Isu Terkini

38 Tahun Kerja Diperintah Orang

MM Ridho — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Pembicaraan mengenai lika-liku kehidupan aparatur sipil negara (ASN) tidak akan pernah kekeringan topik. Selalu ada bahasan yang bisa diekstraksi dari kisah hidup mereka, baik yang memilukan sampai yang heroik.

Sebelum ini saya berbincang dengan ASN muda yang kritis. Rasanya tidak cukup jika tidak mendengar kisah dari generasi yang lebih tua. Bagaimanapun, mereka telah menyicipi asam garam kehidupan “abdi negara.” Selain itu, untuk membicarakan hal-hal yang menyejarah, saya rasa pendekatan intergenerasional memang diperlukan.

Tadinya, saya terpikir untuk meminta ibu saya saja untuk berbagi pengalamannya. Namun, demi menghindari subyektivitas dan bias, saya mengurungkan niat saya. Saya pikir, Agni Budi Satrio (58), ayah dari teman saya yang baru tiga bulan lalu menyelesaikan masa baktinya di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR) mempunyai banyak kisah menarik untuk diperbincangkan.

Saya punya alasan kuat memilih Pak Agni sebagai kawan berbincang. Pertama, hasil dari pekerjaannya di KemenPUPR yang berupa bangunan-bangunan fisik bisa kita rasakan secara langsung sebagai penunjang kehidupan kita. Kedua, ia telah menjalankan beraneka rupa program dari tiap rezim pemerintahan, beberapa di antaranya bahkan dikenal dengan pembangunan infrastruktur yang masif.

Yang terpenting, saya meminta Pak Agni untuk membagikan refleksinya tentang kehidupan purnabakti. Silakan simak perbincangan kami.

Bagaimana  Anda memulai karier sebagai ASN?

Saya memulai karir di Kementerian (dulu namanya masih Departemen) itu sebetulnya tahun 1982. Saya kuliah sambil kerja waktu itu. Saya kuliah angkatan pertama di Gunadarma, jadi urusannya soal IT lah. Kebetulan, waktu itu Kementerian Pekerjaan Umum (KemenPU) itu masih baru mengenal teknologi komputer, alatnya masih besar-besar.

Tapi, yang penting, mereka masih sangat kekurangan orang sehingga saya setengah “dipaksa” untuk masuk ke KemenPU itu untuk membantu di bidang teknologi informasi (IT). Kalau pengangkatan sebagai ASN, itu tahun 1989. Waktu saya berumur 21 tahun, karena kebutuhan tenaga, beberapa pegawai –termasuk saya– dikirim untuk tugas belajar ke Politeknik ITB.

Apa yang menyebabkan Anda memilih pekerjaan ini?

Kalau mau dibilang keinginan, saya sebetulnya termasuk orang yang dasarnya senang terkait urusan teknis, apalagi mengenai konstruksi. Kemudian, yang menjadi daya tarik tersendiri buat saya, adalah banyaknya program pendidikan gratis yang berupa tugas belajar—seperti yang saya sebutkan tadi.

Di KemenPU itu banyak program kerjasama dengan luar negeri soal pendidikan, sampai dengan program S3 bahkan. Tapi, yang paling penting buat saya adalah: saya mesti bisa menyelesaikan pendidikan sementara saya bekerja. Jadi, yang paling memungkinkan adalah mengikuti tugas belajar yang dimiliki oleh Kementerian.

Hal pertama yang mendorong saya untuk masuk KemenPU waktu itu, jujur aja, karena saya mengejar sekolah gratis. Saya tertarik karena saya perlu sekolahnya. Jujur aja menarik, karena di kantor pemerintah itu banyak sekali program pendidikan yang gratis dan bekerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri maupun dalam negeri

Selain itu, pekerjaan ASN itu lebih mudah diperkirakan. Kalau di swasta, barangkali, yang namanya job description itu agak sulit dipegang. Job desc-nya apa tugasnya bisa lain-lain gitu. Kalau di negeri –keliatannya ini yang membuat ringan– kita hanya bekerja di sekitar jobdesc yang sudah kita tahu di awal.

Apakah pernah mengalami kisah pilu selama menjalani pekerjaan sebagai ASN?

Kebetulan waktu saya masuk sampai hampir selesai pendidikan S2 di Australia, saya belum menikah, sehingga saya tidak begitu perhatian dengan gaji dari pemerintah. Waktu itu, perhatian saya lebih ke masalah pendidikan. Tetapi memang kalau kita lihat nominalnya, itu sangat menyedihkan untuk pegawai negeri waktu. Bayangkan, pada saat saya tugas belajar ke Bandung tahun 1983 sampai 1986 itu, saya terima gaji dan uang saku sekitar Rp40 ribu, bayar kosnya aja Rp30 ribu.

