Husna, perempuan asal Desa Geureugok, Kecamatan Gandapura, Bireuen, Aceh, itu tak pernah menyangka jika anak pertamanya harus menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Parahnya, penyakit itu sudah diderita sejak ia lahir. Husnul Faina (2,8 tahun), anak dari Husna, harus mengidap dampak dari virus rubella. Penyakit akibat virus menular ini menyerang langsung ke tubuh Husnul, seperti: mata katarak, pendengaran tuli berat, dan jantung bocor PDA.
Tanpa pernah disadari Husna, virus campak rubella yang ada di tubuh Husnul tertular dari tubuhnya. Husna yang menginjak usia 27 tahun ini tidak menyadari bahwa ia telah lama menyimpan virus ini di dalam tubuhnya. Padahal Husna mulai mengalami gejala aneh dari viruus ini saat memasuki usia kehamilan tiga bulan. Saat itu, bintik-bintik merah keluar di sekujur tubuhnya. Bintik-bintik merah itu hanya bertahan dua hari, dan hilang tanpa diobati. Akhirnya, Husna mengira itu penyakit kulit biasa.
Ternyata, virus campak rubella mulai menyerang ketahanan tubuh Husna yang tengah mengandung itu. Pada saat usia kehamilannya lima bulan, ketubannya tiba-tiba pecah. Kemudian memasuki usia kandungan di bulan ketujuh, dirinya harus mulai rutin setiap hari berkonsultasi ke dokter.
Hal tersebut akhirnya membuat Husna harus melahirkan secara prematur, tepatnya ketika usia kehamilannya menginjak delapan bulan. Untungnya, ia tetap bisa melahirkan secara normal. “Meski tidak cukup umur kandungan sebulan, dari biasanya sembilan bulan,” kata Husna kepada Asumsi.co di Jay Kupi, Banda Aceh, Selasa (11/9).
Dampaknya, berat Husnul ketika lahir hanya 2 kilogram saja. Hingga saat itu, firasat aneh belum ia rasakan. Memasuki usia tiga bulan, Husna melihat adanya bintik-bintik merah di bola mata Husnul. Husna kemudian membawa anaknya ke dokter.
Setelah diperiksa, dokter mengatakan Husnul menderita katarak bawaan lahir dan harus segera dioperasi. Tidak tunggu lama, Husna segera membawa anaknya ke salah satu rumah sakit di Medan, Sumatera Utara. Di saat bersamaan, dokter juga menyarankan agar Husna melakukan pemeriksaan TORCH pada dirinya.
Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan screening berupa tes darah guna mendeteksi sekelompok infeksi pada tubuh anda. TORCH merupakan singkatan dari toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex. Keempat jenis penyakti infeksi ini, sama-sama berbahaya bagi janin terinfeksi oleh ibu hamil.
Setelah hasil tes terhadap dirinya keluar, Husna baru sadar kalau penyakit yang dialami Husnul adalah bawaan dari dirinya. Dan merupakan dampak dari virus rubella.
“Ketika hasil tes keluar, saya positif kena virus rubella dan yang lainnya negatif. Virusnya sudah tidak aktif, tapi masih ada dalam badan saya,” kata Husna.
Setelah operasi katarak, pada usia sepuluh bulan, Husnul menjalani operasi mata untuk kedua kalinya. Kali ini, bocah itu melakukan operasi untuk pemasangan lensa agar bisa melihat. Selain masalah pada matanya, Husnul juga mengalami masalah pada pendengarannya. Ia mengalami tuli berat yang membuatnya harus dipasang alat bantu pendengaran seharga Rp40 juta.
Bahkan, jantungnya pun sempat bocor. Namun kebocoran jantung tersebut sudah berhasil disembuhkan. “Sedangkan jantung bocor PDA, sekarang alhamdulillah sudah sembuh,” kata Husna, sang ibu.
Meski tinggal di Kabupaten Bireuen, dalam sepekan Husna harus tiga kali bolak-balik ke Banda Aceh untuk melakukan terapi penyembuhan sang buah hati. Padahal jarak ke Banda Aceh sendiri adalah 150 kilometer dari rumahnya. Untuk mengakali hal tersebut, ia menyewa sebuah rumah di Banda Aceh, agar tidak banyak pengeluaran biaya penginapan.
