Budaya Pop

Mengintip “Post-Pencitraan” di Ota Lapau dan Diskusi Kopi

Ikhsan Yosarie — Asumsi.co

featured image

Pemilu dan pilkada menjadi momen yang mampu merubah kepribadian seseorang, tepatnya kepribadian seseorang di depan umum, khususnya media. Perubahan ini terjadi pada mereka yang berkontestasi dalam pemilu dan pilkada. Sebut saja, mereka yang semula jarang bersosialisasi dengan lingkungan, mendadak sering ikut kerja bakti dan gotong royong di komplek perumahan, mengunjungi tempat-tempat tertentu atau sering disebut blusukan, dan bahkan mendadak sering ke tempat ibadah. Tujuannya sederhana, yaitu untuk memunculkan diri ke publik guna menarik simpati, dan finalnya mendapat suara untuk pemenangan.

Di sisi lain, tipikal pemimpin dan wakil di parlemen yang dibutuhkan justru mereka yang –secara sederhana kita sebut– bersifat apa adanya dan konsisten. Apa adanya yang dimaksud, tiada kepalsuan dan perbedaan antara privat-publik dalam hal perilaku kesehariannya. Ia tidak termasuk golongan orang-orang yang berubah menjelang masa pemilu dan pilkada, dengan kata lain perilakunya bersifat konsisten atau tidak terpengaruh oleh momen politik.

Mereka yang memiliki perbedaan antara perilaku di ruang privat dan ruang publik, dalam artian kedua perilaku tersebut bertolak belakang, berpotensi menjadi pemimpin atau wakil rakyat yang melepaskan mandat rakyat atau pemilih ketika menang dalam pemilu dan pilkada. Perilaku yang dapat disebut kepura-puraan dalam politik itu dimulai menjelang pemilu dan pilkada, dan berakhir beberapa waktu setelah hasil pemilihan diumumkan, atau paling tidak beberapa waktu setelah ia menduduki posisi politik tersebut. Pun demikian jika mereka kalah, karena tujuan perubahan perilaku itu hanya untuk starting kampanye dan meraup suara pemilih.

Pada konteks inilah pencitraan itu kita pahami sebagai sesuatu yang manipulatif dengan tujuan tertentu dan politis, terlebih apabila didukung oleh media. Pencitraan politik seperti ini hanya melihat masyarakat sebagai objek politik dan sumber suara pemilih, bukan sebagai subjek politik yang merupakan pemilik dari suara itu. Para politisi itu dengan serius meyakinkan (baca : menginginkan) masyarakat untuk memilihnya. Disisi lain, keseriusan sebagai efek mutualisme dalam relasi pemilih-wakil akan hilang akibat terlepasnya mandat rakyat setelah politisi itu mendapatkan posisi. Dengan melihat masyarakat sebagai objek politik, pendidikan politik pun mustahil akan terlaksana.

Pengungkapan sederhana melihat fenomena pencitraan politik ini adalah keletihan dan potensi keapatisan masyarakat melihat pesta demokrasi. Hal ini secara ontologis memunculkan pertanyaan, pesta demokrasi itu untuk siapa? Rakyat berpesta untuk merayakan kedaulatan haknya atau elit politik berpesta untuk mengundang masyarakat agar memilihnya?

Era Post-Pencitraan di Lapau dan Kedai Kopi

Pada dasarnya untuk melihat apakah perilaku itu adalah sebuah pencitraan atau tidak caranya cukup mudah. Masyarakat hanya perlu melihat rekam jejak sang calon. Di dalam rekam jejak tersebut, akan tampak perbandingan perilaku seseorang atau politisi tersebut antara masa sebelum dengan masa menjelang pemilu dan pilkada. Kesenjangan ats informasi yang didapat sebenarnya bisa teratasi melalui kebiasaan ota (obrolan) lapau (kedai kopi). Ota lapau berasal dari bahasa Minang, yang berarti obrolan warung kopi. Dua hal ini menjadi ciri khas generasi tua (baca: ibu-ibu dan bapak-bapak) dan generasi muda dalam bersosialisasi.

