Kasus suap Meikarta terus berlanjut. Sidang deretan terdakwa pun masih berlangsung. Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro pun baru saja menjalani sidang eksepsinya. Dalam kesempatan itu Billy Sindoro membantah terlibat dalam pusaran suap terkait perizinan proyek Meikarta. Billy, yang duduk sebagai terdakwa, mengaku tidak memiliki kewenangan apa pun berkaitan dengan proyek yang disebut digagas Lippo Group tersebut.
“Terdakwa tidak mempunyai kapasitas atau kewenangan untuk memberikan perintah atau melakukan pengurusan proses perizinan atau mencairkan, menyediakan dana atau uang,” ujar salah seorang pengacara Billy, Ervin Lubis, saat membacakan eksepsi atau nota keberatan terhadap dakwaan jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu, 26 Desember 2018.
Billy sendiri didakwa memberikan suap yang totalnya Rp 16.182.020.000 dan SGD 270.000 pada Bupati Neneng dan jajarannya. Jaksa menyebut perbuatan Billy itu dilakukan bersama-sama dengan Henry dan Fitradjaja serta Taryudi, Bartholomeus Toto, Edi Dwi Soesianto, Satriadi, dan Lippo Cikarang melalui PT Mahkota Sentosa Utama. Uang itu diberikan agar Neneng meneken izin berkaitan dengan proyek Meikarta.
Namun Ervin menyebut kalau Billy sudah pensiun sejak 2015 dari jabatannya di Siloam Hospitals. Dia pun menyebut Billy bukan merupakan pejabat eksekutif atau struktural dari proyek Meikarta tersebut. Akan tetapi Billy disebut mengakui kenal dengan dua terdakwa lainnya yaitu atas nama Fitradjaja Purnama dan Henry Jasmen P Sitohang. Keduanya disebut membantu mengurus izin proyek Meikarta.
“Terdakwa sering meladeni Fitradjadja yang memberikan informasi-informasi atau meminta pandangan atau kadang bantuan. Tidak semua direspons atau dipenuhi oleh terdakwa. Tetapi jika meladeni, terdakwa menganggap Fitradjadja sebagai teman,” imbuh Ervin.
Billy juga membantah kenal dengan Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin. Dia juga mengaku tidak kenal dengan jajaran aparat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi yang berkaitan dengan suap perizinan Meikarta.
Namun, Jaksa KPK menyebut nota keberatan atau eksepsi terdakwa itu sudah seharusnya ditolak majelis hakim dalam putusan sela. Jaksa mengatakan sebaiknya persidangan dilanjutkan ke proses pembuktian. Sebab pihak KPK sudah menyiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi untuk membuktikan peran para terdakwa, termasuk Billy.
“Materi eksepsi yang disampaikan tim penasihat hukum itu sudah keluar dari koridor daripada eksepsi sebagaimana dimaksud Pasal 156 KUHAP,” kata jaksa KPK Yadyn usai persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu, 26 Desember 2018.
“Keseluruhan yang dibahas (dalam eksepsi) adalah pokok perkara yang nanti kami, tim jaksa penuntut umum, memiliki strategi pembuktian yang akan kami tampilkan dalam persidangan selanjutnya,” ucap Yadyn.
Pendeta dan Pendiri Gereja
Billy Sindoro memutuskan menjadi seorang Protestan pada usia 17 tahun. Keputusan itu membuat dirinya diusir dari rumahnya di Jalan Pemuda 126-128, Semarang bersama lima saudaranya yang memilih jalan serupa. Enam bulan pertama, kelima kakak beradik itu tinggal di Gereja Kristen Muria Indonesia. Kemudian barulah Sindoro bersaudara menempati sebuah rumah bekas gudang semen di Jalan Kapuran 45, Semarang.
“Di rumah inilah Tuhan bekerja dengan dahsyat, setiap hari dipenuhi anak-anak muda yang haus akan Tuhan. Ini adalah pekerjaan Roh Kudus,” ujar Ryanto Sindoro, kakak Billy, yang memutuskan menjadi pendeta.
Dua tahun setelah pengusirannya dari rumah, Billy memprakarsai kebaktian “Malam Oikumene 1979”, dengan mengumpulkan para pelajar SMA di Semarang. Oikumene dikenal sebagai upaya untuk mempersatukan aliran-aliran dalam agama Nasrani serta menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Acara itu mendapat sambutan luas. Sekitar 400 remaja memadati Gedung Wisma Pandanaran pada 1-3 Maret 1979. Kegiatan itu melahirkan sebuah perkumpulan yang bernama Persatuan Siswa-Siswi Oikumene atau Persisko.
Billy lulus dari SMA Karang Turi Semarang dan melanjutkan kuliah ke Amerika Serikat dengan konsentrasi administrasi bisnis. Pada 1986, dia mulai meniti karir di LippoBank, yang dimiliki pengusaha Mochtar Riady, sekaligus pendiri Grup Lippo.
Kini, Billy Sindoro berhasil mendirikan Gereja Bethany Indonesia (GBI) Baselia di Serpong. Ia memiliki wakil yang bernama pendeta Samuel Tahir. Gerejanya yang begitu megah diberi nama Christ Catedral. GBI Baselia adalah salah satu gereja yang memiliki jumlah jemaatnya terbanyak di Indonesia, sekitar 12ribu orang.
Kasus Korupsi Billy Sebelum Meikarta
Bukan yang pertama kali, ternyata nama Billy Sindoro juga pernah berurusan dengan pihak KPK. Dikutip dalam harian Kompas pada 16 September 2008 Billy dan Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), M. Iqbal ditangkap di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Billy diduga melakukan penyuapan terkait perkara yang dilaporkan PT Indosat Mega Media, Indonesia Tele Media, dan MNC Sky Network kepada KPPU pada September 2007.
Mereka melaporkan televisi berbayar Astro TV dan PT Direct Vision melakukan monopoli siaran liga Inggris. Dirinya melakukan penyuapan dengan barang bukti uang tunai pecahan Rp 100 ribu sejumlah Rp 500 juta dan disimpan dalam tas hitam. Majelis hakim menilai Billy terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan kepada Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha, M Iqbal.
“Menghukum terdakwa Billy Sindoro dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan,” ujar Ketua Majelis Muefri, sebelum mengetok palunya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, 18 Februari 2009 silam.
Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menghendaki Billy dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta. Menurut hakim, Billy bersikap sopan di dalam persidangan, mempunyai anak dan istri, masih muda dan dinilai masih dapat berubah. Sementara hal yang memberatkan bagi Billy adalah karena ia tidak memberikan keterangan di dalam persidangan.