Hari hampir beranjak petang ketika Asumsi.co menyusuri Jalan Papandayan, Gajahmungkur, Semarang, pada Jumat 7 September 2018. Ruas yang meliuk-liuk benar-benar memanjakan tiap pengendara yang melewati jalan tersebut. Berbekal petunjuk jalan dari aplikasi telepon genggam, rupanya tak sulit untuk menemukan rumah Suprapto di nomor 21. Sosok yang dicari sedang menunggu di halaman rumah. Rumah Suprapto sederhana. Ruang tamunya dipenuhi ragam lukisan. Alat cetak patung terakota berserakan di lantai.
“Silahkan masuk. Maaf berantakan. Beginilah apa adanya,” katanya, sembari mempersilahkan Asumsi.co masuk ke rumahnya.
Pembuatan patung terakota atau tanah liat ditekuni oleh bapak empat anak dan lima cucu tersebut selama 40 tahun lamanya. Maka banyak patung yang menyesaki rak dindingnya yang berada di sudut ruang tamu. Ukurannya kecil-kecil dengan bentuk yang sangat detail.
“Yang rak atas patung-patung murni menonjolkan seni pahatan. Yang tengah sama bawah untuk sekedar dijual,” imbuh warga RT 3/RW VIII Papansayan Inpres Gajahmungkur tersebut.
Tangannya mulai terampil memahat patung terakota saat berkuliah di IKIP Semarang akhir dekade 70 silam.
Awalnya ia kerap menemukan tanah liat dengan mudah di pekarangan rumahnya. Setelah dipelajari, ternyata ada dua corak warna tanah liat. Satu merah. Satunya abu-abu.
Berdasarkan pengakuannya, tanah liat merupakan unsur alam yang lama mengendap di kawasan Papandayan. Bahkan, tanah liat itu mengendap dari ujung Tugu Suharto sampai kawasan Gombel Lama.
Untuk membuat sebuah terakota, Suprapto memanfaatkan tanah liat yang sudah diencerkan membentuk cairan lumpur. Lumpur tadi harus ditiriskan agar dapat digunakan sebagai tinta untuk media melukis.
Biasanya Suprapto hanya butuh sebotol cairan lumpur. “Lebih enak pakai lumpur karena punya keunikan dan mudah didapat dimanapun. Jadi tidak ada kesulitan. Justru tahan lama karena mengandung unsur tanah dan bebatuan,” akunya.
Karyanya pertama saat kuliah berupa terakota asbak menyerupai wajah manusia. Setelah itu, karya demi karya ia torehkan hingga dikenal oleh masyarakat luas.
Ia bilang pemanfaatan lumpur punya keuntungan tersendiri. Dengan berlatar belakang keluarga yang pas-pasan, lumpur jadi alternatif baginya untuk mengasah bakatnya dalam menelurkan ragam bentuk patung.
Atas capaiannya selama ini, Suprapto kerap mendapat orderan membuat sejumlah karya monumental. Misalnya terdapat sembilan patung prajurit Romawi yang telah ia buat dan dipajang di obyek wisata Kopeng, Ungaran.
Patung tersebut bercorak realis. Di tengah hawa dingin yang menusuk tulang, di tahun 2015 ia harus bersusah payah membuat patung terakota selama enam bulan di Kopeng. Tiap patung tingginya empat meter.
Ia mengaku ada hal-hal unik tatkala menggarap pesanan patung terakota. Kadang wajah patung hampir mirip dengan si pemesan walaupun keduanya belum pernah bertatap muka.
“Patung KB di Perumahan Korpri Pedurungan juga saya yang buat. Yang mesan sampai takjub melihat rupa patung mirip dengan dirinya sendiri. Saya menyebut itulah daya tarik dari tanah liat,” bebernya.
Sekian lama menekuni patung terakota, ia kini telah memiliki 500 buah lebih desain. “Sampai sekarang saya tetap memilik memakai sistem pembakaran kayu arang. Rata-rata memakai suhu pembakaran 750 sampai 1.000 derajat,” ujar lelaki kelahiran Semarang 7 Februari 1957 tersebut.
Kendati demikian, ada satu ganjalan di benak Suprapto yang tak bisa dihapus hingga kini. Pemerintah Indonesia selama ini kurang memberikan apresiasi terhadap karya-karya para perupa.
Di Kota Lumpia Semarang, kondisinya juga setali tiga uang. Pemerintah kota jarang njawil para perupa untuk dilibatkan dalam acara berkesenian tingkat nasional.
Padahal, ia berkata keahlian memahat patung jadi bakat yang semakin langka. Suprapto sendiri mengalami keterbatasan dana sehingga kesulitan ikut acara pameran dengan skala besar.
Ia berpendapat bahwa sikap abai pemerintah terhadap kegiatan seni dan budaya telah membuat banyak siswa mengalami perilaku menyimpang. “Sekarang marak tawuran atau bunuh diri. Sebenarnya kan untuk mengolah rasa otak dan batin dapat dilakukan dengan berkesenian dan agama,” bebernya.
Suprapto berkata harus terus memutar otak supaya karyanya mampu diapresiasi pemerintah. Ketika pesanan patungnya menyusut, ia sesekali melukis menggunakan sisa cairan lumpur.
Untuk lukisannya yang satu ini memuat nada-nada satir yang menyinggung ulah manusia maupun pemerintah. Contohnya menceritakan tarian batara kala yang memuat pesan isyarat adanya angkara murka harus berani mengingatkan. Jumlah lukisannya juga menumpuk di rumahnya.
Sebagai kota dagang, ia menyayangkan perilaku masyarakat Semarang yang kerap menghambat pertumbuhan sebuah karya seni. Warga Kota Lumpia, kata dia hanya disibukan memburu kebutuhan primer tanpa memperdulikan karya seni bernilai tinggi.
“Karena masyarakatnya masih mengejar kebutuhan primer. Dinas pun cuma memberikan fasilitas seadanya bagi kita. Jarang ada yang total. Jadinya kita yang menggeluti seni jadi stagnan. Manakala ada kegiatan pameran dan saya mampu maka akan saya lakukan,” bebernya.
Sedangkan menurut Handry TM sebagai Ketua Dewan Kesenian Semarang, keberadaan Suprapto sebagai pematung terakota sebenarnya tampak unik. Karenanya, ia sempat mengajak Suprapto tampil dalam pameran Pazzarseni kelima di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS).
“Dia adalah segelintir seniman terakota yang masih eksis sampai saat ini. Karyanya bagus dan sempat tampil di TBRS. Kami sejujurnya butuh ruang publik untuk membangkitkan jiwa berkesenian warga Kota Semarang,” tutur Handry.