Isu Terkini

Kalau Dimintai Pertolongan oleh Korban KDRT, Apa yang Perlu Kamu Lakukan?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Korban kekerasan dalam rumah tangga bisa jadi kesulitan meminta pertolongan—apalagi semasa pandemi, ketika semua orang dianjurkan untuk tetap tinggal di rumah. Untuk menyiasati itu, video call bisa jadi sarana untuk memberikan sinyal kepada orang lain menggunakan tangan.

Seorang korban KDRT bisa menunjukkan telapak tangannya ke kamera dengan ibu jari terlipat kemudian mengepalkannya sebagai tanda bahwa ia membutuhkan pertolongan. Jika orang lain menerima sinyal ini, diharapkan ia dapat membantu melaporkan ke pihak berwajib atau lembaga pendampingan korban.

Sumber: Canadian Women’s Foundation

Bernama Signal For Help atau #SignalForHelp, siasat ini pertama kali dikampanyekan oleh The Canadian Women’s Foundation, yayasan publik yang berdedikasi untuk mengadvokasi kepentingan perempuan dan anak-anak, pada 14 April lalu. Berselang dua pekan, Women’s Funding Network di Amerika Serikat mengadopsinya.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa sinyal ini juga mulai dipopulerkan di Indonesia oleh Koalisi Ruang Publik Aman dan menjadi penting khususnya selama pandemi COVID-19 ini. Dengan gestur sederhana, seseorang dapat meminta bantuan sembari meminimalisir risiko ketahuan pelaku atau meninggalkan jejak digital.

“Sebagaimana kita ketahui, selama pandemi ini terjadi peningkatan KDRT, tapi korban mengalami hambatan untuk mendapatkan bantuan—baik karena keterbatasan akses, mobilitas yang terbatas dan yang utama karena korban masih bersama dengan pelaku. Ketika aktivitas kita beralih ke dunia maya, sinyal ini dapat digunakan untuk memberikan informasi ke dunia luar bahwa korban membutuhkan bantuan,” ujar Siti melalui pesan singkat kepada Asumsi.co (8/6).

Setiap menit, setidaknya 24 orang menjadi korban pemerkosaan, kekerasan fisik, atau penguntitan oleh pasangan masing-masing. Di Indonesia, survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan terhadap 2.285 responden menunjukkan bahwa pandemi membuat perempuan semakin rentan mengalami kekerasan.

80% responden perempuan dengan penghasilan kurang dari lima juta rupiah per bulan berkata kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama pandemi—terutama kekerasan fisik dan seksual. Sementara itu, kurang dari 10% korban melaporkan kasusnya. Sebagian besar memilih diam—dan hampir 69% responden tidak menyimpan kontak layanan pegaduan.

Walaupun sinyal ini dapat membantu korban KDRT, tak semua korban punya akses internet dan dapat melakukan video call. Siti Aminah Tardi mengatakan kita perlu pula memikirkan metode lain bagi perempuan yang tidak bisa mengakses internet—seperti meminta bantuan ke kerabat atau tetangga terdekat dengan cara berkirim pesan. Korban bersama teman terdekat juga bisa membangun kode atau sinyal sendiri yang mudah dipahami.

“Kampanye ini sebenarnya juga mendorong publik—khususnya keluarga, rekan terdekat atau kolega—untuk sensitif terhadap sinyal yang diberikan oleh korban yang bisa jadi adalah orang terdekat kita. Bisa jadi korban sebenarnya sudah memberikan kode-kode tapi kita tidak sensitif. Padahal, kadang kala korban memiliki hambatan-hambatan untuk meminta bantuan secara verbal ataupun langsung.”

Inisiatif-inisiatif serupa sempat bermunculan di media sosial. Penyintas KDRT Calyn Blackburn di Amerika Serikat, lewat laman Facebook-nya, memberikan kesempatan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongannya dengan cara bertanya apakah dirinya masih menjual make-up. Jika orang tersebut meminta liquid eyeliner, Blackburn akan meminta alamat mereka dan menghubungi penegak hukum terdekat. Di Indonesia, ada pula yang mengganti sinyal dengan “resep brownies” atau “rekomendasi TV series” dan berlaku khusus teman-teman yang telah saling kenal untuk memudahkan verifikasi.

Bagi orang-orang yang menerima pesan atau sinyal serupa, Komnas Perempuan merekomendasikan agar penerima pesan secara konsisten menghubungi korban untuk mengecek keadaan mereka. “Hubungi korban dengan menggunakan segala bentuk komunikasi seperti SMS, chat, media sosial, email, dan lain-lain. Tanyakan hal-hal yang bersifat umum jika akun korban berpotensi diakses pelaku, seperti ‘apa kabar?’, ‘gimana keadaanmu?’, ‘mau aku telepon?’” jelas Siti Aminah.

Untuk menghemat waktu dan memudahkan korban menjawab tanpa mengundang kecurigaan pelaku, penerima pesan juga bisa memberikan pertanyaan tertutup atau yang jawabannya “ya” atau “tidak”. Korban juga bisa menjawab dengan anggukan (untuk “ya”) dan gelengan (untuk “tidak”). Korban pun disarankan untuk menggunakan earphone agar pertanyaan tidak terdengar oleh pelaku kekerasan.

Pertanyaan-pertanyaan yang bisa diajukan kepada korban termasuk, “apakah kamu terluka?”, “apakah luka sudah diobati?”, “apakah kamu perlu diantarkan ke dokter?”, atau “bolehkah aku menghubungi anggota keluargamu?” Penerima pesan dapat mendengarkan apa yang dibutuhkan korban dan menelepon penegak hukum jika korban meminta atau jika kondisi telah darurat.

Di Indonesia, kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat dilaporkan ke lembaga-lembaga berikut:

1. Kepolisian: 112;

2. Hotline LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan): 081388822669 (WA only) atau PengaduanLBHAPIK@gmail.com;

3. Hotline P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak): 081317617622;

4. Yayasan Pulih: 08118436633;

5. KPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak): 0211500771.

Di Komnas Perempuan, terdapat Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) yang berfungsi untuk menerima pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Selama masa pandemi, laporan dilakukan secara online dengan mengisi form daring. Dari form tersebut, Komnas Perempuan akan menindaklanjutinya dengan menilai kebutuhan korban dan merujuk korban ke lembaga layanan seperti rumah aman, bantuan hukum, atau psikolog.

Share: Kalau Dimintai Pertolongan oleh Korban KDRT, Apa yang Perlu Kamu Lakukan?