Gaji itu sangat tidak masuk akal pada waktu itu. Kalau kita mau bicara hidup layak, ya jauhlah. Bicara soal gaji. kalaupun mau dibicarakan sampai sekarang sebetulnya gaji pokok itu masih jauh dari dari cukup untuk bisa hidup normal.

Kalau masih aktif menjabat,  barangkali dengan tunjangan-tunjangan seperti yang sekarang ada –tunjangan kinerja berdasarkan kehadiran dan prestasi dan segala macam lainnya– itu mungkin terdukung. Tetapi dari total take home yang didapat terakhir [waktu] masih aktif di KemenPUPR itu, katakanlah Rp15 juta, gaji pokoknya cuma sekitar Rp5 juta. Jadi, satu per tiga take home itu yang menjadi gaji pokok.

Sehingga pada saat pensiun, saya rasa semua ASN akan merasa sangat harus berhati-hati dalam penggunaan uang–yang sebetulnya nggak cukup. Nggak akan mungkin buat hidup dengan istri dan anak. Bahkan untuk hanya tinggal dengan istri atau suami saja, itu agak susah.

Sekarang ini, kebutuhan hidup minimum itu sudah cukup tinggi. Kebetulan saya termasuk yang beruntung karena belum pernah mengalami kesulitan. Pasalnya, setelah saya mengikuti pendidikan atau tugas belajar itu, saya diletakkan di proyek yang tunjangannya lumayan.

Sebetulnya yang paling berat, sebagai pegawai di Kementerian, terutama di Kementerian teknis seperti di KemenPUPR, tunjangan itu banyak didapat kalau kita sering [tugas] ke luar atau di sebuah proyek. Kalau kita di kantor, itu agak susah. Kebetulan, setelah selesai pendidikan, saya ditugaskan ke banyak tempat seperti Riau, Kalimantan, Surabaya. Jadi, tidak begitu bermasalah dengan gaji.

Saya rasa orang merasakan gaji di pegawai negeri itu terlalu minimal, ya. Dan ini sebetulnya membuka peluang bagi beberapa orang untuk mencari tambahan –yang kadang-kadang caranya jadi nggak benar– karena mereka tuntutannya itu terlalu banyak untuk dipenuhi.

Menurut Anda, apa enaknya menjadi ASN?

Salah satu kelebihannya adalah hidupnya mungkin lebih teratur dari orang swasta, karena jam kerjanya juga teratur.

Apakah pernah mengalami masalah dalam penerimaan upah seperti pembayaran yang dirapel?

Kebetulan karena saya kerjanya di Kementerian di Jakarta, saya tidak pernah punya masalah dengan itu. Yang saya rasakan sih hampir nggak pernah ada masalah dengan masalah penundaan gaji seperti yang banyak terjadi ke guru-guru terutama, di daerah pelosok.

Selama 3 bulan pensiun ini, saya belum terima uang pensiun, sih. Tapi, alhamdulillah, selama kerja saya nggak mengalami keterlambatan gaji.

Sebagai “orang dalam” bagaimana Anda memandang keruwetan birokrasi yang selama ini jadi stereotip instansi pemerintahan Indonesia?

Birokrasi itu sebetulnya bagaimana pimpinan dalam unit kerja. Kalau birokrasi secara umum, saya pikir makin kesini sudah jauh terkikis di era sekarang. Dulu mungkin iya, tapi itupun banyak sekali terkait sama oknum yang bekerja. Biasanya UUD, ujung-ujungnya duit. Nah, kalau orang yang bekerja tidak semata-mata UUD, rasanya birokrasi itu nggak ada yang ruwet.

Kalau di Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ini barangkali mencari keamanan, sehingga otomatis itu membuat birokrasi yang berbeda. Kalau di instansi pemerintah, sebetulnya nggak ada, karena tidak ada keuntungan apa-apa di sana. Kecuali keuntungan pribadi atau kelompok. Jadi, saya pikir kalau ada birokrasi yang ruwet, ujungnya pasti kepentingan perorangan atau kelompok.

Kalau yang dibilang ngurus ini-itu susah, sebetulnya nggak. Apalagi sekarang kita tahu prosedur yang harus dilalui. Nggak sulit, kok, mereka juga udah nggak seberani dulu untuk meminta uang.

Menurut Anda, di era Jokowi yang dikenal dengan produktivitas pembangunannya, seberapa produktifkah lingkungan kerja Anda?

