Matahari sudah diatas ubun-ubun kepala ketika Asumsi.co menyambangi Jalan Kaba Timur, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Semarang, Kamis, 21 Februari 2019. Berada puluhan kilometer dari jantung kota, suasana kampung terlihat cukup lengang. Dengan naik motor menyusuri jalanan kampung yang berkelak-kelok, 10 menit kemudian tibalah di rumah tujuan. Sebuah banner bertuliskan rumah singgah Aira terpampang jelas di pagar.
Bercat oranye, rumah bernomor 5 di RT 09/RW XIII itu kelihatan sepi. Hanya ada seorang nenek yang bergegas membuka pintu. “Mari masuk, Mas. Cari siapa ya,” kata sang nenek.
“Tadi sudah janjian. Mau main kesini sekalian wawancara,” kata Asumsi.co sembari masuk ke rumah.
Yang dicari bernama Bu Lena. Bu Lena yang dimaksud ialah Maria Magdalena Endang Sri Lestari. Dialah pemilik Rumah Aira sebagai tempat perawatan sekaligus penitipan bagi anak-anak yang menderita HIV.
“Tunggu dulu saja, Mas. Mungkin Bu Lena lagi otewe,” kata nenek tersebut.
Terdapat bayi laki-laki yang tengkurap di sebelahnya. Bayi itu sebut saja Ndo. Usianya tepat setahun pada hari Jumat.
Ndo sejak jabang bayi dirawat di Rumah Aira. Sama seperti penghuni lainnya. Virus HIV juga bersarang di tubuh Ndo. “HIV jika sudah di dalam tubuh tidak bisa keluar. Biasanya hanya dapat ditekan menggunakan obat-obatan agar ODHA tetap sehat,” kata Lena menjelaskan secara gamblang setibanya di Rumah Aira.
Rumah Aira ia bangun 2015 silam. Dulu ada lima orang yang awalnya dirawat di situ. Jumlahnya terus membengkak seiring meningkatnya kasus HIV di Ibukota Jateng.
Baca Juga: Siswa Dikeluarkan dari Sekolah dan Salah Kaprah Penularan HIV yang Perlu Diluruskan
Kebanyakan anak-anak yang terinfeksi HIV karena tertular dari virus yang menjangkiti orangtua mereka. Ada ibunya yang terlibat seks bebas. Namun ada pula yang jadi pemandu karaoke, pecandu narkoba, pekerja seks hingga dijebak suaminya yang duluan mengidap virus mematikan itu.
Kini Rumah Aira disesaki lima anak plus ibunya masing-masing. Usianya bervariasi. Dari umur 14 hari sampai 5 tahun.
Tapi kondisi Rumah Aira kini over load. Lantaran ruangannya sempit. Kelebihan kapasitas bahkan memaksanya harus menolak beberapa anak penderita HIV yang butuh bantuannya. Enam anak dari Ungaran, Kendal dan Pati harus gigit jari karena niatnya untuk tinggal di Rumah Aira belum bisa terwujud.
“Ada anak dari Ungaran, Kendal, Pati terpaksa ditolak. Di sini penghuninya sudah penuh. Sebab saya tidak berniat membatasi waktu anak-anak mau tinggal selama mungkin terserah, yang penting dia harus selalu sehat dan rajin kontrol ke rumah sakit,” akunya.
Ia yang bekerja sebagai staf instalasi gizi RS Elisabeth ini mengaku tergerak merawat anak-anak penderita HIV lantaran terenyuh melihat tragis. Rata-rata mereka terbuang dari lingkungannya.
Ada anak yang dijauhi oleh keluarganya. Ada pula anak yang kesakitan karena sejak lahir telah terkena HIV.
“Saya paham bahwa anak dengan HIV tidak seharusnya dikucilkan dan disendirikan. HIV tidak menular. Saya berusaha obati mereka gratis pakai BPJS. Selain senang sama anak-anak, saya juga prihatin melihat banyak panti asuhan tertarik merawat anak sehat pada umumnya. Tetapi hanya sedikit yang ikhlas merawat ODHA. Makanya saya rintis sejak 2013 merawat anak penderita HIV. Asalkan tidak bermasalah dengan lingkungannya,” kata perempuan 44 tahun ini.
Perjuangannya merawat anak-anak penderita HIV berliku-liku. Ada kalanya Lena pontang-panting mencari uang untuk menghidupi mereka secara mandiri. Semula ia dapat uang tambahan dari nyambi jadi instruktur senam zumba. Dirasa hasilnya kurang maksimal, ia pun setahun terakhir memutuskan ngamen dari gereja ke gereja.
Ia mengamen saban Minggu. Ia mengajak 19 rekannya membentuk grup paduan suara simpony kasih Kristus Raja Ungaran. Ketika ibadah misa tiba, ia rutin bernyanyi kidung-kidung rohani di depan para jemaat gereja.
Sudah tak terhitung gereja yang disinggahinya. Mulai Gereja Mater Dei Lampersari, Gereja Paroki Sambiroto, Gereja Paroki Sub Tutela Matris Katedral, Gereja Paroki Tanah Mas dan Gereja Paroki Semarang Indah.
Para jemaat tak pernah mencibir. Uang hasil ngamen ia pakai untuk membeli semua asupan vitamin dan ditabung untuk membeli sebuah rumah yang kelak akan digunakan sebagai tempat permanen perawatan anak-anak penderita HIV.
“Puji Tuhan apa yang saya lakukan selama ini diberkati pula oleh bapak Uskup Agung (Mgr Robertus Rubiyatmoko). Jemaat gereja malah senantiasa sukarela nyumbang buat kami. Setiap keliling gereja, kami dapat Rp 15 juta. Sekatang yang terkumpul hampir seratus juta. Saya berharap bisa mencukupi untuk beli rumah sendiri tahun ini, jadi bisa dipakai untuk rumah singgah permanen”.
