Sinyal kuat pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi makin gamblang terbaca. Beban subsidi BBM yang disebut telah mencapai ratusan triliun rupiah kini membuat APBN kelimpungan.
Pemerintah berdalih dengan beragam argumen bahwa tidak bisa tidak mereka harus mengurangi jumlah subsidi yang berkonsekuensi pada kenaikan harga BBM. Mereka menyiapkan sejumlah skenario agar kenaikan harga BBM ini tidak memukul keras masyarakat lapisan bawah.
Salah satunya menyiapkan opsi pemberian bantuan subsidi upah (BSU) bagi pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta. Kendati BBM belum dinaikkan, adanya kebijakan pemberian BSU tersebut menguatkan bahwa cepat atau lambat Presiden Joko Widodo atau Jokowi bakal mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam memberikan pandangan lain mengenai masalah beban subsidi yang meningkat. Menurut dia, ketimbang menaikkan harga BBM bersubsidi pemerintah lebih baik memilih jalan tengah dengan menghadirkan BBM jenis lain.
Jadi pemerintah tak usah menaikkan harga Pertalite, namun penggunaan BBM jenis itu dibatasi hanya untuk kendaraan umum dan roda dua saja. Sementara mobil pribadi diarahkan untuk menggunakan BBM jenis baru yang memiliki Research Octane Number (RON) yang lebih baik dari Pertalite.
“Tidak menaikkan harga BBM subsidi. Pertamina kemudian mengeluarkan produk BBM baru yang memiliki RON lebih baik dengan harga di antara Pertalite dan Pertamax. Produk ini sebenarnya adalah campuran 50-50 Pertalite dan Pertamax,” jelas Piter kepada Asumsi.co, Rabu (31/8/2022).
Piter menyarankan harga jual untuk BBM jenis baru itu di angka Rp10 ribu. BBM jenis baru ini bisa digunakan baik oleh mobil pribadi maupun kendaraan roda dua.
“Pertalite dibatasi hanya untuk kendaraan umum dan motor. Sementara masyarakat lainnya bisa membeli produk baru campuran Pertalite dan Pertamax tadi. Dengan cara ini konsumsi Pertalite akan bisa dibatasi dan kegaduhan kenaikan harga BBM subsidi bisa diatasi,” jelasnya.
Jika opsi ini tidak dipakai, Piter menyarankan opsi untuk sama sekali tidak menaikkan harga BBM. Menurut Piter, biarkan saja anggaran subsidi makin membengkak.
Pasalnya kondisi saat ini sedang tidak memungkinkan untuk memberikan beban tambahan kepada masyarakat lewat menaikkan harga BBM.
“Opsi paling sederhana adalah biarkan saja beban subsidi naik. Misalkan sampai Rp700 triliun. Defisit APBN akan melebar, tetapi pemerintah kan masih punya payung UU Nomor 2 tahun 2020 yang membolehkan defisit APBN di atas 3 persen. Kapan perlu ketentuan ini diperpanjang pada tahun 2023 dengan pertimbangan pandemi yang belum berakhir dan gejolak global, kondisinya masih belum normal sehingga masih membutuhkan insentif fiskal,” jelasnya.
Opsi untuk menaikkan harga BBM bersubsidi menurut Piter bukanlah langkah yang tepat. Sebab meskipun misalnya gaung pemerintah yang menyebut BBM bersubsidi itu dinikmati kalangan atas, namun menurut Piter secara tidak langsung hal itu juga berdampak terhadap kalangan lapis bahwa. Hal ini mengingat peran BBM yang dapat mempengaruhi harga kebutuhan pokok lainnya.
“Saat ini inflasi cukup rendah karena Pertalite subsidi tidak naik. Yang menikmati manfaat inflasi stabil dan rendah utamanya adalah masyarakat miskin. Jadi masyarakat miskin walaupun tidak membeli Pertalite sesungguhnya lebih menikmati manfaat dari Pertalite subsidi,” ungkapnya.
Baca Juga:
Pekerja Bergaji di Bawah Rp3,5 Juta akan Dapat Bansos Rp600 Ribu
Sri Mulyani Bongkar Alasan Jokowi Alihkan Subsidi BBM ke Bansos
Alih Subsidi BBM, Pemerintah Cairkan Bansos Rp24,17 Triliun