Isu Terkini

Sejarah Freeport di Indonesia dan Mengapa Keberadaannya Begitu Kontroversial

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Freeport merupakan perusahaan asal Amerika Serikat yang kehadirannya cukup kontroversial di Indonesia. Perusahaan Freeport yang melakukan penambangan di Indonesia, PT Freeport Indonesia, merupakan afiliasi langsung dari Freeport yang berasal dari Amerika Serikat, yaitu Freeport-McMoran. Praktik yang dilakukan Freeport di Indonesia adalah praktik penambangan dari berbagai sumber daya alam, seperti tembaga, emas, dan perak. Operasi Freeport di Indonesia ini dilakukan di Mimika, Papua, Indonesia.

Sejarah Freeport Masuk ke Indonesia

Sejarah awal Freeport masuk ke Indonesia bermula dari adanya UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Soeharto. Pada bulan April 1967, berbekal UU yang baru disahkan tersebut, Freeport berhasil masuk ke Indonesia. Penandatangan kontrak karya selama 30 tahun antara pemerintah Indonesia dan Freeport menjadi awal dari sejarah panjang Freeport di Indonesia.

Setelah ditandatangani, baru terlihat ada beberapa hal yang kurang beres dalam kontrak “generasi pertama” antara Freeport dengan Indonesia ini. Dalam kontrak tersebut, Freeport mendapatkan keistimewaan bebas pajak selama tiga tahun, pemotongan pajak sebesar 35 persen untuk 7 tahun setelahnya, dan bebas dari pajak atau royalti selain 5 persen pajak penjualan.

Ketika Freeport menemukan cadangan baru di pegunungan Grasberg, Freeport mengupayakan untuk membuat kontrak baru dengan istilah Kontrak Karya II. Di tahun 1991, Freeport dan Pemerintah Indonesia menandatangani Kontrak Karya II. Kontrak ini berlaku hingga tahun 2021. Kontrak karya II ini berhasil membuat Freeport dapat melakukan penambangan di wilayah seluas 2,6 juta hektar, yang sebelumnya hanya seluas 10.908 hektar.

Selain tentang perluasan wilayah, kontrak karya II ini pun mengisyaratkan satu hal penting, yaitu adanya divestasi saham dari Freeport ke Indonesia. 10 tahun pertama, yaitu tepatnya hingga tahun 2001, Freeport sudah harus memberikan sahamnya ke pemerintah Indonesia sebesar 10 persen. Sedangkan di tahun 2011, Freeport sudah harus melakukan divestasi saham ke Pemerintah Indonesia sebesar 51 persen. Meskipun perjanjiannya seperti itu, divestasi saham 51 persen tersebut baru terjadi di tahun 2018 ini.

Pelanggaran-Pelanggaran yang Dilakukan Freeport selama di Indonesia

Dari contoh divestasi saham yang terlambat saja, terlihat bahwa Freeport Indonesia tidak mematuhi kontrak yang dibuat. Selain itu, terdapat beberapa pelanggaran lain yang dilakukan Freeport di Indonesia, yang khususnya berupa pelanggaran lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Merusak Lingkungan di Daerah Sekitar Penambangan

Freeport Indonesia diketahui telah melakukan pelanggaran hukum dengan merusak lingkungan di sekitar tambang Grasberg. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menemukan setidaknya 47 pelanggaran. Ekosistem mulai dari sungai, kawasan hutan mangrove, hingga lautan pun terkena dampak akibat limbah pertambangan. Pencemaran ini berasal dari kolam penampungan limbah pasir sisa tambang atau yang sering dikenal dengan istilah Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA). Metode ini dianggap buruk karena tidak ramah lingkungan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pun memberikan sanksi administratif pada Freeport. Sanksi tersebut berupa kewajiban bagi Freeport untuk merehabilitasi lingkungan dan memantau limbah hasil tambang. Jika tidak, kementerian mengancam pembekuan operasi Freeport sampai kerusakan lingkungan tersebut ditangani.

Melanggar HAM Pekerja

Selain lingkungan, pelanggaran lain yang dilakukan oleh Freeport Indonesia adalah dengan melakukan pelanggaran HAM. Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang paling terkenal dilakukan oleh Freeport Indonesia adalah ketika runtuhnya terowongan Big Gossan di tahun 2013. Kecelakaan tambang yang menewaskan 28 pekerja Freeport ini dianggap sebagai tindakan pelanggaran HAM karena Freeport Indonesia tidak memerhatikan kondisi tempat pekerjanya sebagai bagian dari hak hidup pekerja. Pelanggaran ini tentu saja perlu ditindaklanjuti dengan tegas agar kedepannya tidak ada lagi kelalaian-kelalaian yang dapat merenggut nyawa pekerja.

Hadirnya Freeport di Indonesia, 51 tahun setelah kontrak karya I ditandatangani, masih menjadi polemik yang berkelanjutan. Rezim demi rezim berganti, masih saja Freeport seolah berada di atas angin dan mengendalikan Pemerintah Indonesia. Sudah saatnya Pemerintah Indonesia dapat mengambil tindakan tegas agar pelanggaran dan kecurangan operasional tidak lagi terjadi di Indonesia. Divestasi saham 51 persen yang sedang diperjuangkan hari ini dapat menjadi satu momentum yang baik untuk perjanjian yang lebih adil antara Indonesia dan Freeport ke depannya.

Share: Sejarah Freeport di Indonesia dan Mengapa Keberadaannya Begitu Kontroversial