Budaya Pop

Alasan Remaja Kian Tergila-gila dengan Idola K-Pop

Manda Firmansyah — Asumsi.co

featured image
ANTARA/twitter/@NCTsmtown_127

Perseteruan fandom K-Pop sebabkan nama ‘Safa’ sempat trending topic Twitter. Viralnya ‘Safa’ diketahui karena menghina anggota boygroup NCT, yaitu Jaemin dan Renjun. 

Efek pandemi: Selama pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, sebagian remaja semakin menyukai para idola K-Pop. Psikolog klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rossalia mengungkapkan, salah satu alasannya karena stres saat berada di rumah. Merujuk pada hasil konselingnya, kata dia, orang tua adalah sumber stress remaja. 

“Mereka banyak yang lebih bebas ketika mereka ada di luar sebenarnya. Tetapi untuk mereka yang tinggal dengan stres itu yang agak sulit, karena memang proximity-nya tidak ada. Jadi kemudian mereka ke mana? Ke media sosial, ke internet,” ucapnya, dilansir dari Antara.

Hubungan parasosial: Seiring para remaja ini menyukai idola atau artis K-pop tertentu berkembanglah hubungan parasosial atau hubungan antara seseorang dengan figur yang ada di layar. Apalagi, para idola K-pop juga membangun kedekatan dengan para penggemar mereka. Misalnya, melalui siaran langsung di media sosial yang disambut positif oleh para penggemar. 

“Karena semakin dia membuka media sosial apalagi bila dia mem-follow, suka ada live, saya melihat mereka. Saya merasa ada intimacy, kayaknya hanya dia (idola) yang bisa mengerti saya sehingga itu yang menjadi part of social interaction,” tutur Nanda. 

Bahkan, sebagian penggemar bisa merasa hanya idola mereka yang memberi perhatian kepada mereka. Maka, berkembanglah istilah “halu”, meski bukan dalam artian sebenarnya. 

“Semakin kuat itu kemudian menjadi suatu hubungan, jadi hubungan interpersonal kemudian ini jadi realita-nya. Karena dia (idola) sudah ada di kepala itu seperti imajinasinya dan bondingnya kuat, kami menyebutnya hubungan parasosial. Itu perlu juga suatu pendekatan yang lain untuk kita bantu,” ujar Nanda. 

Menurut Nanda, perkembangan teknologi mempengaruhi terciptanya hubungan parasosial. 

Self regulation: Ia berharap, para remaja dapat memunculkan semacam self regulation (regulasi diri) yang sebenarnya bagi orang dewasa saja termasuk sesuatu yang sulit. 

Regulasi diri adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol respons dalam diri, baik itu perilaku (kepribadian) dan biologis (temperamen/watak). Pengaturan diri yang optimal secara langsung berkaitan dengan seberapa baik pelaku mengelola peristiwa baru, kapasitas yang dipengaruhi oleh temperamen, pengalaman perkembangan awal, hingga ciri-ciri kepribadian. 

“Butuh support system yang baik untuk kita bisa fokus dan tidak terpapar hal yang membuat kita kembali pada suatu rutinitas yang tidak adaptif. Kita bisa minta mereka (melakukan self regulation) tetapi mereka tetap butuh monitoring dan supervisi dari orang-orang di sekitar,” ucapnya.

Baca Juga:

“Butter” Raih 5 Rekor Dunia, BTS Diyakini Bakal Sering Rilis Lagu Berbahasa Inggris 

Netizen Indonesia Juara Dunia Tweet Terbanyak Soal K-Pop 

Ramai Dibawakan Chanyeol EXO, Apa yang Bikin “Creep” Populer?

Share: Alasan Remaja Kian Tergila-gila dengan Idola K-Pop