Budaya Pop

Kita Bisa Bikin Jurassic Park, Tapi Siasati Pelanggaran HAM Dulu

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Dalam film Jurassic Park, jasad makhluk-makhluk purbakala kerap ditemukan terjebak di dalam ambar. Damar pepohonan yang membatu itu telah mengabadikan bunga, serangga, reptil, dan burung-burung primitif dari jutaan tahun lalu. Namun, jangan harap fantasi taman ria purbakala penuh petualangan dapat terwujud dalam waktu dekat. Untuk mempelajari peninggalan tak ternilai itu saja, peneliti di seluruh dunia mesti menyiasati konflik berdarah yang memakan nyawa ribuan orang.

Ambar memang dapat ditemukan di berbagai belahan dunia–kebanyakan di wilayah sekitar laut Baltik di utara Eropa. Namun, kebanyakan ambar yang ada di dunia adalah ambar angkatan baru. Ambar yang berasal dari masa sebelum kepunahan dinosaurus, sehingga berpeluang berisi jasad hewan-hewan prasejarah, amat langka.

Dari sinilah persoalan bermula. Ambar-ambar tertua di dunia ditemukan di provinsi Kachin, Burma. Daerah tersebut terletak di utara, selemparan batu dari perbatasan Burma-Cina. Dan sejak kemerdekaan Burma dari cengkeraman kolonial Inggris 70 tahun lalu, wilayah tersebut telah menjadi kawasan konflik militer yang tak kunjung padam.

Kachin menjadi medan pertarungan antara tentara Burma dengan tentara Kachin Independence Army (KIA), pasukan etnis Kachin yang memperjuangkan otonomi wilayah tersebut selama sekian dekade terakhir. Bayangkan bila fosil-fosil dinosaurus paling lengkap di dunia tercecer di wilayah yang jadi medan tempur Gerakan Aceh Merdeka versus TNI, dan kamu dapat membayangkan betapa repotnya situasi yang dihadapi para paleontolog atau ahli fosil.

Tentu ada banyak kejahatan kemanusiaan yang terjadi di wilayah Kachin. Pada 2018, misi pencari fakta dari Komite HAM PBB menemukan bukti-bukti pemerkosaan, penyiksaan, dan kekerasan terhadap warga sipil besar-besaran yang dilakukan oleh militer Burma di Kachin. Setahun kemudian, Burma emoh menandatangani draft resolusi Dewan HAM PBB untuk menghentikan aksi militer.

Inti persoalannya adalah tambang-tambang ambar, giok, dan mineral-mineral langka yang bertebaran di wilayah Kachin. Selama satu dekade terakhir, permintaan pasar Cina untuk perhiasan giok dan ambar meningkat drastis. Kachin, wilayah konflik yang memiliki potensi tambang tinggi, tiba-tiba jadi ladang uang yang makin keras diperebutkan.

Laporan dari Komite HAM PBB membenarkan bahwa kampanye kekerasan terhadap warga sipil di Kachin memiliki satu tujuan utama: merebut kendali atas tambang-tambang ambar di sana. Ambar tua yang ditambang di Kachin mendapat julukan “ambar darah”. Sebetulnya, julukan itu muncul karena warnanya yang khas. Namun, seperti “blood diamonds” dari Afrika, ambar itu berdarah-darah karena digali di daerah konflik.

Selain unik dan diburu di pasar Cina, ambar Kachin kerap berisi jasad-jasad berharga hewan dan tumbuh-tumbuhan prasejarah. Fosil yang terawetkan di ambar jauh lebih bernilai ketimbang yang terawetkan di batu layaknya fosil dinosaurus pada umumnya. Sebab, dalam ambar, tak hanya tulang yang bertahan. Daging, kulit, bahkan rambut-rambut halus sekalipun dapat diabadikan.

Paleontolog tersohor asal Cina, Xing Lida, dua kali menemukan jasad dinosaurus yang terawetkan dengan sangat baik. Pada 2016, ia menemukan potongan ekor dinosaurus di dalam bongkahan ambar yang hendak diboyong dari Burma masuk perbatasan Cina. Maret 2020 ini, ia menemukan kepala seekor dinosaurus mungil dengan bentuk serupa burung di dalam ambar dari Kachin. Lebih spektakuler lagi, kepala itu milik spesies dinosaurus yang belum pernah ditemukan.

Sederhananya, kalau ambar dari Kachin bisa diakses dengan mudah oleh para paleontolog, pengetahuan kita tentang masa-masa para dinosaurus bisa meningkat dengan cepat. Masalahnya: mereka harus anteng-anteng saja memecah belah ambar hasil konflik yang telah membunuh ribuan orang.

Perdebatan ini yang sedang riuh di kalangan paleontolog. Prof. Emily Rayfield, pakar paleobiologi di University of Bristol, menyatakan bahwa ilmuwan sepertinya tak boleh meneliti ambar yang didapat dengan cara-cara yang melanggar hak asasi manusia. “Sebagai paleontolog dan manusia, kita harus memikirkan implikasi etis  kegiatan kita,” ucapnya.

Ia dan Society of Vertebrate Paleontology, organisasi beranggotakan pakar fosil vertebrata, menghimbau para koleganya untuk tidak meneliti ambar asal Burma yang ditambang setelah Juni 2017. Sebab, pada pertengahan 2017, tentara Burma resmi mengambil alih operasional seluruh tambang di Kachin. “Perburuan terhadap ilmu pengetahuan tidak boleh melangkahi nasib orang-orang yang mengalami krisis kemanusiaan,” ujarnya.

Ada alasan lain kenapa Society of Vertebrate Paleontology risau bila tentara Burma terus menduduki tambang-tambang Kachin. Ambar yang dikuasai tentara kebanyakan dijual ke pembeli-pembeli anonim dan hilang dari peredaran. Tentu repot bila suatu saat nanti mereka menemukan jasad dinosaurus lain di dalam ambar, dan alih-alih diteliti oleh pakarnya, jasad dalam ambar itu malah dijual ke konglomerat misterius.

Namun, paleobiolog Prof. George Poinar tidak mau pusing. Baginya, ambar dari Burma harus terus dipelajari karena mau bagaimanapun juga, ia adalah jendela terbaik untuk memandang masa lalu yang telah lewat jutaan tahun. “Jika tidak diteliti,  fosil yang amat berharga secara ilmiah bakal dicacah-cacah jadi perhiasan, dan hilang selamanya untuk generasi-generasi berikutnya,” sanggahnya.

Sebagai legenda di dunia paleontologi, opini Poinar lumayan dianggap. Pada 1982, ia menemukan bahwa bila suatu organisme terawetkan di dalam ambar, struktur intraselularnya dapat ikut diawetkan meski tidak sepenuhnya. Malah, studi ini jadi inspirasi plot film Jurassic Park: darah dinosaurus di perut seekor nyamuk yang terjebak di ambar digunakan untuk menghidupkan kembali populasi dinosaurus.

Perdebatan tersebut masih belum menemui hasil akhir yang saklek. Jurnal seperti Acta Paleontologica Polonica dan Journal of Systematic Palaentology kompak tak mau menerbitkan riset yang menggunakan ambar dari Burma. Sementara jurnal mentereng Nature menolak mengembargo riset yang menggunakan ambar Burma.

Sebagian tak ingin menelitinya karena dianggap melanggar etika kemanusiaan, sebagian bersikeras karena isinya terlalu berharga untuk dilewatkan. Andai saja Dr. Ian Malcolm ada di sini untuk menuntaskan perdebatan tersebut.

Share: Kita Bisa Bikin Jurassic Park, Tapi Siasati Pelanggaran HAM Dulu