Isu Terkini

Anggaran COVID-19 Dinilai Tak Transparan, ICW: Celah Korupsi Terbuka Lebar

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Pandemi COVID-19 telah berlangsung setidaknya selama lima bulan di Indonesia, tetapi pemerintah dinilai belum secara transparan menyampaikan informasi tentang penanganan pandemi kepada masyarakat. Tak hanya soal update jumlah kasus setiap harinya, masyarakat juga punya hak atas informasi terkait dana yang digunakan untuk menangani pandemi ini.

Dana yang telah dikucurkan untuk penanganan COVID-19 masih terbilang minim. Berdasarkan Lampiran IV (.pdf) Perpres No. 72 Tahun 2020, Kementerian Kesehatan RI baru mengalokasikan Rp28 juta atau 0,1% untuk “Pengelolaan Krisis Kesehatan” dari Rp28,8 miliar. Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mencatat bahwa pemerintah baru membelanjakan Rp6,78 triliun atau 7,74% dari total anggaran sebesar Rp87,55 triliun.

ICW juga melakukan pemantauan dan analisis terhadap pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan RI, dan menemukan bahwa potensi kecurangan dapat terjadi karena pemerintah tidak memberikan data yang transparan dan mudah diakses oleh publik.

Dalam hal pengadaan barang dan jasa, ketertutupan informasi telah terlihat sejak awal pandemi. Pembangunan Rumah Sakit Darurat khusus Corona di Pulau Galang, Kota Batam, contohnya, dikabarkan pada 16 April membutuhkan anggaran sebesar Rp400 miliar. Namun, rincian anggaran pembangunan rumah sakit tersebut tidak ditemukan, baik dari pemberitaan media ataupun situs lembaga pemerintah yang bersangkutan.

Peneliti ICW Siti Juliantari mengatakan bahwa informasi pengadaan barang dan jasa untuk pembangunan rumah sakit yang berhasil mereka temukan hanyalah seputar penyediaan alat kesehatan. Itu pun tanpa uraian yang jelas. “Kalau dlihat, volume pengerjaannya hanya 1 paket, uraian pekerjaannya hanya penyediaan alat kesehatan, sementara spesifik pekerjaannya ditulis ‘sesuai KAK [Kerangka Acuan Kerja]’. Tidak diketahui apa saja alat-alatnya dan berapa banyak jumlahnya. Hanya sesuai KAK, sementara itu nggak tahu bisa diakses di mana,” ujar Tari dalam konferensi pers (12/8).

Sementara itu, pemerintah tidak menyediakan kanal khusus yang menyajikan informasi pengadaan dalam penanganan COVID-19. Seperti yang dilakukan oleh ICW, masyarakat pun mesti mencari data secara sporadis melalui situs SiRUP milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan LPSE Kementerian Kesehatan dengan mengetikkan kata-kata kunci terkait COVID-19 seperti “covid”, “pcr”, “swab”, “rapid test”, dan lain-lain.

Data-data yang tersedia dalam situs-situs itu sendiri sarat kejanggalan. Informasi pengadaan barang dan jasa dalam SiRUP tidak dilengkapi dengan nama yang jelas, dengan volume pekerjaan yang jarang diinformasikan, dan uraian pekerjaan yang tidak disebutkan.

Dari seluruh rencana paket pengadaan yang berkaitan dengan COVID-19 yang ditemukan oleh ICW, 74 di antaranya menggunakan metode pengadaan langsung. Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, dan jasa dengan metode ini paling banyak bernilai Rp200 juta.

Namun, ICW menemukan bahwa 11 dari 74 rencana paket memiliki rencana anggaran yang melebihi itu—dengan sejumlah paket memiliki nominal lebih dari Rp1 miliar. Pengadaan barang untuk Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya, misalnya, bernilai Rp2,784 miliar. Begitu pula dengan pengadaan barang untuk Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar yang nilainya mencapai Rp1,987 miliar. Totalnya, 11 rencana paket yang menggunakan metode pengadaan langsung ini bernilai lebih dari Rp10 miliar.

