General

Agama, Bukan Barang Baru di Politik Negara Sekuler

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Semenjak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dipenjara karena isu penistaan, lanskap perpolitikan Indonesia semakin kental dengan narasi agama. Agama digunakan sebagai salah satu ruang dan alat untuk berkampanye. Sebagai ruang, acara-acara dakwah yang seharusnya menjadi tempat untuk manusia diingatkan kembali agar tidak lupa dengan Tuhannya, justru menjadi wadah tempat berkampanye. Sedangkan sebagai alat, agama menjadi sebuah narasi utama yang mendorong masyarakat – secara sadar atau tidak – untuk menentukan pilihan politiknya. Apa ini hal yang wajar?

Agama Berperan Besar di Perpolitikan Indonesia

Sebenarnya, narasi agama dalam politik di Indonesia sudah ada sejak negara ini bahkan belum merdeka. Kembali pada tahun 1945, tepatnya mendekati 17 Agustus 1945, Alexander Andries Maramis meminta Piagam Jakarta untuk diganti beberapa poinnya. Ketika itu, Piagam Jakarta sempat direncanakan untuk menjadi dasar negara Indonesia.

Poin pertama Piagam Jakarta saat itu berbunyi, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Poin ini dinilai terlalu kental akan nilai-nilai keislaman dan tidak mewakili keberagaman agama di Indonesia. Hatta pun mengganti poin tersebut dengan sila pertama yang terus digunakan hingga kini, yakni “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Dari kasus di atas, sebenarnya terlihat bahwa Indonesia dibangun dengan pondasi keagamaan yang begitu kuat. Jika dipahami lebih dalam, memang konteksnya berbeda antara Piagam Jakarta dan gerakan Islam yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Untuk kasus Piagam Jakarta, penekanan ada pada pentingnya keberagaman beragama di Indonesia. Sedangkan di sisi lain, gerakan keagamaan seperti 212 justru lebih menekankan pentingnya kohesifitas dalam satu agama untuk memilih satu calon politik tertentu. Meski begitu, satu hal yang dapat ditarik garis besarnya adalah menanggalkan narasi agama dalam politik justru tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Yang perlu dilakukan adalah memahami seperti apa narasi agama yang dibawa dalam tiap-tiap isu politik, dan mengkritik jika memang isu tersebut tidak sesuai dengan nafas Pancasila.

Dari Barat Hingga Timur, Agama Menjadi Isu Sentral Kebijakan Politik

Di berbagai negara, agama juga menjadi isu sentral yang terus digunakan dalam kampanye politik. Di Amerika Serikat tahun 1940-an, nilai-nilai keagamaan Judeo-Christian (Yahudi-Kristen) menjadi satu poin yang kencang dikampanyekan. Tujuan utamanya adalah untuk mengintegrasikan kaum Yahudi dengan orang-orang Katolik dan Kristen di Amerika Serikat. Hal ini awalnya dipicu oleh kaum Yahudi yang terpaksa pindah ke Amerika Serikat karena adanya diskriminasi di Eropa. Integrasi berjalan dengan mulus dan pemahaman bersama tentang satu sama lain terus meningkat.

Hingga kini, nilai-nilai Judeo-Christian tersebut terus menjadi isu yang dibawa oleh politisi Amerika Serikat, terutama dari Partai Republik. Nilai-nilai yang berangkat dari agama ditranslasikan menjadi banyak kebijakan politik. Salah satunya adalah kebijakan politik penolakan terhadap aborsi. Tidak hanya berlandaskan agama, kebijakan-kebijakan berbasis agama ini juga seringkali diperkuat oleh temuan ilmu sains.

Bergeser ke Asia Selatan, India dan Pakistan adalah contoh lain negara yang kental dengan pengaruh agama dalam politiknya. Agama menjadi faktor utama yang memisahkan kedua negara ini sejak merdeka. Pakistan, sebagai negara yang kental dengan keislamannya, memilih untuk merdeka sebagai satu negara sendiri. Pakistan memisahkan diri dari India karena merasa tidak cocok untuk menjadi bagian dari negara yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hingga kini, India dan Pakistan masih terus menerapkan nilai keagamaan masing-masing dalam undang-undang negaranya.

Share: Agama, Bukan Barang Baru di Politik Negara Sekuler