Ia selama ini juga berusaha agar anak ODHA yang ia rawat tidak lagi terdiskriminasi oleh lingkungannya. Caranya, ia sambangi satu per satu rumah-rumah warga Kampung Saba. Ia ketuk hati warga melalui pendekatan emosional supaya tidak lagi memandang status anak penderita HIV.
Jerih payahnya membuahkan hasil. Berkat welas asih seorang kepala sekolah, kini seorang anak penderita HIV bisa bersekolah gratis di TK Pelita Mandiri. RF, inisial bocah laki-laki itu kini bisa berbaur dengan teman sebayanya di taman kanak-kanak tersebut.
Raut wajah ceria tampak ketika RF pulang sekolah. Tak terlihat sedikitpun bahwa ia menderita HIV.
Pun demikian dengan fasilitas kesehatan. Lena bersyukur saat ada sebuah Puskesmas tak jauh dari Rumah Aira membuka pintu lebar-lebar bagi anak ODHA yang ingin berobat. Jaraknya cukup dekat. “Hanya jalan diatas bukit belakang Rumah Aira,” kata Lena.
Ia berkata pendidikan wajib diterima anak-anak meski terkena HIV. Makanya ia menyayangkan perilaku orangtua murid di salah satu sekolah Kota Solo yang menolak siswa penderita HIV.
“Mungkin pendamping siswanya yang kurang pendekatan dengan pengelola sekolahnya. Mestinya semua anak berhak mengenyam pendidikan. Tanpa membedakan apapun itu statusnya. Termasuk yang menderita HIV juga punya hak bersekolah. Apa yang terjadi di Solo itu jangan sampai terulang lagi, beri orangtua murid pemahaman tentang kesetaraan hak setiap anak. Berikan pemahaman secara rasional dan dari hati ke hati,” cetusnya.
Kendati demikian, upayanya selama ini kerap dicibir orang. Pernah suatu hari Lena dituding mengkristenisasi terhadap anak penderita HIV yang tinggal di Rumah Aira. Tudingan itu muncul tatkala ia ingin membangun Rumah Aira di Meteseh Tembalang.
“Awalnya sempat ditolak warga karena dianggap akan melakukan kristenisasi. Ada yang ngira Maria Magdalena mau mengkristenkan anak-anak. Bagi saya, biarlah orang-orang anggap saya apapun itu, saya enggak marah. Saya rasa mereka tidak paham HIV dan sosok pribadi saya,” urainya.
“Toh, semua tuduhan itu enggak terbukti. Ketika ada penolakan dari Meteseh, saya pindah kemari. Meski saya seorang Katolik, tapi semua anak-anak tetap beragama Islam. Biar warga percaya, kalau ada yang ngaji akan diunggah ke youtube. Acara kumpul-kumpul dengan warga tetap saya ikuti. Di sini respon warga sangat baik, saya masih bisa ikut misa,” sambungnya.
Ia mengganggap penolakan itu merupakan masa lalunya. Ia berusaha tidak menjelekkan-jelekan keyakinan orang lain. Apalagi semua ajaran mengajarkan kebajikan tinggal sikap individu masing-masing saja.
Ia berpendapat Yesus selalu mengajarkan kepada umatnya untuk berbuat kebaikan. Ia memegang teguh tiga firman Tuhan selama merawat anak penderita HIV. Moto hidupnya mencari dan menyelamatkan.
“Sesuai ajaran Yesus, datanglah kepada umatmu yang lemah, lesu yang beban berat, aku akan buat kelegaan dan siapa yang menabur, dia akan menuai. Ada tiga firman tuhan yang selalu saya pegang kuat agar mampu merawat anak ODHA dengan kuat dan mereka bisa pulih kembali,” bebernya.
Ia yakin dengan berlandaskan keihklasan, Tuhan Yesus akan memberi kemudahan jalan baginya untuk menolong kaum papa.
“Saya 24 jam terbuka membantu siapapun yang terinfeksi HIV/AIDS. Saya kasih kebebasan dan kepercayaan, kalau menyalahi kepercayaan saya, maka dia akan pergi dengan sendirinya. Seperti yang dialami wanita usia 19 tahun penderita HIV, diam-diam dia kabur dari sini karena merasa membohongi saya sambil mencuri uang dua juta. Akhirnya dia balik lagi jadi PSK,” tuturnya.
Ibu dua anak ini berterima kasih kepada pemerintah Indonesia yang telah memberikan obat-obatan gratis kepada penderita HIV/AIDS. ARV, nama obat untuk HIV/AIDS tersebut didapat dengan gratis saban membawa anak-anak kontrol ke rumah sakit.
Juga untuk obat imunus sebagai suplemen vitamin anak penderita HIV dan asupan makanan sehat, susu dan migostatin obat untuk pencegahan virus tersebut.
“Harapannya supaya tidak ada lagi stigma dan diskriminasi kepada anak ODHA, sehingga mereka bisa menikmati masa kecil dan remaja seutuhnya layaknya orang normal,” ujar Lena.
Atas capaiannya selama ini, Lena lega ketika Kementerian Kesehatan menganugerahkan penghargaan baginya sebagai relawan bagi penderita HIV/AIDS saat hari kesehatan nasional ke-54 pada akhir 2018. Ada enam orang selain dirinya yang meraih prestasi serupa.
“Kita tanamkan bibit kebaikan pasti kebaikan pula yang kembali ke kitanya. Rasanya campur aduk pas Kemenkes ngasih penghargaan itu,” ungkap warga Nongkosawit Gunungpati tersebut.