“Meskipun pengadaan-pengadaan tersebut termasuk dalam pengadaan darurat, tetapi tetap tidak dibenarkan menggunakan metode pengadaan langsung telah diatur dalam perpres. Jika memang darurat, seharusnya bisa langsung mengacu ke pengadaan darurat atau metode lainnya,” ujar ICW dalam kajiannya yang berjudul “Potensi Korupsi Alat Kesehatan di Kondisi Pandemi”.

Kejanggalan juga terlihat dalam pengadaan alat material kesehatan (almatkes) untuk COVID-19. Hingga Juli 2020, ICW mencatat totalnya terdapat 67.886.323 unit almatkes yang dibelanjakan oleh pemerintah yang terdiri dari 30 jenis: 13,9% di antaranya adalah alat pelindung diri (APD), 68% adalah masker bedah, 3,5% alat rapid test, 3,3% reagen PCR, dan lain-lain.

Dari 30 jenis almatkes tersebut, hanya APD dan masker yang disampaikan oleh pemerintah jumlah kebutuhannya, yaitu APD sebanyak 5 juta per bulan dan masker bedah sebanyak 129,8 juta lembar. Sementara itu, 28 jenis almatkes sisanya tidak diketahui secara jelas jumlah kebutuhannya.

Kebutuhan akan APD dan masker bedah pun tidak terealisasi. Selama rentang waktu 5 bulan, ICW mencatat hanya 1,8 juta unit APD dari 5 juta yang dibutuhkan—atau sekitar 36%. Begitu pula dengan masker bedah yang baru diproduksi sebesar 46,2 juta lembar atau 36% dari total kebutuhan. Padahal, Kementerian Perdagangan sempat mengatakan bahwa Indonesia punya kapasitas produksi masker bedah yang berlimpah, bahkan bisa mengekspor hingga 2,7 miliar lembar.

“Dari dua data ini, kami melihat terdapat selisih yang sangat lebar antara kebutuhan dengan realisasi alat kesehatan yang sudah didistribusikan. Ketika pemerintah gagap melakukan upaya mitigasi, yang menjadi korban bukan hanya ekonomi, tapi para tenaga kesehatan yang berjuang di depan dan masyarakat,” tutur peneliti ICW Wana Alamsyah dalam kesempatan yang sama.

Tak hanya itu, ketika melihat data distribusi almatkes di setiap daerah di Indonesia, ICW juga menyorot tidak adanya acuan atau standar yang jelas mengenai jumlah alat kesehatan yang mesti disebarkan. Provinsi Kalimantan Selatan yang termasuk dalam zona merah COVID-19 hanya menerima 0,9% almatkes per data 21 Juli 2020. Sementara itu, Sumatera Barat yang masuk dalam zona hijau mendapatkan jumlah almatkes yang lebih banyak, yaitu 3.19%.

Dari hasil tabulasi ICW pula, ditemukan bahwa distribusi almatkes masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total 51,7%. Sisanya, 17,5% di Sumatera, 10,4% di Sulawesi, 6,6% di Kalimantan, 8,4% di Maluku dan Papua, dan 5,5% di Bali dan Nusa Tenggara.

“Kami mengapresiasi pemerintah pusat yang telah mendistribusikan bantuan, tetapi yang menjadi soal adalah ketika pendistribusian itu tidak tepat sasaran atau tidak efektif, sehingga ada provinsi yang tidak punya anggaran cukup tapi pemerintah hanya memberikan bantuan almatkes yang sedikit. Itu disayangkan,” ujar Wana.

Egi Primayogha selaku peneliti ICW menilai informasi yang tidak terbuka ini berpotensi melanggar Undang-undang No. 14 Tahun 2008 tentang “Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.” Kedua undang-undang ini mewajibkan pemerintah untuk mengumumkan informasi jika ada sebuah wabah yang mengancam nyawa warganya.

“Tanpa transparansi, celah korupsi akan terbuka lebar. Kalau ketertutupan dari pemerintah ini terus berlanjut, penyimpangan akan marak terjadi di mana-mana. Dampaknya, penanganan COVID-19 tidak akan berjalan secara maksimal. Rasanya kita tinggal tunggu giliran saja untuk kena penyakit.”

Share: Anggaran COVID-19 Dinilai Tak Transparan, ICW: Celah Korupsi Terbuka Lebar