Dari ratusan calon vaksin COVID-19 yang diracik di seantero dunia, bakal vaksin bikinan Universitas Oxford adalah salah satu yang paling menjanjikan. Vaksin tersebut adalah satu dari hanya 30 calon vaksin di seluruh dunia yang telah maju ke tahapan uji klinis. Namun, Gereja Katolik Australia baru-baru ini menyatakan penolakan terhadapnya.
Perdebatan ini dimulai pekan lalu (24/8). Uskup Agung Sydney, Anthony Fisher, mengirimkan surat terbuka kepada Perdana Menteri Scott Morrison tentang bakal vaksin tersebut. Surat yang bersangkutan juga ditandatangani oleh Uskup Gereja Anglikan Glenn Davies, dan Uskup Gereja Ortodoks Makarios Griniezakis. Singkatnya, ini surat yang mewakili keresahan mayoritas umat Kristiani di negeri Kangguru.
Fisher dan kawan-kawannya galau karena merasa vaksin bikinan Universitas Oxford “tidak etis” dan “menimbulkan dilema moral.” Pasalnya, salah satu bahan dalam peracikan vaksin tersebut adalah kultur sel yang ditarik dari fetus bayi manusia yang diaborsi.
“Akan lebih baik bagi masyarakat bila vaksin COVID-19 yang tersedia diberikan kepada sebanyak mungkin orang, dan hal ini lebih mungkin terjadi bila vaksin tersebut tidak menimbulkan dilema moral di kalangan umat Kristiani,” tulis Fisher. Oleh karena itu, Fisher berharap Australia akan mendukung vaksin COVID-19 yang tidak menggunakan kultur sel dari fetus manusia, sehingga umatnya tidak ragu memakai vaksin.
Kekhawatiran ini semakin mengkristal sebab Australia telah menandatangani kontrak senilai 24.7 juta dollar Australia dengan perusahaan medis AstraZeneca. Dalam kesepakatan tersebut, AstraZeneca selaku penyuplai vaksin racikan Oxford setuju untuk mendistribusikan vaksin tersebut ke warga Australia secara luas dan gratis.
Kesepakatan antara AstraZeneca dengan Oxford University saja sudah dianggap kontroversial, karena dituding sebagai cara untuk meraup untung dari vaksin yang amat sangat dibutuhkan publik. Bila vaksin tersebut malah diperjualbelikan ke lembaga-lembaga dan negara-negara, ada risiko vaksin tersebut tak akan diakses oleh sebanyak mungkin orang.
Terang saja pemerintah Australia kebakaran jenggot–beli vaksin dari AstraZeneca dan Oxford saja sudah repot, kini rencana mereka melakukan vaksinasi massal bisa terjegal bila jutaan umat menolak ikut serta. Namun, sebenarnya kenapa fetus bayi bekas aborsi bisa masuk ke vaksin bikinan Oxford? Sejak kapan vaksin punya bahan yang terkesan sedemikian horor?
Tenang saja–fetus tersebut tidak ditumbuk atau diblender, lantas ditebarkan sarinya ke vaksin macam BonCabe. Prosesnya tentu lebih ruwet dari itu. Bagian dari fetus yang dipakai adalah kultur sel, yang kerap diternak dan dipanen untuk digunakan dalam riset medis.
Kultur sel yang dipakai oleh Oxford bernama HEK293, dan kultur tersebut dikembangkan pada 1970-an dari–yak benar–sel fetus yang bisa diakses peneliti karena fetus tersebut telah diaborsi. Tepatnya, HEK293 dikembangkan dari sel ginjal embrio manusia.
Menurut Robert Booy, profesor vaksinologi di University of Sydney, kultur sel dari fetus sering dipakai dalam pengembangan vaksin karena sel tersebut lebih efektif dalam mereplikasi RNA virus yang digunakan sebagai bahan vaksin. Sederhananya, dia adalah “pabrik” miniatur untuk memproduksi vaksin. Setelah jumlah virus untuk vaksin mencukupi, umumnya vaksin dipanen dan “pabrik” kultur sel fetus tersebut dibuang.
Meski vaksin COVID-19 tidak harus dikembangkan dengan HEK293, Profesor Stephen Turner dari departemen mikrobiologi Monash University merasa kultur sel tersebut paling tepat untuk COVID-19. Pasalnya, ia lekas mereplikasi vaksin dan paling efektif untuk memproduksi miliaran dosis dalam waktu cepat.
Saking efektif dan gampangnya mereplikasi vaksin dengan kultur sel, HEK293 adalah kultur sel yang paling banyak kedua dipakai di dunia. Bahkan vaksin untuk rubella, Hepatitis A, dan cacar air dikembangkan menggunakan HEK293.
Fakta terakhir inilah yang bikin bingung para pakar dan perwakilan pemerintah Australia. Sebelumnya, Gereja Katolik Australia santai-santai saja dengan vaksin lain yang sebenarnya juga menggunakan HEK293. Bahkan, Vatikan telah mengeluarkan perintah khusus yang menyatakan bahwa meski vaksin dengan kultur sel fetus tidak etis secara moral, ia diperbolehkan demi menyudahi pandemi. Singkatnya, kebaikan vaksin tersebut jauh melebihi kemudaratannya.
Poin terakhir inilah yang menjadi pangkal kritik Dr. Diego Silva, pakar etika biologi di University of Sydney. Memang bahan vaksin tersebut meragukan bagi kelompok agama tertentu, tetapi dilema yang dihadapi “bukan sekadar dilema antara seorang individu dengan dokternya. Melainkan dilema kesehatan publik.”
Bila Gereja memprioritaskan keengganan mereka ketimbang keselamatan orang banyak, merekalah yang salah kaprah. Prioritas peneliti dan pemerintah adalah menyediakan vaksin yang terbaik dan paling efektif untuk menyudahi pandemi. Soal etika di balik bahannya, menurut Silva itu urusan belakangan.