Isu Terkini

Memahami Secara Utuh Konflik Bersenjata di Nduga, Papua

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, terletak di hamparan Lembah Baliem, dikelilingi Pegunungan Jayawijaya. Berdasarkan data BPS tahun 2011, luasnya  mencapai 12.941 kilometer persegi atau sekitar 19 kali DKI Jakarta. Meski telah diresmikan sebagai kabupaten pada Januari 2008 bersama lima kabupaten lain di Papua, Nduga minim akses dan relatif terisolir. Kini ia menjadi lokasi konflik bersenjata.

Dari segi infrastruktur, Nduga tertinggal. Bahkan bangunan-bangunan pemerintahannya masih banyak yang tak layak ditempati.

Nduga memang tidak bisa disamakan dengan kota-kota pada umumnya, terlebih di di Pulau Jawa. Presiden Joko Widodo bahkan pernah menyebut Nduga sebagai “wilayah merah” di pegunungan tengah Papua. Di sana, sering terjadi baku tembak antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Berita tentangnya, yang sesekali sampai kepada kita, senantiasa bikin tengkuk bergidik. Mulai dari penembakan terhadap puluhan karyawan Trans Papua pada Desember 2018 hingga anggota TNI Prada Usman Hambelo, Sabtu (20/07/19). Dalam delapan bulan belakangan, situasi panas di Nduga tak kunjung reda.

Baca Juga: Konflik Nduga Papua Tak Reda, Pengungsi Makin Menderita

“Yang pasti Nduga itu masih daerah konflik. Di Nduga itu sendiri sampai saat ini masih sering terjadi serangkaian penembakan bersenjata, baik yang dilakukan oleh Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) dan yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri,” kata Hipolitus Wangge, peneliti Marthinus Academy Jakarta saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (23/07/19).

Meski konflik bersenjata terus terjadi, Jokowi menegaskan akan terus melanjutkan pembangunan jalan Trans Papua, termasuk di wilayah Nduga. TNI dilibatkan dengan dasar Pasal 3 ayat (1) Perpres Nomor 40/2013 mengenai “Pembangunan Jalan dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.”

TNI sempat mengerahkan 394 personel Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) pada 2017 lalu untuk proyek Trans Papua. Namun, pembangunan Trans Papua jelas tak mulus. TPNPB menolak proyek tersebut, sehingga mereka melakukan penyerangan pada Desember 2018.

Jokowi membalas dengan pengerahan pasukan TNI dan Polri untuk menyisir wilayah tersebut. Setidaknya ada sekitar 169 personel gabungan TNI/Polri, ditambah 1 kompi (100 personel) dari Yonif 751/Sentani, diterjunkan ke Nduga.

Tentang Label Kelompok Kriminal atau Separatis Bersenjata

Hipo mengatakan, berdasarkan laporan yang sedang dibuat timnya, beberapa kali insiden penembakan di Nduga memang dilakukan TPNPB, khususnya pada awal Desember 2018. Namun, ada dugaan bahwa sebagian aksi penembakan lain dilakukan oleh aparat. 4 Juli 2019, empat orang warga sipil jadi korban.

“Praktis di sana itu masih merupakan daerah pertempuran. Militer dan polisi masih berada di kabupaten Nduga. Namun, karena memang belum ada wartawan, akses masih terbatas, data yang kami kumpulkan itu memang kurang lebih ada ratusan aparat yang masih berada di lokasi di Nduga.”

Hipo menjelaskan bahwa penyebutan para pengganggu proyek Trans Papua sebagai “kelompok kriminal bersenjata” itu kurang tepat, apalagi TPNPB merupakan tentara pembebasan yang sudah terbentuk sejak 1970-an. “Organisasi Papua Merdeka itu sudah cukup lama ada. TPNPB merupakan sayap militer OPM,” kata Hipo yang juga merupakan anggota Tim Solidaritas untuk Nduga yang mengeluarkan Laporan Perkembangan Konflik Nduga dan Dampak Konflik Juli 2019.

Menurut Hipo, kelemahan pemberitaan soal konflik di Nduga–selain karena memang akses jurnalis telah diputus–media-media di luar Papua cenderung menerima informasi hanya dari satu pihak, yakni TNI/Polri. Akibatnya, susah memverifikasi fakta dan data tentang konflik.

“Konflik di Nduga kalau hanya dilihat sebatas konflik penembakan karyawan Trans Papua sebanyak puluhan orang itu tidak pas, karena seolah-olah menyederhanakan konflik di Papua. Konflik di Papua, mau tidak mau, juga berkaitan dengan konflik politik, konflik ekonomi, lalu kemudian pertentangan kultural,” ujarnya.

Dia melanjutkan, “Keberadaan TPNPB ini kan kondisinya politis dan terkait dengan gerakan Papua Merdeka. Apalagi sampai saat ini, narasi yang digunakan itu-itu saja: kelompok kriminal bersenjata. TPNPB selalu menyatakan bahwa ini adalah perang revolusioner, jauh sebelum adanya peristiwa penembakan Desember 2018 dan lain-lain. Meski memang itu tindakan melanggar hukum tapi ada motivasi ideologi di situ, dan ini bukan hanya terjadi di Nduga.”

