Reynhard Sinaga, pemerkosa asal Indonesia yang tinggal di Inggris, dihukum seumur hidup atau 36 tahun penjara oleh Pengadilan Manchester untuk 159 kasus perkosaan terhadap 48 korban laki-laki. Ia memperkosa sebagian korbannya berkali-kali. Kepolisian Manchester pun memperkirakan jumlah korban Reynhard dapat mencapai 190 orang.
Jaksa Penuntut Ian Rushton mengatakan bahwa Reynhard Sinaga adalah, “pemerkosa berantai terbesar di dunia.” Kepolisian Manchester menyebut kasus dengan skala ini, “belum pernah terjadi.”
Kontras dengan dakwaan kasusnya yang begitu berat, orang-orang di sekitar Reynhard mengaku kaget dan tak percaya dengan kabar tersebut. Perawakannya yang kecil, juga pembawaannya yang ramah dan kerap tersenyum memancarkan kesan tak mengancam. Seorang teman menyebutnya “baik, lembut, dan tidak mengganggu.” Ia bahkan tak bisa membayangkan Reynhard melanggar lalu lintas atau memarahi orang lain.
Pernyataan korban-korban pun mengonfirmasi hal ini. Mereka tidak curiga ketika diajak masuk ke apartemen Reynhard untuk lanjut minum-minum atau mengobrol, sebab Reynhard “berperawakan kecil dan punya pembawaan yang ramah”.
The Guardian dan BBC membicarakan asal-usul keluarga dan pendidikan Reynhard. Ia dikabarkan berasal dari keluarga mapan dan sedang mengejar gelar PhD di Inggris. Roy Thaniago, pendiri Remotivi, mengatakan informasi ini penting untuk disampaikan ke publik—menandakan pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang biasa yang ada di sekitar kita.
“Segala hal yang dinilai baik dalam masyarakat modern (kelas menengah, berpendidikan, hospitality) ditampilkan sebagai wajah seorang pemerkosa. Dengan begitu, pemberitaan ini ingin mengabarkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, oleh siapa saja, yang mungkin selama ini ada di luar stereotip seorang pemerkosa,” ujar Roy kepada Asumsi.co (7/1).
Tak Ada Hubungan dengan Orientasi Seksual
The Guardian dan BBC berhati-hati untuk tidak memusatkan kasus Reynhard kepada orientasi seksual dan kebangsaannya. Alih-alih memperlakukan Reynhard sebagai orang asing yang datang dari luar Inggris, BBC mengutip jaksa yang menilai kasus ini sebagai bagian dari Inggris. “Reynhard kemungkinan adalah pemerkosa terbesar dalam sejarah Inggris,” katanya.
Orientasi seksual Reynhard memang diungkapkan, tetapi bukan untuk digeneralisasi sebagai perilaku kelompok. “The Guardian tidak menggunakan orientasi seksual pelaku sebagai identitas utama. “Gay” dipakai untuk memperlihatkan bagaimana pelaku menjadikan mangsanya yang heteroseksual sebagai trofi,” kata Roy. “Perilakunya juga didudukkan sebagai persoalan individu, bukan kelompok (tidak dihubungkan dengan identitasnya sebagai imigran dan gay),” lanjutnya.
Walaupun begitu, laporan tentang Reynhard dikhawatirkan akan tetap membuat sentimen anti-homoseksual semakin menguat. Di Indonesia, komentar-komentar homofobik dan menyalahkan LGBTQ pun sudah banyak bermunculan di media sosial: gambar Reynhard dan bendera pride digabung dan disebut sebagai local pride, LGBT dikatakan sebagai penyakit, dan lainnya.
Sementara itu, sentimen anti-imigran yang kuat di Inggris juga dikhawatirkan membengkak. Apalagi, Perdana Menteri UK Boris Johnson terkenal telah membuat peraturan yang tidak berpihak kepada refugee dan imigran.
BBC pun masih dianggap tidak sensitif dengan mengulang pernyataan KBRI tentang orientasi seksual Reynhard—informasi yang dianggap tidak relevan dan hanya jadi pengulangan. “Apalagi kutipan ini berbunyi ‘mengakui’, seolah pengakuan atas ke-gay-annya melandasi perilaku seksualnya,” jelas Roy.
Untuk itu, kebijakan media untuk mengemas kasus ini pun perlu diperhatikan. Bukan hanya dengan tidak membingkai kasus ini sebagai kejahatan milik komunitas tertentu, tetapi juga dengan menekankan bahwa perkosaan senantiasa bertalian erat dengan patriarki.
Walaupun korban kekerasan seksual kebanyakan adalah perempuan, laki-laki juga bisa jadi korban. Pemerkosaan kepada laki-laki juga paling banyak dilakukan oleh laki-laki. Laporan “The National Intimate Partner and Sexual Violence Survey” (2010-2012) menunjukkan 86,5% kasus perkosaan terhadap laki-laki juga dilakukan oleh laki-laki.
Sementara itu, di Indonesia, KPAI mencatat bahwa persentase anak laki-laki yang jadi korban kekerasan seksual lebih besar daripada perempuan, dengan mayoritas pelaku adalah laki-laki dewasa.
Sebagaimana terhadap perempuan, laki-laki memerkosa laki-laki lain untuk menunjukkan kuasa, mengontrol, dan menaklukkan. Pemerkosaan terhadap laki-laki dicatat kerap terjadi di penjara, militer, dan peperangan sebagai alat teror. Pada Perang Saudara Suriah, misalnya, tahanan laki-laki kerap mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual, atau dipaksa untuk menonton tahanan lain diperkosa.
“Pemerkosaan perlu dibingkai oleh media sebagai produk dari sejarah umat manusia yang selama ini didominasi oleh maskulinitas, sebuah kultur yang memberikan valuasi bagi ‘penaklukkan,’” tutur Roy.
Sementara itu, dengan memperkuat stigma negatif terhadap orang-orang LGBTQ, khususnya homoseksual, korban-korban kekerasan seksual dari kelompok terpinggirkan ini akan semakin sulit dan ketakutan untuk meminta bantuan orang lain—apalagi kepada negara dan aparatnya. Kuatnya sentimen homofobia juga akan membuat laki-laki heteroseksual enggan melaporkan kasus kekerasannya karena khawatir dipandang gay dan dihakimi.
Roy menilai laporan The Guardian yang telah menunjukkan keberpihakannya kepada korban dan patut dicontoh: mengekspos profil pelaku secara lengkap, memperlihatkan betapa manipulatifnya pelaku, mengungkap trauma psikis yang dialami korban sembari menyamarkan profil mereka, dan tidak menggambarkan adegan pemerkosaan secara sensasional.
“Dengan nada seperti inilah The Guardian menjadikan laporannya sebagai sikap politik: sebagai advokasi isu kekerasan seksual dan tidak memperlakukannya sebagai barang dagangan yang bisa dieksploitasi,” lanjut Roy.
BBC juga memberikan trigger warning kepada pembacanya sebelum memaparkan laporan. Di pertengahan tulisan, BBC melampirkan hyperlink untuk mengakses hotline psikolog atau LSM yang dapat dihubungi jika pembaca menjadi triggered atau membutuhkan bantuan psikis setelah membaca artikel.
“Media perlu ditantang untuk mempromosikan cara berpikir yang menyadarkan umat manusia bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan atas kemanusiaan, pemerkosaan perlu dikutuk dengan layak, bahwa korban perlu didengar, dan bahwa pemerkosaan bukanlah komoditas,” tegas Roy.