Saat ini, Amerika Serikat (AS) sedang dipimpin oleh seorang Presiden bernama Donald Trump. Gaya bicara dan tindakan yang kontroversial merupakan ciri khas dari presiden AS yang terpilih di tahun 2017 ini. Beberapa hari yang lalu, Trump mengeluarkan sebuah tweet untuk presiden Iran, Hassan Rouhani, dengan nada yang cukup keras. Tweet tersebut adalah sebagai berikut:
To Iranian President Rouhani: NEVER, EVER THREATEN THE UNITED STATES AGAIN OR YOU WILL SUFFER CONSEQUENCES THE LIKES OF WHICH FEW THROUGHOUT HISTORY HAVE EVER SUFFERED BEFORE. WE ARE NO LONGER A COUNTRY THAT WILL STAND FOR YOUR DEMENTED WORDS OF VIOLENCE & DEATH. BE CAUTIOUS!— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) July 23, 2018
Dari tweet ini, terlihat bahwa Donald Trump sedang berusaha untuk menekan Iran untuk tidak bermain-main dengan AS, atau dapat menerima konsekuensi buruk. Sebenarnya, ultimatum keras seperti ini sudah pernah ia lakukan sebelumnya, yaitu pada Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Pada saat itu, Trump mengancam Korea Utara untuk tidak lagi mengembangkan kapabilitas nuklirnya, atau ia akan menyerang Korea Utara dengan “fire and fury”. Hasilnya, alih-alih terjadi perang, Trump dan Kim Jong Un justru duduk bersama dan mengeluarkan sebuah deklarasi untuk Korea Utara yang terdenuklirisasi. Memang, belum terlihat jelas kerangka spesifik dari pertemuan AS – Korea Utara, namun setidaknya tensi antara AS dengan Korea Utara sudah jauh lebih reda saat ini.
Berangkat dari tindakannya pada Korea Utara tersebut, banyak yang menilai bahwa tekanan yang diberikan Trump pada Iran adalah untuk mencapai hasil yang sama dengan Korea Utara. Namun, apakah benar? Jika benar, apakah ‘hasil’ yang akan didapat akan sama seperti dengan Korea Utara? Tulisan ini akan berusaha menjawab dua pertanyaan ini.
Bahasan pertama yang tentu menjadi pertanyaan umum adalah apakah Trump benar-benar sedang mengancam Iran untuk perang atau hanya sebuah bentuk negosiasi untuk menekan posisi Iran demi mendapatkan hasil perjanjian yang menguntungkan. Melihat rekam jejak Donald Trump dan gaya tweeting-nya, terlihat bahwa Trump merupakan seorang yang blak-blakan dan terbuka. Ketika ada seseorang atau perjanjian yang menurutnya tidak ‘fair’, maka Trump akan menumpahkan kekesalannya di Twitter.
Lebih lanjut, Trump sebenarnya cukup terbuka pada segala bentuk opsi selama itu menguntungkan dirinya. Dengan Iran, secara spesifik, Trump mengatakan bahwa ia menginginkan ‘real deal’ dengan tujuan utama Iran yang terdenuklirisasi, bukan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPoA) yang dihasilkan di pemerintahan Obama. Trump merasa bahwa JCPoA adalah perjanjian yang amat menguntungkan Iran. Saat ini, Trump telah menanggalkan perjanjian tersebut dan kembali memberi sanksi pada Iran. Iran pun begitu, negara tersebut kembali memulai aktivitas nuklirnya di luar isi perjanjian.
Jadi, untuk melihat apakah tweet tersebut merupakan bentuk negosiasi, alih-alih memaksakan perang, tentu jawabannya adalah sebuah bentuk negosiasi. Meskipun gayanya nampak irasional, semakin terlihat bahwa Trump akan menggunakan pendekatan yang sama dengan Korea Utara, dengan tentu berharap mendapatkan hasil yang sama. Namun, apa iya?
Pertanyaan kedua yang muncul tentu apakah gaya menekan Trump ini dapat sesukses ketika menekan Korea Utara dengan bahasa-bahasa seperti “fire and fury” pada pertengahan tahun 2017 yang lalu? Dalam menganalisis hal ini, terdapat satu hal esensial yang perlu diketahui, yaitu bahwa Iran merupakan negara yang amat berbeda dengan Korea Utara. Perbedaan yang paling utama adalah perihal kepemimpinan dan pengambilan kebijakan di Iran dan Korea Utara. Di Korea Utara, pengambilan kebijakan sepenuhnya ditentukan oleh Kim Jong Un sebagai seorang pemimpin. Gaya pemerintahan diktator ini tentunya membuat pengambilan kebijakan lebih mudah, mengingat hanya Kim Jong Un dan mungkin kelompok kecil di sekitarnya yang secara penuh mengontrol keputusan. Informasi yang disebarkan pada masyarakat pun terkontrol dengan sangat ketat oleh negara, sehingga penggiringan opini tentang setiap perubahan kebijakan, baik luar negeri maupun dalam negeri, akan mudah dilakukan.
Berbeda halnya dengan Iran, meskipun Iran juga cukup ketat perihal aturan, arus informasi, dan oposisi, kondisi Iran jauh dari istilah kediktatoran. Pemilihan umum dilakukan secara berkala, meskipun kontrol terhadap penyelenggaraan dan hasil masih belum sempurna. Secara singkat, Iran masih memiliki bentuk pemerintahan demokrasi, dengan adanya oposisi dan pemilihan umum yang berkala.
Lalu, apa implikasi kondisi domestik Iran pada kebijakan luar negerinya? Salah satunya adalah bahwa Presiden Iran memiliki akuntabilitas pada rakyat dan tidak bisa semena-mena. Jika Korea Utara bisa dengan mudah mengubah posisi dengan AS selama Kim Jong Un menyetujui, hal tersebut berbeda dengan Iran. Publik Iran mengetahui fakta dan memiliki perspektifnya sendiri. Kegagalan memberikan apa yang diinginkan rakyat, atau setidaknya mengubah pandangan pada Amerika Serikat secara cepat, akan menemui jalan yang lebih terjal, seperti tekanan oposisi dan masyarakat sipil. Singkatnya, Iran bukanlah Korea Utara dan berharap hasil yang sama dengan pendekatan yang sama untuk keduanya merupakan tindakan yang amat ceroboh.
Kegagalan atau kesuksesan yang akan didapat oleh Trump tentu saja ditentukan oleh dinamika yang belum terlihat arahnya. Saat ini, Trump masih memilih konfrontasi. Publik dunia tentu saja berharap perdamaian dapat terjadi. Namun satu hal yang pasti, berharap Iran akan bertindak seperti Korea Utara ketika dikonfrontasi bukanlah hal yang bijak. Di titik yang terburuk, konfrontasi ini akan menyebabkan hal yang tidak diharapkan sama sekali sebelumnya: perang terbuka.