Rusia resmi melancarkan invasi ke Ukraina sejak Kamis (24/2/2022). Menurut laporan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) hampir setengah juta orang mengungsi akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Dilansir dari CNN, Selasa (1/3/2022) invasi Rusia menjadi puncak eskalasi politik kedua negara selama beberapa tahun belakangan. Konflik keduanya pecah menjadi perang dan memicu krisis keamanan terbesar sejak Perang Dingin.
Aksi Rusia: Rusia bukan secara tiba-tiba menyerang Ukraina. Sejak tahun lalu, Rusia telah memperketat pengaruh militernya di sekitaran Ukraina. Rusia sudah mengumpulkan puluhan ribu tentara, persenjataan hingga artileri di depan pintu Ukraina.
Setidaknya, Presiden Rusia Vladimir Putin telah mengumpulkan tentara sebanyak 150.000 orang di tiga sisi. Kemudian pada akhir 2021 dan awal 2022, ketegangan meningkat usai citra satelit mengungkap adanya pergerakan dari militer Rusia.
Pasukan, tank, artileri dan peralatan lainnya bermunculan di beberapa lokasi lebih dekat dengan Ukraina, yakni di Krimea dan Belarusia. Bahkan beberapa pasukan terus bergerak menyeberang ke Ukraina dari utara Belarusia dan ke selatan dari Krimea.
Serangan pertama Rusia dilakukan beberapa hari setelah Putin mengumumkan bahwa Moskow akan secara resmi mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk di wilayah Donbas Ukraina timur.
Akar konflik: Setelah Uni Soviet runtuh, Pakta Pertahanan Atlantik Utara alias NATO memulai pengaruh ke negara-negara bekas Uni Soviet.
Pada 2004, NATO memasukan bekas republik Baltik Soviet Estonia, Latvia dan Lithuania ke dalam keanggotaan. Kemudian pada 2008, NATO menyatakan ingin mengajak Ukraina bergabung.
Putin melihat niat NATO ke Ukraina sebagai ancaman. Demi mempertahankan Ukraina agar tak bergabung dengan NATO, Putin pernah menyebut Ukraina sebagai bagian dari Rusia, baik secara budaya, bahasa dan politik.
Dikutip dari NBC News, Selasa (1/3/2022) Putin mengklaim bahwa Ukraina ‘bukan sebuah negara’. Ia juga menyebut bahwa Rusia dan Ukraina adalah ‘satu orang — satu kesatuan’.
Putin dan Presiden Ukraina kala itu Viktor Yanukovych memiliki hubungan dekat. Hal itu membuat beberapa kebijakan Viktor pro Rusia.
Pada 2014, ibu kota Ukraina, Kiev dilanda demo besar-besaran, mereka menuntut Viktor mundur. Desakan itu muncul lantaran Viktor lebih dekat dengan Rusia. Setelah Viktor lengser, Putin kerap menyebut pemimpin Ukraina sebagai ekstrimis.
Kemudian pada April 2014, Rusia menginvasi dan mencaplok semenanjung Krimea di Ukraina. Dua wilayah yang memisahkan diri, Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk yang bertetangga, memisahkan diri dari Ukraina.
Tak hanya sampai di situ, ketegangan berlanjut di wilayah Ukraina timur yang dikenal sebagai Donbas. Ketegangan juga muncul ke arah barat. Sekitar 13.000 tentara Ukraina dan warga sipil akhirnya tewas dalam konflik tersebut.
Di April 2019 seorang mantan komedian, Volodymyr Zelensky terpilih menjadi Presiden Ukraina.
Ia berjanji mengembalikan Dombas ke Ukraina. Zelensky juga dikenal sebagai sosok yang pro Barat. Bahkan ia berniat membawa Ukraina bergabung dengan NATO. Di sisi lain, Putin tak ingin Ukraina mendekat ke NATO.
Baca Juga:
Apa Dampak Perang Rusia-Ukraina Terhadap Indonesia?
Roman Abramovich Dikabarkan Pimpin Perundingan Rusia-Ukraina