Isu Terkini

13 tahun MoU Helsinki: Perjuangan Korban Konflik Belum Tuntas

Habil Razali — Asumsi.co

featured image

Murtala tiba-tiba menggelar kain putih sepanjang empat meter di lantai. Pria itu tampak bersemangat sekali. Sebuah spidol disodorkan. Sejumlah perempuan dan pria kemudian menabuhkan tanda-tangan di antara ratusan coretan yang telah ada di kain.

“Kami tengah menggalang seribu tanda tangan keadilan,” kata Murtala mewakili Komunitas Korban Hak Asasi Manusia (HAM) Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Kain berisi tanda-tangan itu nantinya bakal ‘dihadiahkan’ kepada Kejaksaan Agung sebagai bentuk dukungan agar segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM korban konflik Aceh.

Penggalangan tanda tangan telah dilakukan oleh Murtala sejak 5 Mei 2018. Hari itu, dia dan korban konflik lainnya menggelar peringatan 19 tahun tragedi Simpang KKA yang menewaskan rakyat sipil.

Selasa, (14/8) petang, Murtala menjadi salah seorang pembicara dalam diskusi Peringatan 13 Tahun Perjanjian Damai Helsinki yang digelar di Bin Ahmad Cafe, Banda Aceh. Selain Murtala, diskusi itu menghadirkan pembicara Evi Narti Zain (KKR Aceh), Hendra Saputra (KontraS Aceh), Puri Kencana Putri (Amnesty International), dan Bardan Saidi (anggota DPR Aceh).

Perjanjian Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kelak sering disebut MoU Helsinki, ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perundingan damai itu dicetus oleh Wakil Presiden Indonesia saat itu, Muhammad Jusuf Kalla. Ia menunjuk Hamid Awaluddin sebagai koordinator perunding mewakili Pemerintah Indonesia. Sementara koordinator perunding GAM yaitu Malik Mahmud Al Haytar.

Dialog yang dimulai pada awal 2005 itu dimediasi oleh Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia. Ia memimpin lembaga Crisis Management Initiative. Perjanjian Damai 2005 ini mengakhiri konflik antara Aceh dengan Jakarta selama hampir 30 tahun.

Meski sudah lebih dari satu dekade damai, namun korban pelanggaran HAM akibat konflik ini masih belum memperoleh keadilan. Murtala salah satu di antaranya. Korban konflik tragedi Simpang KKA, Aceh Utara ini, mengaku masih banyak masalah sisa konflik yang hingga kini belum tuntas.

“Kami korban konflik, secara fisik (tubuh kami) semakin menurun dan psikologi kami saat ini masih sangat terganggu. Seharusnya pemerintah memulihkan dulu para korban,” kata Murtala di hadapan puluhan peserta diskusi yang hadir.

Perjanjian damai yang terjadi 13 tahun lalu, Murtala mewakili korban konflik lainnya sangat menyambut baik. Tetapi, dia sangat menyayangkan sebuah harapan besar dari perjanjian itu belum dapat dinikmati, yaitu keadilan.

“Seperti kue apem yang besar, tapi belum dapat kami menikmati,” ibarat Murtala.

Munurut Murtala, seharusnya pascadamai, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia mendorong untuk menemukan sebuah keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat saat konflik terjadi.

“Bukan korban yang harus memperingati beberapa kejadian pelanggaran HAM besar, seharusnya korban diundang untuk mendengarkan statement pemerintah. Kami setiap tahun merengek-rengek kepada pemerintah seperti meminta sesuatu,” kata Murtala.

Selama ini, Murtala kerap menghabiskan isi kantongnya sendiri untuk melakukan kunjungan ke komunitas korban konflik lainnya di beberapa kabupaten di Aceh. Kunjungan itu dilakukannya untuk mengingatkan komunitas korban lain agar melawan lupa dan terus bergerak mencari keadilan.

“Safari ke komunitas lain untuk satu tujuan yaitu melawan lupa. Kami selalu memperingati serimonial di tempat-tempat yang pernah terjadi pelanggaran HAM berat, supaya generasi kami tidak merasa seperti yang kami rasakan. Cukup kami, ayah-ayah kami yang menjadi korban negara,” tutur Murtala.

Murtala menampik kehadiran negara dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM selama konflik Aceh. Dia berpendapat seandainya negara ingin menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, korban konflik seperti dirinya bakal merasa sedikit lega dan dapat merasakan indahnya damai.

Beberapa kasus yang menurut Murtala telah diambil Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) Saksi, namun hingga kini tidak pernah terdengar lagi kabarnya. “Sudah diletakkan di mana? Di langit? Katanya negara ini negara hukum,” kata Murtala.

Amnesty International Berikan Dokumen ke KKR Aceh

Usai diskusi, pihak Amnesty International menyerahkan seribu halaman lebih dokumen berisi ratusan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi selama konflik antara aparat keamanan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh).

“Arsip ini memuat seruan Amnesty International kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh agar memenuhi kewajiban internasional mereka mengakui kebenaran dan memastikan akuntabilitas kepada korban pelanggaran HAM berat dan keluarga mereka,” kata Puri Kencana Putri perwakilan Amnesty International.

Penyerahan dokumen itu bertepatan dengan momen peringatan 13 tahun perjanjian damai pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Dalam dokumen Amnesty International itu memuat jumlah korban konflik di Aceh mencapai 30 ribu, termasuk sipil.