Baca Juga: Kronologi 31 Pekerja Trans Papua Ditembak Mati KKB

Hipo menyebut kalau bicara konflik di Papua, sudah terlalu banyak memang organisasi yang melakukan aksi kekerasan yang sama. Namun, dalam konteks ini, ia melihat media dan sejumlah orang mengatakan bahwa ini hanya kasus kriminal. Hal itu berbeda dengan apa yang disampaikan oleh pihak aparat seperti TNI yang sepakat melabeli sebagai kelompok kriminal separatis bersenjata, sedangkan polisi melabeli kelompok kriminal bersenjata.

“Nah dari dua ini saja kita sudah bisa lihat bahwa ada “pelabelan” yang kurang tepat. Yang terkesan pada persaingan. Kalau kelompok kriminal bersenjata versi polisi, ini harusnya ditangani oleh polisi karena ini tindak melanggar hukum dalam wilayah NKRI. Artinya ini operasi kriminal murni.”

Lebih lanjut, menurut Hipo, kalau melibatkan tentara, itu pelabelannya berarti kelompok kriminal separatis bersenjata, artinya adalah operasi militer nonperang. Kalau operasi militer nonperang, artinya harus ada akuntabilitas ketika ada pengerahan pasukan.

“Apakah benar di sana itu melakukan pengejaran atau cuma mengerjakan jalan? Awalnya kan mereka mengatakan counter-insurgency operation, artinya kontra pemberontakan. Terminologi kontra pemberontakan separatis ini kan motifnya politik, bukan murni kriminal biasa seperti menangkap maling, menangkap copet. Konteksnya itu harus dipahami. Ini operasi gabungan yang juga bisa mengarah kepada operasi militer.”

Pembangunan Trans Papua yang Kontraproduktif

Hipo mengungkapkan bahwa pembangunan proyek jalan Trans Papua yang sedang dikerjakan Pemerintah Pusat kontradiktif dengan nilai-nilai lokal oleh masyarakat Nduga, Papua. Artinya di satu sisi pembangunan itu memang positif, tapi di sisi lain pembangunan itu berdampak kurang baik bagi masyarakat di pendalaman, terutama di Pegunungan Tengah.

Pembangunan Trans Papua sudah berjalan sejak pemerintahan Presiden B.J Habibie. Lalu, pembangunan dilanjutkan para masa pemerintahan presiden-presiden berikutnya, termasuk Jokowi. Jalan Trans Papua sepanjang 4.330 km rencananya selesai pada 2019.

Pada era pemerintahan Jokowi, panjang Jalan Trans Papua yang harus dibuka atau ditembus adalah sepanjang 1.066 km. Perlu diketahui, hingga akhir 2017, Jokowi sudah membuka jalan tersebut sepanjang 910 km, atau 85 persen.

“Pembangunan Trans Papua itu kan memang kewajiban negara. Kadang juga kurang dipahami baik itu oleh masyarakat Indonesia di bagian barat atau pihak media. Bedakan antara kewajiban negara, melaksanakan fungsinya sebagai pemerintah, dan pemenuhan hak-hak warga negara, artinya mereka butuh kesehatan, mereka butuh layanan pendidikan, dan lain sebagainya,” kata Hipo.

Menurut Hipo, ketika bicara pembangunan Trans Papua dari versi kemanusiaan artinya karena hak asasi manusia, namun pembangunan itu justru berdampak adanya peristiwa penembakan, itu artinya hak-hak warga negara itu bertabrakan dengan hak-hak manusia. “Kalau hak warga negara itu kan harus dipenuhi, nah kalau hak-hak manusia itu adalah hak mendasar dan harus dilindungi. Nah konteksnya seperti itu, saya lihat banyak yang susah memahami itu.”

Termasuk juga pemerintah yang juga susah memahami itu. Sebab, Hipo melihat pemerintah masih memaknai pembangunan jalan itu sebagai pembangunan hak asasi manusia. “Padahal hak asasi manusia itu adalah hak yang melekat, dia membantu untuk melindungi itu tapi dia tidak dilindungi. Artinya itu adalah hak yang sudah melekat, kalau dibunuh, kalau ditembak, itu berarti hak asasi manusianya dicabut.”

Selain itu, Hipo menyebut masyarakat Nduga juga tidak dilibatkan dalam pembangunan jalan Trans Papua. Bahkan, masyarakat lokal baru mengetahui proyek pembangunan tersebut setelah sudah berjalan beberapa lama. Sehingga, proyek tersebut tak menggunakan pendekatan yang menghargai nilai-nilai lokal di Nduga.
Menurut Hipo, misalnya soal hak kepemilikan tanah, dalam beberapa kondisi tidak memasukkan hak wilayah ini. Untuk wilayah Papua, mereka tidak menggunakan sistem hukum positif, masih menggunakan kolektif komunal hak tanahnya.

Hipo mengatakan bahwa masyarakat Nduga masih menganggap sakral Taman Lorentz serta menjaga flora dan fauna yang berada di taman tersebut. “Ketika Trans Papua dibangun, itu sedikit banyak merusak flora dan fauna, yang dijaga oleh masyarakat Nduga. Jadi logika pembangunan bertabrakan dengan logika konservasi, maupun perlindungan masyarakat di sekitar Taman Lorentz..”

Share: Memahami Secara Utuh Konflik Bersenjata di Nduga, Papua