Pengajar Politik Global pada Universitas Murdoch, Australia, Ian Wilson meramal Prabowo Subianto akan membawa kembali rezim otoriter jika berhasil memenangkan Pemilu 2024. Lewat sebuah opini yang diterbitkan Fulcrum, platform publikasi yang terkait dengan ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura, Ian menulis bahwa jika popularitas Prabowo terus di atas angin, maka mantan elite militer itu akan berani membangkitkan rezim otoriter.
“Jika Prabowo dapat mempertahankan popularitasnya seperti yang dilakukan Jokowi, ia mungkin akan merasa berani untuk menunjukkan kekuatan otoriternya dan sekali lagi mendorong pembatalan amandemen konstitusi pascatahun 1999 dan diakhirinya pemilihan langsung,” tulis Ian.
Kebiri Sistem Pemilu Langsung
Ian yakin jika Prabowo berkuasa, maka mantan suami Siti Hediati Hariyadi itu akan mengakhiri sistem pemilu langsung. Bukan tanpa dasar Ian mengatakan demikian. Dalam catatan Ian, Prabowo menolak bentuk-bentuk kompetisi demokrasi, termasuk pemilu langsung. Mengingat dampak korosif yang ditimbulkannya.
“Dengan latar belakang kemerosotan demokrasi di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana demokrasi elektoral akan berjalan di bawah kepemimpinan Prabowo,” tulis Ian.
Partai yang diketuai Prabowo, Partai Gerindra juga tercatat menolak arah reformasi pascareformasi tahun 1998 yang dinilai bersifat liberal-demokratis. Gerindra menganjurkan kembalinya sistem berdasarkan UUD 1945 yang asli .
“Hal ini berarti pembatalan amandemen konstitusi yang dibuat antara tahun 1999-2002 yang mendukung pemilu demokratis, perlindungan hak asasi manusia, dan batasan masa jabatan presiden (dua periode lima tahun)” katanya.
Menurut Ian, sikap Prabowo dan Gerindra itu lebih dari sekadar retoris. Sebab pada akhir tahun 2014, setelah kalah dalam pencalonan pertamanya sebagai presiden dari Jokowi, Prabowo memimpin koalisi parlemen multipartai yang mengesahkan RUU Pemilu yang memungkinkan penunjukan kepala daerah, termasuk gubernur oleh parlemen.
“Setelah mendapat reaksi keras dari masyarakat, intervensi presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulihkan pemilu langsung. SBY, pada bulan-bulan terakhir masa jabatannya, mengeluarkan dua dekrit yang membatalkan upaya kudeta legislatif tersebut,” katanya.
Intrik elite untuk memperpanjang batas masa jabatan presiden dan mengurangi pemilihan langsung, menurut Ian telah menyatukan tujuan ideologis faksi-faksi yang berupaya mengikis, atau bahkan membalikkan kemajuan demokrasi pasca-Reformasi . Menurut Ian, hal ini diperburuk dengan ambisi Jokowi untuk mengkonsolidasikan dan melanggengkan warisannya.
“Pada tahun 2023, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyerukan agar MPR diangkat kembali sebagai lembaga eksekutif tertinggi negara, dan DPD menyatakan bahwa perubahan konstitusi pasca-1999 telah ‘menjauh dari Pancasila’” katanya.
Ian menelaah bahwa mereka yang mendorong pembatalan pemilu dan konstitusi jelas-jelas menahan diri untuk tidak mengangkat isu tersebut sebagai isu kampanye pada tahun 2024. Namun demikian, Wakil Ketua Gerindra, Habiburokhman, mengatakan bahwa usulan MPR dan DPD untuk kembali ke UUD pra-Reformasi akan ditinjau kembali setelah keputusan diambil pemerintahan baru terbentuk.
“Dia berkomentar bahwa diskusi sebelumnya dapat ‘menimbulkan kecurigaan publik’ akan niat untuk menunda pemilu 2024 atau mengakhiri pemilu berikutnya,” ujarnya.