Informasi-informasi yang tidak terpublish media dengan mudahnya akan didapat pada ota lapau dan kedai kopi. Dalam ota lapau, obrolan politik bersifat lebih cair namun tetap aktual, bahkan dapat lebih jauh membincangkan perbandingan si calon, terutama jika dalam konteks politik kedaerahan, misalnya pilkada dan pileg kabupatan/kota. Perbandingan ini bisa lebih jauh dibicarakan karena kecenderungan saling kenal dan tidak berada pada lingkaran yang terlalu jauh dengan si calon, misalnya salah satu bapak/ibu-ibu di lapau tersebut ternyata dulu bertetangga atau teman dari salah satu calon, sehingga ia bisa sharing di lapau.

Dalam konteks kepemimpinan daerah dan pilkada, ota lapau ini pun tidak kalah menarik. Generasi tua yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil tentu akan membahas mengenai birokrasi pemerintahan daerah. Obrolan politik ini bahkan membandingkan masing-masing masa kepemimpinan kepala daerah beserta pengaruhnya terhadap dinas-dinas di lingkup kabupaten/kota yang bersangkutan, baik dari segi yang baik maupun kebobrokannya. Hal yang paling menarik dalam obrolan lapau ini adalah arah pembicaraan yang mengulas fakta di lapangan atau implementasi, tidak berupa teoritis.

Kemudian, arena obrolan politik berikutnya adalah kedai kopi. Pada konteks ini, kedai kopi yang dimaksud adalah tempat berkumpulnya anak-anak muda, meskipun kita tahu bahwa kedai kopi juga menjadi arena obrolan generasi tua. Hal yang paling menarik adalah banyaknya kedai kopi yang keberadaannya tidak jauh dari lokasi kampus. Kedai kopi tersebut umumnya dimiliki oleh mahasiswa atau kelompok mahasiswa dengan desain ala anak muda (baca: mahasiswa) dan tidak lupa buku-buku bacaan. Bahkan tidak jarang tiap-tiap kedai kopi melakukan diskusi. Artinya, kedai kopi ala mahasiswa ini tidak hanya sekedar menjajakan produk kopinya, tetapi juga menyelipkan agenda-agenda intelektual dalam aktifitasnya.

Diskusi di sini tentu mengarah kepada hal-hal teoritis dan fakta lapangan. Tiap-tiap peserta diskusi saling berdialektika karena biasanya kedai kopi adalah arena yang bersifat heterogen dalam keilmuan mahasiswa. Mahasiswa tentu bisa melakukan analisis terhadap mana yang pencitraan dan mana yang tidak, terutama mereka dengan keilmuan sosial, khususnya ilmu politik.

Post-Pencitraan

Pada ota lapau dan kedai kopi ini kita bisa melihat bagaimana pencitraan itu tidak berlaku. Orang-orang lapau dan diskusi kopi melihat tiap-tiap calon yang berkompetisi dalam pemilu secara dengan apa adanya dan jernih tanpa kepentingan politik praktis tertentu. Hegemoni dan konstruksi atas realitas yang dilakukan media ataupun kelompok-kelompok politik tertentu tidak berlaku di sini, karena ota lapau membahas politik secara perbandingan dan faktor kedekatan dengan salah satu calon, kemudian kedai kopi membahas politik itu secara teoritis dan implementasi, disertai analisis-analisis dari pelbagai perspektif.

Politik pemilu justru kembali kepada titik awal, yaitu nilai dan perjuangan yang bersifat apa adanya, tanpa manipulasi, dan tanpa kepura-puraan setiap politisi yang berkontestasi dalam pemilu. Post-pencitraan mengembalikan politik kepada nilai asalnya yang mengedepankan moralitas dan marwah politik sebagai jalan untuk menghasilkan kebijakan yang pro-rakyat.

Ota lapau dan kedai kopi memang menjadi ruang publik dan ruang diskursus yang kritis, dan tantangan yang harus dihadapi adalah persoalan kejernihan dalam membahas politik, serta kuasa untuk menahan kapitalisasi dari politikus nantinya.

Share: Mengintip “Post-Pencitraan” di Ota Lapau dan Diskusi Kopi