Belanja untuk senjata nuklir di berbagai negara justru
mengalami kenaikan di masa pandemi Covid-19.
Berdasarkan studi ‘Squandered: 2021 Global Nuclear Weapons
Spending’ dalam situs resmi organisasi Kampanye Internasional untuk Hapus
Senjata Nuklir (ICAN) mengungkapkan, belanja untuk senjata nuklir di Amerika
Serikat (AS), China, Rusia, Inggris, dan Israel meningkat pada 2021, jika
dibandingkan tahun 2020.
Dana untuk nuklir: AS tercatat sebagai negara dengan
pengeluaran dana tertinggi untuk senjata nuklir atau mencapai US$44,2 miliar
(Rp655 triliun). Disusul kemudian, China belanja untuk senjata nuklir sebesar
US$11,7 miliar (Rp173 triliun).
Lalu, Rusia US$8,6 miliar (Rp127 triliun); Inggris US$6,8
miliar (Rp100 triliun); Prancis US$5,9 miliar (Rp87 triliun); India US$2,3
miliar (Rp34 triliun); Israel US$1,2 miliar (Rp17 triliun); Pakistan US$1,1
miliar (Rp16 triliun); serta Korea Utara (Korut) US$642 juta (Rp9,5 triliun).
Jadi, total pengeluaran sembilan negara untuk belanja senjata nuklir mencapai
US$82,4 miliar (Rp1.220 triliun).
Kepentingan bisnis: Ironisnya, belanja senjata nuklir itu
tidak berpengaruh apapun dalam menghalangi invasi Rusia ke Ukraina. Sebaliknya,
malah mengesankan kegagalan selama puluhan tahun untuk mengejar perlucutan
senjata dan efektif telah menempatkan dunia ke dalam jurang nuklir satu negara.
Sebanyak sembilan negara itu telah memprioritaskan
pengeluaran $ 156.841 (Rp 2,3 miliar) per menit selama 2021 untuk senjata
nuklir. Padahal, jutaan warganya berjuang untuk mengakses perawatan kesehatan,
memanaskan rumah mereka, dan bahkan membeli makanan.
“Mengapa negara-negara ini menghabiskan begitu banyak, di
tengah pandemi global terburuk dalam satu abad? Laporan tersebut menunjukkan
bahwa itu bukan kepentingan keamanan, atau bahkan dimulainya kembali apa yang
disebut persaingan kekuatan besar yang mendorong peningkatan pengeluaran ini,
tetapi bisnis,” demikian pernyataan tertulis laporan yang dirilis pada Selasa
(14/6/2022) itu.
Baca Juga