Dokumen yang diserahkan itu berisi pelanggaran HAM yang terjadi sejak tahun 1979 – 2000-an, atau 29 tahun periode konflik RI – GAM. “Ini termasuk pembunuhan di luar hukum (unlawful killings), penghilangan paksa dan penyiksaan, kejahatan yang tampaknya menjadi bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan mungkin dapat disebut kejahatan terhadap kemanusiaan,” tutur Puri.

Pada saat perjanjian damai tahun 2005, penanganan korban konflik dimasukkan dalam Nota Kesepahaman Helsinki yang kemudian diadopsi dalam UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006.

“Namun, 13 tahun setelah perjanjian damai bersejarah, yang relatif membawa perdamaian dan keamanan di provinsi paling barat Indonesia ini, para korban dan anggota keluarga masih menunggu janji-janji pemenuhan kebenaran, keadilan, dan reparasi penuh dari pemerintah Indonesia. Kegagalan untuk mewujudkan ini, hanya memperpanjang penderitaan mereka,” kata Puri.

Meskipun ada beberapa inisiatif penting pemerintah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki pelanggaran HAM, kata Puri, tetapi mereka belum berhasil memberikan gambaran yang utuh tentang kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi.

“Termasuk nasib dan keberadaan orang-orang yang hilang. Sedangkan upaya membentuk komisi kebenaran di tingkat nasional berhenti karena kurangnya kemauan politik,” kata Puri.

“Setelah 13 tahun, orang-orang Aceh masih menunggu keadilan. Ini saatnya pemerintah pusat menunjukkan komitmennya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM Aceh dengan memberikan dukungan penuh kepada KKR Aceh,” lanjut dia.

Menurutnya, pelanggaran HAM saat konflik terjadi, negara juga terlibat karena kebijakannya menetapkan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh yang mengakibatkan pelanggaran HAM besar-besaran.

“Pemerintah pusat tidak boleh mencoba menghindari tanggung jawab atas apa yang terjadi di Aceh dengan menyerahkan upaya memberikan pemulihan korban yang efektif ke pemerintah daerah,” kata Puri.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2013 dan mulai beroperasi pada 2016. Lembaga ini diberi amanat untuk mengungkap kebenaran di balik pelanggaran HAM saat konflik, serta memulai rekonsiliasi demi memperkuat persatuan rakyat Aceh.

KKR Aceh diharapkan memberikan rekomendasi kepada pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk memberikan reparasi bagi para korban serta keluarganya. Namun, sampai saat ini pemerintah Aceh hanya setengah hati mendukung KKR Aceh. Bahkan, pemerintah pusat menolak mengakui legitimasi dan mendukung kerja mereka.

Amnesty International menyerukan kepada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang akan berfungsi sebagai dasar hukum pemerintah pusat untuk mengakui dan mendukung KKR Aceh.

Peraturan seperti itu akan memperkuat legitimasi rekomendasi KKR Aceh di masa depan. Badan-badan negara seperti Komnas HAM juga harus secara proaktif mendukung kerja KKR Aceh.

“Perdamaian tidak cukup jika tidak ada kebenaran tentang masa lalu di Aceh dan tidak ada reparasi untuk mengatasi kerugian yang diderita korban. Tuntutan korban dan anggota keluarga mereka terhadap pemerintah untuk mengakui dan memperbaiki pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh di masa lalu harus didengar,” kata Puri.

Pernyataan Korban Dikumpulkan

Komisioner KKR Aceh, Evi Narti Zain mengatakan hingga saat ini KKR telah mengumpulkan 250 pernyataan dari korban langsung, keluarga korban, pelaku, dan yang mau memberikan pernyataan di enam kabupaten, yaitu di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, Bener Meriah, dan Aceh Selatan. Sebanyak 80 pernyataan di antaranya mengenai kasus penyiksaan.

Pernyataan itu nantinya akan dianalisis, kemudian masuk database KKR Aceh dan akan dipilah sesuai dengan kasus. “Terakhir baru akan direparasi dalam bentuk apa,” kata Evi kepada wartawan, usai diskusi.

Sebelum mengumpulkan pernyataan, mereka terlebih dulu ditanyakan kesiapan mereka untuk memberikan pernyataannya secara luas. Saat ini, pengumpulan pernyataan ini masih dilakukan secara tertutup. Tapi, Evi menyebut, pengambilan pernyataan ini nanti akan digelar terbuka.

Evi menambahkan, negara ada dua opsi terkait korban konflik di Aceh. Pertama, negara harus mengakui pelanggaran HAM saat konflik, kemudian kedua negara harus bertanggung jawab dalam memulihkan hak korban.

“Penanggung jawab ini bisa materi, dan lainnya. Misalnya untuk orang hilang, setidaknya harus dikeluarkan sertifikat kematian untuk keluarga,” tutur Evi.

Saat diskusi usai, Murtala melipat kembali gelaran kainnya. Dia akan terus menggalang tanda-tangan hingga haknya sebagai korban konflik yang menanti keadilan setidaknya terpenuhi. “Jangan menaruh dendam, bawa persoalan ini ke ranah yang lebih arif,” kata Murtala.

Share: 13 tahun MoU Helsinki: Perjuangan Korban Konflik Belum Tuntas