darurat, lockdown juga mesti dibarengi dengan perluasan sektor kesehatan dan meningkatnya jumlah tes COVID-19 ke publik. Kalaupun lockdown mulai dilonggarkan, ia meminta agar pelonggaran dilakukan secara bertahap dan perlahan.

“Hal terakhir yang diinginkan negara manapun adalah membuka sekolah dan tempat bisnis, kemudian terpaksa menutup semuanya lagi karena jumlah kasus melonjak lagi,” ucap dr. Tedros dalam sebuah konferensi pers, akhir Maret 2020 silam.

Namun kini, dr. Nabarro menegaskan bahwa setelah mempertimbangkan segala dampak turunan, lockdown hanya perlu dianggap sebagai opsi terakhir. “Menurut kami, lockdown hanya layak diberlakukan jika pemerintah butuh waktu untuk mengorganisir ulang, mengistirahatkan, dan menyeimbangkan sumber daya kesehatan. Misalnya, untuk mengurangi beban ke pekerja medis.” ucap dr. Nabarro.

Selebihnya, WHO tidak menyarankan lockdown diterapkan. Persoalan ekonomi menjadi salah satu pertimbangan utama mereka. 30 Juni 2020 lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa pandemi COVID-19 “paling menghantam masyarakat yang paling rentan: masyarakat miskin, kelas pekerja, perempuan dan anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok termarjinalkan lainnya.”

Singkat kata, dalam kondisi darurat seperti ini, pemerintah-pemerintah di dunia terbukti gagal melindungi masyarakat yang paling rentan dari kemerosotan ekonomi. Oleh karena itu, sekalian saja tak usah di-lockdown.

Namun, posisi ini masih kontroversial. Seperti diwartakan New Zealand Herald, pernyataan bombastis dr. Nabarro keluar tak lama setelah munculnya Deklarasi Great Barrington–petisi bersama yang ditandatangani pakar kesehatan seluruh dunia soal lockdown. Dalam petisi tersebut, mereka menuding lockdown menimbulkan “dampak yang tak bisa diperbaiki” terhadap kesejahteraan global.

Alih-alih lockdown yang luas, mereka merekomendasikan pendekatan bertajuk Perlindungan Terfokus–pada dasarnya versi gaya dari “menerapkan protokol kesehatan.” Dalam pendekatan Perlindungan Terfokus, sektor masyarakat yang paling berisiko meninggal akibat COVID-19 akan diberikan perlindungan khusus dan prioritas utama penanganan medis, sementara populasi yang lain hanya diberikan pembatasan tertentu. Selain melindungi pihak yang paling berisiko dihajar pandemi, pendekatan ini juga berupaya “mengurangi batasan herd immunity.”

Deklarasi Great Barrington telah menuai 12 ribu tanda tangan, dan didukung habis-habisan oleh pemrakarsanya: Sunetra Gupta dari University of Oxford, Jay Bhattacharya dari Stanford University, dan Martin Kulldorff dari Harvard University. Ketiga epidemiolog itu percaya bahwa mau bagaimanapun juga, lockdown punya “timbal balik ekonomi” yang terlalu berat untuk ditanggung masyarakat termiskin. Dampak jangka panjang pada mereka–mulai dari kemerosotan ekonomi, hilangnya kesempatan pendidikan, hingga malnutrisi–akan jadi pembunuh jangka panjang yang lebih bahaya ketimbang pandemi.

Tentu saja, posisi ini amat diperdebatkan. Michael Head, peneliti senior kesehatan global di University of Southampton, merasa deklarasi itu bersandar pada “premis yang ngawur.” Sampai vaksin tersedia secara luas, mau tidak mau lockdown menjadi cara terbaik untuk mengerem penyebaran virus SARS-CoV-2. Meskipun begitu, ia pun sepakat bahwa lockdown ultraketat berskala nasional seperti yang diterapkan di Eropa pada awal tahun 2020 tidak diperlukan.

Lockdown total hanya dilakukan saat penyebaran virus amat tinggi,” ucap Head. “Kita sekarang tahu bagaimana cara mengendalikan penyebaran virus. Jadi, kita bisa menerapkan intervensi di tingkat nasional dan regional yang lebih “ringan” ketimbang sebelumnya.”

Tapi, pendekatan Perlindungan Terfokus yang diutarakan Deklarasi Great Barrington tetap saja kelewat longgar. “Mereka penyokong teori herd immunity, seolah-olah masyarakat termiskin kebal terhadap virus tersebut. Itu ide buruk. Bahkan dengan lockdown total sekalipun, angka kematian tetap tinggi,” kritik Head. Terlebih lagi, karena masa imunitas COVID-19 hanya beberapa bulan, mengejar herd immunity bukan cara terbaik mencegah pandemi berkobar.

Per 12 Oktober 2020, sebanyak 37,7 juta kasus positif COVID-19 telah dilaporkan dari seluruh dunia. Lebih dari satu juta orang meninggal dunia akibat pandemi COVID-19.

Share: Berbalik Arah, Pakar Kesehatan WHO Tidak Sarankan Lockdown