Mengingat frekuensi Husna yang harus mendampingi pengobatan Husnul, ia pun harus berhenti sementara dari pekerjaannya sebagai bidan kontrak. “Kerja saya bidan kontrak di Puskesmas, selama pengobatan ini, saya sudah berhenti sementara dari bidan,” kata Husna.
Kisah serupa juga diceritakan oleh Rita Yana (34 tahun). Anak perempuannya, Saffa Indira, menderita dampak virus rubella. Memasuki usianya yang sudah 7 tahun, ia belum bisa mengucapkan satu kalimat pun.
Berbeda dari Husna, Rita mulai menyadari terkena virus rubella saat dia mengandung usia lima pekan. Kini, sang buah hatinya Saffa, mengalami gangguan pada matanya, telinga tidak dapat mendengar, jantung terkena PDA, dan belum dapat berbicara.
“Sampai sekarang matanya belum dioperasi, jantung sudah sembuh, belum bisa bicara,” katanya,” kata Rita.
Tak ingin yang dialami oleh keduanya juga terjadi pada keluarga lain. Alhasil, Husna dan Rita mengajak masyarakat agar melakukan imunisasi untuk campak dan rubella (MR).
“Kita potong mata rantai campak rubella ini. Bukan masalah vaksin virus ini gratis, tapi kami sudah menghabiskan uang banyak untuk pengobatan mereka. Bahkan saya sudah bawa Saffa ke Malaysia. Mereka bukan sakit, tapi butuh terapi seumur hidup,” kata Rita.
Imunisasi untuk campak dan Rubella (MR) di Provinsi Aceh masih terus diupayakan pada September ini, untuk memenuhi target 1,5 juta anak usia di bawah 14 tahun.
Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit pada Dinas Kesehatan Aceh, dr. Abdul Fatah mengatakan, imunisasi yang dimulai pada awal Agustus 2018 terpaksa dihentikan karena adanya protes dari masyarakat.
“Jadi dihentikan sementara, setelah adanya perintah penundaan dari Plt Gubernur Aceh, sebagian kecil sempat dilaksanakan,” katanya dalam diskusi publik yang digelar PKBI Aceh dan UNICEF di Banda Aceh, Rabu 29 Agustus 2018, seperti dilansir acehkita.com.
Perintah penundaan imunisasi ini diinstruksikan oleh Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, pada 7 Agustus 2018. Nova mengatakan menunggu vaksin itu dinyatakan kehalalannya, supaya tidak menimbulkan polemik di masyarakat. Maka dari itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa terakit hal tersebut.
Fatwa MUI sudah keluar pada 20 Agustus 2018 lalu dan menyatakan bahwa vaksin campak dan rubella dapat digunakan untuk saat ini dengan hukum diperbolehkan alias mubah.
“Kami akan duduk kembali dengan Plt Gubernur nantinya, awal September untuk meminta diintruksikan kembali pelaksanaan imunisasi,” kata Fatah.
Perwakilan Unicef, Nita, mengatakan imunisasi vaksin untuk campak dan rubella (MR) di Aceh menduduki urutan terrendah secara nasional. Dia menyebut dari target 15 juta, baru tujuh persen yang telah ikut imunisasi.
Di Provinsi Aceh, terdapat empat kabupaten/kota dengan tingkat partisipasi yang tinggi dalam hal pemberian vaksin MR, yaitu Kabupaten Singkil 20 persen, Gayo Lues 17 persen, Sabang 13 persen, dan Subussalam 12 persen. Nita melanjutkan, dari 5000 pelajar di Banda Aceh, hanya delapan orang yang bersedia divaksin MR.
“Tingkat penderita campak dan rubella di Aceh pada tahun 2018 meningkat tajam dari tahun 2017 yaitu 3 orang menderita campak dan 4 orang menderita rubella. Pada tahun 2018 meningkat menjadi 16 orang penderita rubella,” kata Nita.