Jadi gini, pada masa Jokowi itu yang dibangun adalah: kinerja menjadi tolak ukur tunjangan. Yang malas dan yang rajin itu memang akan mendapatkan [upah] take home yang berbeda. Orang-orang dipacu untuk bekerja sesuai dengan job description-nya, sesuai dengan targetnya. Sehingga, apa yang direncanakan atau di diharapkan oleh pemerintah itu bisa dicapai.

Di lihat secara program, di zaman Jokowi sebetulnya saya nggak melihat ada yang istimewa. Seperti misalnya, sejak tahun 2006 kita sudah punya program jalan tol 1000 km. Jadi yang namanya Trans Jawa saat itu sudah dirintis. Sebetulnya sejak tahun 2000 sudah diinisiasi.

Kalau kemudian perkembangan pembangunan yang menggebu-gebu saya nggak tahu, mungkin kurang juga mendalami. Tapi yang saya lihat antara pekerjaan yang diserahkan kepada penyedia jasa swasta atau BUMN ini agak nggak seimbang. Yang banyak dibebani pekerjaan itu BUMN di masa-masa terakhir kemarin ini, sampai saya pensiun. Bahkan sampai BUMN itu banyak kekurangan sumber daya manusia. Saya melihat itu yang paling menonjol. Pada saat pembangunan jalan tol di beberapa paket itu ada terjadi kecelakaan konstruksi. Ini saya pikir si penyedia jasa atau BUMN nggak siap sama SDM-nya sehingga terlalu banyak beban. Pekerjaan-pekerjaannya memang dikebut, cuma kelihatannya SDM kita, pada saat yang bersamaan, belum siap.

Kalau prestasi, saya pikir makin kesini ASN ini jauh lebih bagus, jauh lebih objektif dalam hal penilaian atau penggajian.

Omong-omong soal percepatan pembangunan, ada yang berpendapat bahwa masalah-masalah percepatan birokrasi itu berpotensi melangkahi beberapa prosedur seperti AMDAL. Apa menurut Anda birokrasi yang rumit adalah keniscayaan dalam pembangunan?

Nggak juga sebetulnya. Semua sudah ada time frame-nya. Jadi kalau kita mau bikin proyek itu kan ada studi awal, ada preliminary study. Ada tahapannya, ada alokasi waktunya.

Kalau percepatan ini membuat ada hal-hal yang dilalui atau tidak dikerjakan. seperti AMDAL tadi misalnya. Ini menurut saya kebijakan yang harus dibetulkan, karena meski AMDAL ini kelihatannya sepele tapi dampaknya bisa sangat besar. Contoh kasusnya pengurukan di pantai utara Jakarta, itu kan jelas-jelas tidak melibatkan stakeholder yang memang sangat terkait, terutama nelayan di sana.

Tapi saya pikir kalau masalah kayak begitu di zaman sekarang terlalu ceroboh. Karena hambatan kita sebetulnya bukan di masalah kajian-kajiannya, tapi lebih kepada masyarakat setempat yang tidak terinformasikan dengan baik. Ini juga bagian dari tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh suatu pembangunan.

Padahal investor itu hanya menaruh uang, asetnya tetap punya pemerintah. Ini yang banyak nggak sampai ke masyarakat. Sehingga, masyarakat itu mempermasalahkan biaya ganti rugi yang tidak memadai. Banyak sekali proyek-proyek, terutama di Bina Marga, yang terhambat di masalah pembebasan lahan. Padahal, orang Indonesia ini kalau diajak bicara baik-baik bisa mengerti, tapi informasi nggak sampai ke mereka.

Waktu bekerja sebagai ASN dulu, apa Anda sudah memikirkan tentang jaminan hari tua?

Kalau hanya uang pensiun yang menjadi jaminan hari tua, artinya nggak ada jaminan hari tua. Jadi, kita yang mesti bersiap-siap sendiri setelah memasuki masa purnabakti. Kalau kita nggak siap, selain biaya hidup yang nggak mungkin tertutupi. Kebetulan saya sadar betul dari awal bahwa uang pensiun nggak cukup untuk hidup. Beda dengan BUMN dan swasta lainnya.

Pak Jokowi ini bukan orang birokrasi. Jadi, selama hampir dua periode ini dia belum pernah menaikkan gaji pokok ASN, belum lihat ada perhatian khusus untuk itu. Saya juga heran kenapa itu tidak menjadi perhatian. Karena sebetulnya lumayan juga jasa rekan-rekan ASN itu Tapi saya, harus dipikirkan memang. Kalau ini nggak dipikirkan, akan berlanjut terus. Lama-lama pegawai negeri habis, mungkin nggak ada yang mau jadi pegawai negeri lagi karena memang nggak punya masa depan setelah pensiun.

