Isu Terkini

Bolehkah Pembangunan Infrastruktur Dijadikan Komoditas Kampanye?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Demokrasi di Indonesia sedang berkembang. Semakin tingginya animo masyarakat terhadap berbagai macam isu sosial-politik merupakan sesuatu yang patut disyukuri. Namun di sisi lain, kebebasan berekspresi tersebut seringkali menjadi pemantik dari terpecahnya masyarakat. Alasannya sederhana, kebebasan berekspresi tersebut sering tercampur aduk dengan perasaan personal. Hasilnya? Fanatisme terhadap calon-calon tertentu, tanpa melihat kondisi-kondisi lain di sekitarnya. Yang penting harus dia, katanya. Pihak yang tidak setuju pun bertindak sama saja. Yang penting bukan dia, katanya.

Belakangan ini, salah satu ekspresi politis yang menjadi kontroversi adalah spanduk “Tol Jokowi.” Jika anda kurang familiar dengan hal ini, spanduk “Tol Jokowi” mengacu pada spanduk yang terbentang di ruas-ruas jalan tol yang baru saja dibuat di era Presiden Joko Widodo. Secara eksplisit, spanduk ini terbentang untuk menjelaskan kepada siapapun yang menggunakan tol tersebut bahwa pembangunan infrastruktur ini sukses karena Jokowi semata. Spanduk ini pun dianggap sebagai reaksi terhadap ekspresi politis lainnya, yaitu penggunaan tagar #2019GantiPresiden oleh kubu oposisi pemerintah.

Kondisi seperti di atas tentunya menciptakan dilema. Secara esensial, infrastruktur dibangun tentunya untuk meningkatkan mobilitas masyarakat tanpa melihat pilihan politiknya. Terlebih, banyak infrastruktur yang proses pembangunannya melewati masa kepemimpinan yang berbeda. Di sisi lain, keberhasilan Jokowi untuk merealisasikan pembangunan infrastruktur di masa kepemimpinannya juga sesuatu yang patut dibanggakan para pendukungnya. Artikel ini pun akan menjawab pertanyaan, sebenarnya sah enggak sih, jika pembangunan infrastruktur digunakan sebagai bagian dari kampanye?

Memahami Program Pembangunan Infrastruktur di Indonesia

Gagasan pembangunan infrastruktur memiliki sejarah yang panjang di Indonesia. Pembangunan infrastruktur mulai mendominasi semenjak era Orde Baru. Kala itu, Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) merupakan rencana pembangunan jangka panjang yang dicanangkan oleh Soeharto untuk menumbuhkan perekonomian Indonesia. Lengsernya Soeharto dan krisis ekonomi membuat program REPELITA pun harus terhenti. Hingga kini, pembangunan infrastruktur pun masih menjadi harapan-harapan masyarakat. Kesenjangan ekonomi dan pembangunan antara kota dan desa membuat pembangunan infrastruktur menjadi prioritas kebijakan di era Presiden Jokowi. Beliau pun menetapkan 245 Proyek Strategis Nasional (PSN) selama kepemimpinannya.

Logika Pembangunan Infrastruktur di Era Demokrasi

Sejauh ini, sebenarnya terlihat bahwa setiap kebijakan infrastruktur selalu erat dengan yang mencanangkannya. REPELITA erat dengan Soeharto, sama halnya PSN erat dengan Presiden Jokowi. Namun, yang berbeda adalah di masa Soeharto, segala bentuk pembangunan infrastruktur dicanangkan oleh beliau dengan bentuk pemerintahan yang otoriter. Segala kebijakan berada di bawah arahan langsung Soeharto. Sentralitas pemerintah pusat merupakan sesuatu yang nyata. Mengaitkan REPELITA dengan Soeharto dan rezim Orde Baru merupakan sesuatu yang logis dan sesuai.

Di era reformasi seperti saat ini, dengan adanya batasan maksimal dua periode dan transisi kepemimpinan yang harus dilakukan sewaktu-waktu, mengaitkan pembangunan infrastruktur dengan pemimpin yang sedang menjabat menjadi sesuatu yang kurang sesuai. Bukan berarti ketika Presiden Jokowi sukses melanjutkan program Tol Sumatera hingga selesai, ia tidak boleh mengklaimnya menjadi sebuah pencapaian dalam pemerintahannya. Namun bukan berarti juga, ketika Presiden Jokowi nanti sudah lengser dan program pembangunannya diteruskan hingga selesai, ia tetap dapat mengklaim hal tersebut sebagai bagian pencapaiannya. Dengan kata lain, di era demokrasi, pembangunan infrastruktur tidak dapat direduksi langsung sebagai kesuksesan rezim tertentu saja. Pembangunan infrastruktur yang sukses menandakan adanya program yang berjalan dengan baik, birokrat yang bekerja sesuai dengan porsinya, dan kesuksesan check and balance antara masyarakat dan pemerintahnya.

Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan utama dalam tulisan ini, tentu saja jawabannya adalah sah. Ketika seorang presiden mencapai sesuatu yang tidak pernah dicapai oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya, hal tersebut merupakan sebuah pencapaian dan patut diapresiasi. Pendukungnya pun memiliki hak untuk mengklaim kesuksesan tersebut. Namun lebih dari pada itu, mereduksi sebuah pencapaian pembangunan infrastruktur hanya pada pemimpin saja, seperti dengan istilah “Tol Jokowi”, merupakan sesuatu yang tidak etis. Di bawahnya, ada menteri-menteri hingga buruh yang bekerja siang-malam memastikan tidak ada kesalahan dalam program tersebut. Mari kita sambut kesuksesan pembangunan infrastruktur sebagai hasil dari demokrasi Indonesia yang semakin dewasa, alih-alih kesuksesan satu individu saja.

Share: Bolehkah Pembangunan Infrastruktur Dijadikan Komoditas Kampanye?