Pejabat senior Hamas, Khalil al-Hayya menyatakan kelompoknya siap bergabung dengan tentara nasional Palestina jika Palestina diakui sebagai sebuah negara.
“Semua pengalaman orang-orang yang melawan penjajah, ketika mereka merdeka dan memperoleh hak-hak dan negaranya, apa yang dilakukan kekuatan-kekuatan ini? Mereka telah berubah menjadi partai politik dan kekuatan tempur mereka telah berubah menjadi tentara nasional,” kata Hayya kepada AP dalam sebuah wawancara pada Kamis (25/4/2024).
Menurutnya, Hamas juga bersedia bergabung dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan membentuk pemerintahan bersatu untuk Gaza dan Tepi Barat dengan partai Fatah milik Otoritas Palestina (PA), dengan syarat “negara Palestina berdaulat penuh.”
Ia ingin kedaulatan wilayah Palestina mengacu pada perbatasan sebelum tahun 1967 (sebelum Perang 6 Hari), serta kembalinya pengungsi Palestina sesuai dengan resolusi internasional.
Dia menambahkan bahwa Hamas bersedia hidup bernegara dan melakukan gencatan senjata selama lima tahun atau lebih agar dapat hidup dalam keamanan.
Hayya mengatakan Hamas telah berulang kali menawarkan solusi ini selama bertahun-tahun. “Saat ini, Israel telah melancarkan perlawanan dengan pukulan yang hebat, namun belum mengakhirinya… mereka belum menghancurkan lebih dari 20 persen kemampuannya… Jika mereka tidak dapat menghabisi [Hamas], apa solusinya? Solusinya adalah mencapai konsensus,” katanya.
Israel berjanji untuk menghancurkan Hamas dan seluruh kemampuan tempurnya pada awal perang sejak Oktober tahun lalu, tetapi sejauh ini gagal mencapai tujuan tersebut. Tentara Israel kini berencana menyerang kota Rafah di selatan yang padat penduduk, yang menurut mereka merupakan benteng terakhir Hamas.
Meskipun demikian, kelompok perlawanan tetap bercokol di Gaza bersama beberapa faksi lainnya. AS telah mendorong gagasan PA yang ‘reformasi’ untuk mengambil kendali atas Gaza pascaperang.
Melansir dari The Cradle, rencana yang ditolak oleh Hamas itu akan bergantung pada kekalahan kelompok perlawanan dan berakhirnya kepemimpinan politik mereka di wilayah tersebut. Washington baru-baru ini memveto resolusi pengakuan Palestina sebagai negara anggota penuh PBB.
Puluhan tahanan Israel, termasuk perwira tinggi militer, masih ditahan oleh sayap militer Hamas, Brigade Qassam. Wawancara tersebut dilakukan ketika negosiasi gencatan senjata masih menemui jalan buntu akibat berulang kali Israel menolak persyaratan utama Hamas, yang terus dipegang teguh oleh kelompok perlawanan tersebut. Persyaratan tersebut mencakup diakhirinya perang dan gencatan senjata permanen, penarikan seluruh pasukan dari Gaza, pemulangan pengungsi ke rumah mereka, dan rekonstruksi Gaza akibat agresi Hamas.
“Jika kami tidak yakin perang akan berakhir, mengapa kami harus menyerahkan para tahanan?” ujar Hayya.