Selain itu, biasanya orangnya nggak siap secara mental. Ada yang punya jabatan tinggi itu jadi post-power syndrome. Biasa dihormati kemudian dia nggak dihormati lagi, biasa punya kesibukan tiba-tiba nggak ada kegiatan.

Berdasarkan pengamatan selama bekerja lebih dari 30 tahun, kira-kira, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperkuat daya guna ASN?

Saya pikir dengan metode yang sekarang ini sudah sangat bagus: penggajian yang berbasis pada kinerja. Jadi, orang yang mau males silakan aja, tapi nanti pasti upah take home-nya akan berbeda.

Di sisi lain, barangkali career planning atau cara-cara membuat satu kepastian karir seseorang itu tidak dibakukan, ini agak sulit membuat orang bersemangat untuk kerja. Harus ada kejelasan apa saja syaratnya dan yang harus dijalankan. Kalau mendongkrak secara moril, saya rasa semua Kementrian sudah sering melakukannya.

Saya sering menemui beberapa orang yang akhirnya malas karena tidak percaya lagi sama sistem. Jadi, jangan dipikir bahwa orang-orang yang kelihatannya malas itu emang dasarnya pemalas, nggak juga. Banyak juga saya ketemu orang-orang yang putus asa karena merasa dia outsider—tidak terlibat di dalam.

Berarti, salah satunya adalah sistem persyaratan jenjang karier yang jelas?

Iya. Itu harus dibuat terbuka. Kalau nggak transparan, orang nggak akan percaya sama sistem. Saya pikir di swasta pun ada juga nepotisme dan perkoncoan. Tapi kalau sistemnya transparan, ada acuan-acuan yang bisa sampaikan, dan hasil-hasil penilaiannya transparan, orang-orang pasti semangat untuk mengejar karir prestasi.

Anda kan baru saja 3 bulan pensiun dari pekerjaan, apa sih rencananya yang mau Anda lakukan dalam masa pensiun ini?

Pertama, cari tambahan uang pensiun. Kedua, harus punya kegiatan. Kalau saya nggak pernah menggantungkan nasib saya ke orang lain. Kalau buat saya, mencari kegiatan dan mencari tambahan pemasukan itu penting untuk saya tancapkan di kepala. Karena kalau nggak punya kegiatan, nanti bisa penyakitan. Hahaha. Syukur-syukur kalau menghasilkan tambahan pemasukan.

Jadi, apa tip menghadapi masa pensiun dari Anda?

Mestinya kalau orang mau pensiun, apalagi dia ASN yang uang pensiunnya kecil, harus punya kesiapan sebelum dia pensiun, idealnya seperti itu. Kalau membangun satu usaha, jangan udah pensiun baru bangun usaha. Tapi, kan, nggak mudah. Kita masih punya kewajiban di pekerjaan, nggak bisa berkonsentrasi untuk membuka satu usaha di luar pekerjaan. Apalagi memang ASN itu nggak boleh bekerja rangkap. Jadi, mimpi-mimpi itu memang harus kita sendiri yang ciptakan. Dan cara mengakalinya, kembali ke masing-masing.

Apakah ada niat mewujudkan impian-impian yang belum sempat terwujud selama bertugas sebagai ASN?

Kalau mau dibilang mimpi, yang paling penting itu anak-anak. Kalau pekerjaan, nggak lah. Pekerjaan itu nggak akan ada habisnya. Mimpi saya, sih, semua anak-anak saya jadi bener aja kalau bisa.

Saya pengin mengutamakan keluarga, karena setelah sekian lama bekerja untuk negara, kita banyak merugikan keluarga. Jadi, kalau bisa nggak usah lah terus-terusan mengejar dunia, sementara yang di sebelah kita nggak diperhatikan. Kadang ada waktunya harus berhenti untuk memperhatikan orang lain untuk memperhatikan lingkungan kita. Kasihan kalau kita terus menghabiskan waktu di luar kemudian keluarga kita nggak pernah kita perhatikan.

Gampangnya ginilah: 38 tahun kita kerja itu kan diperintah orang terus, mau kita staf menteri pun tetap diperintah orang. Masa masih mau diperintah orang terus? Kalau mau kerja, ya sendiri aja bikin warung. Janganlah sampai mati nanti masih diperintah orang.

Share: 38 Tahun Kerja Diperintah Orang