Isu Terkini

Alasan Registrasi PSE Dianggap Masalah

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Ilustrasi Antara

Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kominfo) mengumumkan batas waktu penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat akan berakhir pada 20 Juli 2022. 

Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. 

Lewat aturan ini pemerintah meminta PSE lingkup privat, seperti Google, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lainnya untuk melakukan registrasi supaya layanan mereka tidak diblokir. 

Dianggap matikan kritik: Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 bersama CIVICUS: World Alliance for Citizen Participation dan Qbukatabu menganggap aturan ini berpotensi mematikan kritik kendati hal itu disampaikan secara damai. 

“Kami berpendapat bahwa dimulainya registrasi mengawali penerapan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat disalahgunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap penguasa,” tulis rilis SAFEnet, dikutip pada Senin (18/7/2022). 

Langgar HAM: Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 juga menganggap aturan ini berpotensi untuk melanggar hak asasi manusia (HAM). Hal ini berkaca dari sejumlah persoalan yang mereka temu pada sejumlah ketentuan di aturan tersebut. 

Pertama, terkait penerapan tata kelola dan moderasi informasi dan/atau dokumen elektronik. Pasal 9 ayat 3 dan ayat 4 memastikan agar pemilik platform tidak mencantum informasi-informasi yang sifatnya “dilarang”, maupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya “dilarang”. Lebih jauh lagi, yang dimaksud dengan data yang bersifat “dilarang” merupakan data yang digolongkan antara lain melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. 

“Kami berpendapat bahwa pendefinisian ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ sangat luas sehingga dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap pihak berwenang,” ujar mereka. 

Ihwal pemutusan akses: Kemudian terkait permohonan untuk pemutusan akses. Pasal 14 memberikan kewenangan bagi Kementerian atau Lembaga, Aparat Penegak Hukum; dan/atau lembaga peradilan untuk melakukan pemutusan akses terkait informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang. 

Selanjutnya, pasal 14 ayat 3 menyatakan bahwa pemutusan akses dapat dilakukan dengan “mendesak” apabila terkait dengan terorisme, pornografi anak, dan konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. 

Batasi kebebasan berekspresi: Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 menguraikan, pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” dengan interpretasi yang luas dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik secara damai.

Langgar privasi: Sementara menyangkut ketentuan permohonan akses data, informasi, dan/atau percakapan pribadi pada Pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020. Pasal itu memberikan kewenangan bagi aparat penegakan hukum untuk meminta PSE lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. 

“Hal ini sangat rentan untuk disalahgunakan dalam praktik penegakan hukum, terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua,” tegas mereka.

Diminta hentikan proses registrasi: : Untuk itu, Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 mendesak pemerintah menghentikan segera proses registrasi PSE Privat. Mereka juga minta pemerintah mencabut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat yang karena dapat mengganggu kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Kemudian mendesak pemerintah memastikan bahwa pelaksanaan peraturan serupa dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat sesuai dengan standar hukum HAM internasional. Terutama terkait implikasi dengan pembatasan kebebasan berekspresi. 

“Membuka ruang dialog antara pemerintah dengan masyarakat sipil dan mekanisme HAM baik di tingkat nasional, regional, dan internasional untuk membahas dampak Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat dan UU ITE pada kebebasan berekspresi dan berpendapat di ranah daring dan juga pada kerja-kerja pembela hak asasi manusia,” pungkas mereka.

Sementara itu, ketika dihubungi Asumi pihak Kominfo belum memberikan jawaban atas sejumlah kekhawatiran yang timbul dari aturan tersebut. 

Baca Juga:

Kominfo Diminta Tegas tentang Google Cs Belum Daftar PSE 

Enam Juta Data Pasien di Server Kemenkes Bocor dan Diperjualbelikan 

Investigasi Kebocoran Data BPJS, Kominfo Segera Keluarkan Keputusan

Share: Alasan Registrasi PSE Dianggap Masalah