Pemerintah berencana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) final dan pajak penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto. Pasalnya aset kripto dianggap bukan termasuk mata uang.
“Kripto itu memang kena PPN juga karena itu bukan uang ya sehingga kita selain mengenakan PPh juga PPN, tapi kecil kok itu yang kita sebut besaran tertentu,” kata Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama, Jumat (1/4/2022).
Besaran pajak: Dia menyampaikan, pajak terhadap aset itu sebesar 0,1% dari jumlah transaksinya.
“Itu hanya 0,1% saja, kecil,” tuturnya.
Bebankan ke platform: Pemerintah akan membebankan kewajiban kepada exchanger atau platform-platform digital yang memperdagangkan aset kripto agar mereka memungut, menyetor, dan melaporkan PPN final tersebut.
“Dengan peraturan menteri keuangan (PMK), sudah otomatis (ditunjuk sebagai pemungut). Dari kami sudah melakukan persiapan sistem administrasi, sudah diskusi dengan pelaku usaha dan stakeholder lainnya,” katanya.
Mulai berlaku: Kebijakan PPN final atas aset kripto baru akan diimplementasikan di periode Mei 2022 sambil menunggu peraturan turunannya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) keluar. Pemerintah akan memberikan masa transisi bagi pemungut PPN final untuk melakukan persiapan.
“Ini nanti kurang lebih modelnya sama dengan model transaksi saham di bursa. Ada pemungut, pemotong dengan tarif tertentu dan sifatnya final. Dikarenakan pengadaannya baru, maka akan kami coba sesederhana mungkin,” bebernya.
Kebijakan ini dijalankan menyusul dengan implementasi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah berencana menerbitkan UU HPP klaster PPN berupa PMK tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Baca Juga:
Kuartal Pertama 2022, Lebih dari 3.000 Phising Terjadi di Indonesia