Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) rencananya disahkan sebelum Rabu (17/8/2022). Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan, draf RKUHP itu sudah lama dibahas dan direncanakan diberlakukan sebagai hadiah kemerdekaan Republik Indonesia.
“Masih ada waktu pembahasan. Mungkin, jika ada masalah, bukan ditunda, tetapi dilakukan perbaikan. Kalau jelas ada pasal yang membahayakan ya dihapus atau direformulasi,” tutur Mahfud, dilansir dari laman resmi Dewan Pers.
Catatan pasal bermasalah: RKUHP, kata dia, dulu sudah akan diketok. Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2019 meminta pengesahan RKUHP ditunda karena diprotes dengan unjuk rasa yang besar. Ia meminta Dewan Pers memberikan catatan reformulasi terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah.
“Sampaikan reformulasi secara konkret sekaligus simulasinya. Besok akan saya sampaikan ke Kemenkumham. Wamenkumham akan kita panggil minggu depan,” ucapnya.
Mahfud mengatakan KUHP adalah politik hukum penting. Pemerintah, kata dia, berharap secepatnya berlaku saat peringatan kemerdekaan nanti. Sebab, KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk kolonial. Sebanyak 14 pasal dan 9 klaster dalam RKUHP yang dinilai Dewan Pers bersama masyarakat sipil potensial melemahkan kebebasan pers, sehingga perlu dihapus dan diformulasikan.
“Jika ada usulan 14 pasal, maka jumlah itu tidaklah banyak,” ujar Mahfud.
Ia enggan menjamin penundaan berlakunya KUHP tersebut. Mahfud hanya menegaskan, sebelum RKUHP maju ke persidangan harus dibahas secara jelas. Ia berjanji akan melibatkan Dewan Pers dalam pembicaraan dengan Kemenkumham.
Masukan: Sementara itu, Ketua Dewan pers Azyumardi Azra mengatakan, Dewan Pers sudah mengajukan usulan 8 klaster pasal yang dinilai bermasalah pada 2018 lalu. Namun, masukan dari Dewan Pers dan konstituen tidak dimasukkan sama sekali.
Dalam draf RKUHP saat ini, kata dia, malah ada 9 klaster dari 22 pasal umum yang mengganggu hak berekspresi. Sebanyak 14 pasal pasal di antaranya terkait dengan kemerdekaan pers.
Berbahaya: Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, pemberitaan soal terorisme pun bisa diperkarakan karena harus lengkap.
“Pemberitaan pers pasti yang terdepan dan belum lengkap. Demikian juga soal penghinaan pada presiden hingga lurah/kepala desa, bisa menjadi perkara,” tutur Arif.
Ia khawatir ada self cencorship yang tinggi di media ke depannya. Ini berbahaya bagi kelangsungan kehidupan pers dan masyarakat.
Baca Juga:
RKUHP Dinggap Semakin Lemahkan Daya Kritik Masyarakat