Mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Terawan Agus Putranto,
dinilai melanggar kode etik kedokteran ketika melakukan tindakan terapi atau
pengobatan stroke iskemik kronik (brain washing) melalui metode diagnostik
Digital Substraction Angiography (DSA).
Pelanggaran: Juru bicara pengurus besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), Beni Satria, mengungkap, sejumlah dugaan pelanggaran etik kedokteran.
Pertama, Terawan mengiklankan diri secara berlebihan dengan
klaim untuk pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif). Kedua, Terawan dinilai
tidak mengindahkan undangan Divisi Pembinaan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) PB IDI,
“Terlapor (Terawan) juga terkait dengan dugaan menarik
bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada analisa kedokteran
berbasis bukti (Evidence Based Medicine/EBM)-nya,” ujar Ketua Bidang Hukum
Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI itu seperti dilansir Antara.
Ketiga, Terawan dinilai telah menjanjikan kesembuhan kepada
pasien setelah menjalani tindakan brain washing itu. Bahkan, Terawan telah
melakukan tindakan tersebut sejak Juli 2013. MKEK telah merespon kontroversi
metode brain washing Terawan sejak 2015. Laporan dugaan pelanggaran etik
Terawan mulai diproses pada 2016.
Keterangan Saksi Ahli: MKEK memeriksa keterangan dari Ketua
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PP Perdossi) Prof.
DR. Dr. Moh. Hasan Machfoed, SpS(K), Prof. Dr. Teguh A.S. Ranakusuma, SpS(K),
dan Prof. Dr. Irawan Yusuf, Ph.D. PP Perdossi keberatan dengan Terawan yang
mengiklankan diri berlebihan.
Apalagi, laporan biaya mahal tindakan Terawan belum ada
EBM-nya. “Pengiklanan besar-besaran tersebut membuat keresahan di kalangan
anggota Perdossi maupun pasien-pasien neurologi,” tutur Beni.
Berdasarkan keterangan Saksi Ahli Prof. Dr. Irawan Yusuf,
Ph, peran utama brain washing hanya meningkatkan aliran darah ke otak pada
stroke kronik, serta memperpanjang window period dan gejala klinis membaik.
Selain itu, memperbaiki suplai darah ke jaringan yang rusak, sehingga oksigen,
nutrisi, dan obat dapat sampai ke otak. “Tetapi simpulan yang ditonjolkan
terlalu berlebihan sebagai alternatif terapi stroke yang standar sehingga
mempertajam kontroversi,” ucapnya.
Maka, temuan Terawan belum bisa menjadi terapi alternatif
untuk menggantikan terapi standar. Temuan Terawan masih memerlukan terapi lain
secara terencana, karena hanya meningkatkan aliran darah ke otak pada stroke
kronik.
“Saksi ahli menegaskan bahwa terlapor harus bertindak
sesuai kompetensi dan kewenangannya untuk menghilangkan kontroversi,”
tuturnya.
Berdasarkan keterangan Prof. DR. Dr. Moh. Hasan Machfoed,
SpS(K), DSA digunakan untuk diagnosis gangguan pembuluh darah otak (stroke
iskemik). DSA bukan diperuntukkan sebagai sarana terapi atau pengobatan.
Apalagi, untuk pencegahan stroke.
Efek Promosi: Promosi
yang gencar di berbagai media sosial hingga media massa sebabkan brain washing
dianggap sebagai cara baru yang patut dicoba. Khususnya, bagi penderita stroke.
“Saksi ahli melaporkan bahwa terlapor melakukan brain
washing pada seorang pasien stroke perdarahan di mana pemberian heparin
merupakan kontraindikasi dan kondisi pasien tidak membaik. Seorang sejawat di
RSUD Dr. Soetomo telah melakukan brain washing dengan metode DSA, tetapi pasien
meninggal sesudah brain washing, sehingga setelah itu tindakan brain washing
dilarang untuk dilakukan lagi di RSUD Dr. Soetomo hingga sekarang,” ujar
Beni.
Baca Juga